Advertisement
Next
The Humanity
“The Wolverine” yang menjadi cerita lanjutan dari “X-Men: Last Stand” di tahun 2006, dibuka dengan setting di Nagasaki, Jepang, dimana pengeboman atom legendaris itu terjadi. Di menit pertama saja, John Logan alias Wolverine sudah memperlihatkan sisi kemanusian yang lebih menonjol ketimbang naluri pemburu yang selama ini menempel erat padanya. Itu pun berlanjut menjadi garis besar cerita dimana Wolverine sedang kalut dengan imortalitas yang dimilikinya. Kemampuan Wolverine untuk pulih seketika walaupun dilukai atau diracuni hingga membuatnya tak akan pernah bisa mati, sangat menyiksanya karena ia tak bisa memiliki kehidupan seperti normalnya manusia. Pada awalnya, keabadian yang dimiliki Wolverine memang membuatnya tak terkalahkan. Tapi di film ini, digambarkan kalau itu justru membuatnya tersiksa karena ia hanya bisa dihantui oleh memori akan cinta abadinya, Jane Grey, yang dikisahkan dibunuh sendiri olehnya. Logan tak ingin lagi menjadi mutan immortal yang sudah sekian lamanya ia jalani dan berpikir untuk menua dan akhirnya meninggal. Di sinilah Wolverine diposisikan sangat manusiawi, karena di balik penampilan garang itu ia tetaplah seorang laki-laki yang mendambakan kasih sayang perempuan dan kehidupan berpasangan. Ya, bahkan untuk seorang mutan seperti Wolverien, tua bersama orang yang dikasihi adalah sebuah impian. Bagi penonton perempuan, gimmick sentimental semacam ini cukup menghibur.
Advertisement
Next
The sense of humour
Karakter Logan yang berinsting pemburu dan dingin, sedikit terbantu dengan selera humor sarkastik yang jadi khasnya. Memang tak begitu banyak dialog Logan yang dikhususkan untuk membuat penonton tertawa, namun dengan cara dan gestur khas Wolverine yang sinis, kamu sebagai penonton tak melulu digembreng dengan aksi berkelahi dan melawan penjahat yang intens. Dalam film ini, Wolverine ditempatkan di situasi harus melindungi Mariko Yashida, cucu dari mantan prajurit Jepang yang ia selamatkan di masa lalu. Pertemuannya dengan Yashida inilah yang menjadi cikal bakal untuk keseluruhan cerita, dimana Logan harus menghadapi serangan Yakuza, sindikat penjahat terkenal di Jepang, yang ingin menculik Mariko. Wolverine juga terjebak di pusaran masalah perebutan tahta perusahaan bernilai jutaan Dolar serta trik politik yang terkadang curang. Sudah sangat mudah ditebak, dengan menjadikan Yakuza sebagai uncur utama cerita dan pemilihan co-star yang kebanyakan berasal dari Jepang, sepanjang film ini memang berlangsung di sekitaran Negeri Sakura. Inilah salah satu faktor yang membuat “The Wolverine” cukup melempem jika dilihat dari segi alur cerita, karena film ini terasa tak imbang dimana mutan melawan preman dan ninja yang notabene adalah manusia biasa, walaupun tetap saja coba diimbangi dengan figur mutan lainnya, yaitu Viper.
Advertisement
Next
The charisma
Bukan bermaksud subyektif, tapi seakan memang nggak ada aktor lain yang bisa memerankan Logan/Wolverine secocok Hugh Jackman. Berbicara tentang performa fisik, Jackman yang super kekar di film ini memang berhasil “’menggelembungkan” tubuhnya dan mendukung karakternya sebagai sosok yang kuat dan tak terkalahkan. Kabarnya, Jackman khusus mengontak rekannya sesama aktor Dwayne Johnson agar berhasil membentuk tubuh. Dengan banyak mengonsumsi ayam dan makan hingga 6 kali sehari, tubuh yang diinginkan pun tercapai. Tapi, bukan hanya tubuh tegap berisi yang membuat laki-laki asal Australia itu menarik, karena ia pun punya kharisma tersendiri yang membuat Jackman tak mudah untuk diganti dengan pemeran lain. Tujuan utama menonton film ini-yaitu untuk mendapatkan tontonan full action-rasanya tak mungkin tercapai bila tak didukung dengan kualitas akting dan kharisma yang kompeten. Dan semua itu terkemas dengan baik dari sesosok Jackman yang passionate, emosional, penyayang, dan petarung sejati. Sayangnya, keasyikan menonton sedikit terganggu dengan adegan perkelahian yang direka tak alami, juga sosok Viper sebagai pihak antagonis yang terkesan memaksa dan meniru karena sekilas mirip dengan sosok Poison Ivy yang diperankan Uma Thurman di film “Batman & Robin”. Namun terlepas dari itu, penggemar berat Wolverine tentu nggak akan mau ketinggalan untuk menyaksikan film ini sebagai pembayar rasa rindu dengan karakter ini. Juga, seperti umumnya film Marvel Comics, after credit scene (ACS) adalah hal lain yang patut ditunggu setelah kamu duduk selama 2 jam lebih menyaksikan film ini. Ps: the ACS is so much better than the movie itself, honestly.