Advertisement
Next
Setelah sukses mengelilingi Benua Eropa untuk mempromosikan busana Muslim di bulan Juni lalu, Dian menjalani bulan Ramadhan yang tenang bersama suami dan keluarga besarnya di Jakarta. Setelah memperlihatkan kepiawaiannya dalam 1 item 7 ways tempo hari, inilah saatnya untuk mengenal lebih dalam perempuan bernama “asli” Dian Wahyu Utami ini.
Hijab adalah comfort zone saya
Advertisement
Soal mengenakan hijab bukanlah suatu kendala untuk saya. Saya mulai berhijab sejak masuk Sekolah Dasar karena bersekolah di tempat Islami dan mulai sejak kelas 5 SD saya full berhijab tanpa melepas-lepasnya lagi. Lalu, saat SMP saya masuk pesantren, ditambah dengan lingkungan terdekat pun sudah sangat familiar dengan berhijab, sehingga saya nggak asing dengan hal tersebut. Tapi, pernah suatu masa saya melepas hijab. Saat itu saya di bangku SMK Negeri di Pekalongan dan terikut dengan gaya anak muda, sehingga sempat satu bulan tanpa hijab. Nyatanya, saya nggak betah karena merasa risih dan ada yang kurang kalau pergi kemana-mana tanpa menutupi kepala dan dada. Akhinya saya kembali berhijab.
Dari pengalaman itu, saya bisa bilang kalau hijab adalah comfort zone saya. Sama sekali bukan karena paksaan orang tua, tapi lillahi ta’ala hanya untuk Allah semata. Pemikiran saya tentang hijab sedikit banyak juga karena suasana Islami yang dibentuk oleh orang tua saya sejak kecil, sehingga keinginan itu datang dari diri sendiri. Hijab sudah menjadi bagian dari tubuh saya, bukan sekadar kebiasaan.
Next
Untunglah saya menikah muda
Prinsip saya adalah ketika sudah menemukan yang cocok, jangan menunda-nunda lagi. Itulah kenapa ketika dulu bertemu dengan suami saya, Tito Prasetyo, di usia 18 dan dia 29 tahun, saya nggak menemui kesulitan untuk menerima pinangannya. Awalnya memang sedikit kaget dengan perbedaan usia kami yang mencapai 11 tahun. Namun, melihat keseriusan dan kesungguhannya untuk memperistri saya dari sejak pertama berkenalan, saya nggak banyak berpikir lagi. Orang tua hanya memberikan syarat kalau saya boleh menikah ketika sudah berusia 20 tahun, selebihnya mereka sangat merestui.
Menjalani pernikahan dini, bisa dibilang kalau saya beruntung. Selain karena mendapatkan pasangan yang bisa memahami perbedaan usia di antara kami, suami saya juga partner yang baik. Ia yang awalnya bekerja kantoran, di tahun kedua pernikahan kami, akhirnya berhenti dan bergabung dengan bisnis fashion Dian Pelangi, sehingga itu membuat kami semakin kompak dan dekat. Topik pembicaraan kami sekarang nyambung, jadwal pekerjaan bisa diatur, juga bisa sekaligus jalan-jalan bareng suami ketika saya fashion show di luar negeri. Saya mendapatkan partner untuk berumah tangga sekaligus berkarier. Alhamdulillah banget.
Kesediaan saya untuk menikah muda, sedikit banyak dipengaruhi oleh jalan hidup saya yang memang dimulai sangat dini. Saya masuk SD di usia 4 tahun, lalu di saat suami melamar, saya sebenarnya sudah bekerja dimana sebenarnya di tahap itu teman seumuran baru memulai pendidikan kuliah. Makanya, saya sudah sangat terbiasa bergaul dengan orang-orang yang lebih tua, sehingga ketika dihadapkan dengan pernikahan di usia muda dengan laki-laki yang jauh lebih matang, saya nggak begitu kaget dengan itu.
Advertisement
Next
Saya tak mungkin jauh dari fashion
Sepertinya memang nggak ada bidang lain yang lebih cocok untuk saya daripada fashion. Dari kecil saya sudah akrab dengan dunia ini. Saya juga sudah ikut menjahit, melayani tamu yang akan memesan baju, dan suka menggambar desain baju. Banyak yang nggak tahu kalau label fashion Dian Pelangi sudah dimulai sejak 22 tahun yang lalu oleh bapak dan ibu saya di Palembang. Setelah lulus dari Esmod Jakarta, saya lalu meneruskan bisnis yang sudah dirintis ini dengan membawa gaya busana Muslim yang baru, segar, dan berjiwa muda.
Awalnya sempat ada idealisme pribadi untuk mencoba hal lain dengan nggak mau mendesain baju muslim. Namun setelah saya pikir lagi, untuk apa saya mendesain busana universal padahal saya sendiri berhijab? Toh, saya juga bisa menyebarkan kebaikan kepada banyak perempuan untuk berbusana Muslim dan menutup aurat melalui kreasi saya. Jadi, kenapa nggak meneruskan bisnis keluarga, tapi tetap dengan gaya saya.
Fashion bagi saya adalah sebuah media untuk mengekspresikan diri. Tak ada dalil Islam yang melarang umatnya untuk mengikuti fashion. Juga, tidak ada kewajiban untuk mengaplikasikannya, sehingga hal ini bagi saya cuma ada dua pilihan: love it or just leave it kalau nggak suka. Alhamdulillah, gaya fashion saya yang colourful, edgy dan unpredictable ini, bisa menjadi syi’ar yang baik dan disukai. Dan lagi, juga bisa dipakai oleh mereka yang sebenarnya tidak berkerudung. Tidak selamanya busana Muslim itu kuno, eksklusif, dan tak menarik.