Advertisement
Next
Pasti ada bullying dalam orientasi?
Berita tentang kematian Fikri Dolasmantya Surya, mahasiswa ITN menjadi berita menyedihkan bagi dunia pendidikan Indonesia. Kasus kematian Fikri ini diduga karena kekerasan yang dialaminya selama mengikuti Masa Orientasi Siswa (MOS) di Pantai Goa China, Desa Sitiarjo, Malang pada Sabtu (12/11). Hasil visum mahasiswa asal NTB ini menunjukan adanya dehidrasi parah. Dari 114 mahasiswa baru yang diperiksa diperoleh keterangan, kalau selama ospek mereka hanya mendapatkan satu sampai dua botol air untuk diminum bersama tiap harinya. Bukan hanya mengalami kekerasan fisik seperti ditendang atau diinjak oleh para senior, mahasiswi baru yang mengikuti kegiatan pun juga diduga mengalami pelecehan seksual.
Advertisement
Kasus seperti ini bukan kali pertama terjadi di dunia pendidikan. Pada 2006, kita dikagetkan dengan kasus kekerasan yang merenggut nyawa beberapa mahasiswa di Kampus Institut Pendidikan Dalam Negeri (IPDN). Kemudian Agustus 2012 lalu, kasus bullying terdengar lagi menimpa siswa di SMA Don Bosco, Jakarta. Salah satu siswa melaporkan ke Polres Metro Jakarta Selatan tentang kekerasan yang dilakukan para senior. Hasil visum menunjukan adanya luka sundutan rokok dan memar pada tubuh korban. Agenda bullying atau yang terkadang disebut dengan plonco nyaris masuk dalam agenda acara masa orientasi anak baru di setiap sekolah maupun perguruan tinggi.
“Seseorang dianggap menjadi korban bully ketika salah satu fungsi dalam hidupnya mulai terganggu. Perilaku anak berubah menjadi pemurung, menarik diri, malas belajar, atau mogok sekolah tanpa alasan yang jelas. Selama perilaku seseorang mengarah pada tindakan mengintimidasi, melakukan kekerasan (fisik ataupun verbal) terhadap orang lain sehingga orang tersebut tidak bisa berfungsi sebagaimana mustinya maka orang tersebut bisa disebut sebagai pelaku bully,” tulis Amanda Margia, Psikolog dan dosen Psikologi di UPI YAI kepada FIMELA.com melalui e-mail.
Next
Senioritas dan keinginan balas dendam masih mengakar
Dikutip dari Kompas (9/8/12) Seto Mulyadi, psikolog anak menjelaskan masalah kekerasan di sekolah sangat rumit dan kompleks. Faktor trauma dan keinginan balas dendam bisa menjadi pemicu utama, senior melakukan kekerasan terhadap junior. Akhirnya, seolah-olah masa orientasi pun menjadi momen tepat untuk balas dendam.
Pernyataan Seto ternyata juga didukung oleh kajian yang dilakukan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang memperkirakan dendam lama sebagai bagian dari masa orientasi dan banyaknya tontonan yang mengandung unsur kekerasan jadi pemicu bullying. See, ternyata media sangat berpengaruh pada perilaku anak!
Sanksi tegas dan peraturan jelas!
Akhirnya, hanya bisa dihentikan ketika ada peraturan yang jelas dan juga sanksi yang tegas untuk perkara bullying. Entah apa yang membuat para anak baru ini secara “sukarela” mengikuti proses inisiasi yang sudah mengarah ke tindakan kekerasan dan bullying ini. Campur tangan dari pihak berwenang, sekolah dan pemerintah, dengan memberikan sanksi tegas dan peraturan yang jelas tentu sangat dinantikan oleh masyarakat untuk menghentikan praktik semacam ini.
Jika pelaku terus-terusan “kebal hukum” dengan alasan masih di bawah umur maka bukan tidak mungkin bullying di ranah pendidikan sulit dihentikan. Peraturan jelas dan sanksi tegas setidaknya bisa menjelaskan kepada para pelaku bullying bahwa nyawa punya harga. Setuju, Fimelova?