Fimela.com, Jakarta Rasa memiliki Alfonsa Horeng pada tenun ikat yang sudah menjadi tradisi leluhurnya begitu tinggi. Ia seperti punya energi lebih untuk melestarikan tenun ikat Flores.
Tenun ikat bagi masyarakat Flores bukan sekadar kain yang digunakan untuk penutup raga. Lebih dari itu, ada makna dan filosofi tinggi dibalik karya sebuah kain tenun yan dikenal dengan nama tenun ikat. Karena itu menurut Alfonsa Horeng tenun ikat bagi masyarat Flores adalah segalanya.
Dari Larantuka Kabupaten Flores Timur, perjalanan tim DBS Live More Society Daily Kindness Trip berlajut ke Maumere, Kabupaten Sikka. Panorama alam yang beragam, mulai dari semak, belukar, padang savana, hutan jambu mete, tebing cadas, bukit, gunung, lautan dan pulau-pulau kecil yang diterpa sinar mentari, muncul silih berganti. Penuh dengan warna, sebuah pemadangan alam yang khas, yang sulit untuk dilupakan.
Advertisement
BACA JUGA
Kami berutung bisa bertemu dengan Alfonsa Horeng, perempuan yang sudah bertahun-tahun mendedikasikan dirinya untuk melestarikan tenun ikat. Dia tidak hanya mengenalkan tenun ikat di dalam negeri, namun hingga ke manca negara. “Bagi kami tenun ikat itu tidak sekadar kain yang digunakan untuk membalut tubuh dan menjadi menutup raga. Dibalik terciptanya kain tenun ini banyak sekali filosofi yang terkadung di dalamnya,” ujar Alfonsa yang menerima kami di Lepo Lerun (Lepo Lerun dalam bahasa Sikka berarti rumah tenun), di Desa Nita, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka, NTT pada Sabtu (13/10/2018).
Kalau saja kami datang tidak pada waktu yang sudah dikomunikasikan sebelumnya bisa jadi tak bersua dengan perempuan berkulit eksotis ini. Perempuan yang sulit dihentikan bicaranya kalau sudah menjelaskan tentang tenun ikat. Soalnya dia memiliki kesibukan yang terbilang tinggi. Dia juga hadir dalam acara IMF (International Monetary Fund) dan World Bank yang berlangsung di Bali beberapa watu yang lalu. Dia diundang untuk memamerkan dan proses pembuatan tenun ikat kepada tamu-tamu dari berbagai negara yang menghadiri pertemuan penting itu.
Menurut Anfonsa Horeng orang asing amat terpesona dengan tenun ikat dan filosofi dibalik terciptanya karya ini. “Orang luar saja kagum dengan tenun ikat, kita yang punya mustinya lebih bangga lagi. Kita harus bisa menjaga dan melestarikan tenun ikat. Jangan malu memakai tenun ikat di beragam kesempatan,” urai perempuan peraih Australian Leadership Awards dari AusAID tahun 2008 ini.
Advertisement
Malu-malu
Alfonsa lebih senang disebut sebagai penenun dari pada pengerajin. “Soalnya kalau kerajinan itu seperti kalau kita bikin asbak atau hasil kerajinan lainnya. Proses pembuatan tenun ikat ini amat komplek dan perlu keahlian tersendiri. Lalu motif yang dibuat juga tidak sembarangan. Ada makna tertentu dibalik motif yang dibuat di atas kain tenun ikat,” katanya dengan nada protes.
Tentun ikat adalah kebanggan dan identitas diri bagi masyarakat Flores. “Kami bangga mengenakan kain tenun ikat. Dulu orang masih malu-malu memakai kain ini. Sekarang tidak lagi. Ke Jakarta atau ke Bali kami bangga mengenakan tenun ikat. Selain itu orang yang sudah faham bisa mengenali, oh itu dari Flores,” urai Alfonsa yang merintis Lepo Lerunnya sejak akhir 2003 silam dari usaha rumahan dengan 4 orang hingga kini membina ratusan penenun.
Lepo Lorun
Menenun adalah aktivitas lumrah bagi perempuan Flores. Perempuan Flores sejak kecil sudah dikenalkan dengan aktivitas menenun, mulau dari memintal kapan menjadi benang, lalu mewarnai benang dan akhirnya menenun dengan motif-motif tertentu. “Seorang perempuan Flores harus membersiapkan kain tenun ikat untuk keperluan pernikahannya sendiri. Jadi harus menenun sendiri,” ungkapnya.
Tentun ikat digunakan masyarakat Flores dalam segala kesempatan mulai dari keseharian, acara adat sampai acara keagamaan. Melalui Lepo Lorun Alfonsa berharap tenun ikat bisa lestari.