Advertisement
Next
Saya bukan superstar
Jadi model di usia muda, lalu berlanjut menjadi aktris, penyanyi, dan lain sebagainya, bukanlah alasan saya untuk merasa berbeda dari kebanyakan orang. Istilah selebriti atau figur publik itu hanya pekerjaan dan saya jelas bukan superstar karena sama saja dengan yang lain. Lagipula, kerja di dunia hiburan itu hanya indah di permukaan. Saya nggak bilang kalau showbiz bukan bidang pekerjaan yang menyenangkan, tapi ada kerja keras yang dituntut lebih jika berkecimpung di sini. Seperti, saya harus 5 kali lipat lebih giat untuk memperlihatkan pada orang kalau saya punya kemampuan lebih, bukan sekadar berwajah cantik dan seorang model/aktris.
Advertisement
Salah seorang teman saya di Los Angeles melihat foto-foto saya di Facebook. Lalu ia berujar, kalau saya sangat diuji dengan berkah penampilan seperti ini dan karier di dunia showbiz. Ya, dia benar. Memang nggak mudah untuk bertahan di dunia hiburan. Saya diwajibkan untuk sadar kalau saya cantik agar bisa percaya diri. Sementara, pujian tentang penampilan nggak bisa terhindarkan kedatangannya. Padahal, itu sebenarnya sangat bertentangan dengan filosofi Yoga yang mengajarkan hidup apa adanya, sederhana, dan rendah hati. Nggak bisa dipungkiri, sering menerima pujian dan menikmatinya, ego akan dimanjakan dan kecanduan dengan itu. Pikiran ini akan terus menantikan datangnya pujian lain dan itu membuat tinggi hati. Saya harus berusaha keras untuk nggak membiarkan itu terjadi. Tapi, biar bagaimana pun menantangnya, saya harus mendapatkan jalan tengahnya, karena dunia ini adalah bidang pekerjaan saya.
Hidup saya berubah banyak di Los Angeles
Pindah ke Los Angeles dan menjalani kehidupan serta kesibukan yang sangat berbeda, tak disangka banyak mengubah kehidupan saya. Banyak jalan lain terbuka saat berada di sana. Seperti ketika saya menemukan Yoga yang kini sangat saya aplikasikan filosofinya untuk kehidupan. Saya juga melakukan banyak riset tentang keyakinan. Salah satunya tentang reinkarnasi. Bagi saya, reinkarnasi itu ada. Itulah yang jadi alasan kenapa saya terlahir sebagai Sophia Latjuba yang sebenarnya ingin jadi dokter tapi malah jadi model. Itu pasti dikarenakan oleh kehidupan saya sebelumnya. Apa yang saya perbuat di kehidupan dulu, itulah yang membuat saya memilih badan yang saya miliki, dengan penampilan blasteran dan kata orang cantik. Ya, saya sangat percaya kalau saya memilih sendiri siapa orang tua dan bagaimana penampilan saya. Kuasa penuh untuk memilih jalan hidup ada di tangan saya.
Saya sadar kalau paham ini nggak bisa diterima oleh semua orang. I don’t mind about it. Karena, dengan jalan pikir seperti ini saya justru lebih tenang dan kuat ketika dihampiri dengan berbagai macam ujian. Saya nggak cenderung menyalahkan orang atau hal lain jika mengalami hal tak enak, karena saya sadar sepenuhnya kalau kehidupan seperti ini adalah pilihan saya sendiri. Saya pun lebih tenang untuk melepas Eva Celia atau Manuela anak saya jika nanti saatnya mereka harus pergi meninggalkan saya. Karena, mereka sendiri yang memilih saya untuk menjadi orang tuanya dan mereka bukan milik saya sepenuhnya.
Next
Saya punya survival mode untuk bertahan hidup
Kesibukan saya kini sedang menjadi produser untuk film drama remaja “Adriana”. Hanya ini yang jadi fokus utama saya sekarang, karena saya bukan orang yang ambisius. Saya menyukai segala sesuatu yang simple. Bahkan, saking sukanya dengan segala sesuatu yang sederhana, target saya bukan jauh ke depan tapi harian. Selesai target hari ini, baru saya lanjutkan dengan target untuk besok.
Hal lain yang saya pelajari dari Yoga adalah keseimbangan. Ini saya berlakukan dalam reaksi terhadap apapun yang terjadi dalam kehidupan. Ketika datang kebahagiaan, saya selalu mengingatkan diri saya sendiri untuk tenang dan jangan over excited, karena nantinya akan datang kesedihan sebagai penyeimbang kebahagiaan itu. Sama halnya jika saya dilanda ujian yang membuat sedih, saya nggak perlu terlalu berlarut-larut untuk meratapinya, karena yakin pasti akan segera datang hal yang membahagiakan untuk menyeimbangkannya. Kedua cara inilah yang menjadi survival mode saya agar tetap sehat fisik dan mental.
Menunggu soulmate
Saya nggak percaya dengan konsep unconditional love. Segala hal berkaitan dengan duniawi, seperti hubungan pertemanan, anak-ibu, pacaran, bahkan suami-istri, menurut saya tetap menuntut satu kondisi tertentu sebagai timbal balik. Saya pun nggak yakin dengan istilah happily ever after, karena bahagia hanyalah state of mind yang diciptakan sendiri. Saya memilih untuk berbahagia dengan diri saya sendiri, karena umumnya orang hanya menggantungkan kebahagiaannya dengan orang lain. Sehingga, jika orang yang diharapkan bisa membahagiakan ternyata mengecewakan, kita cenderung menyalahkan. Saya nggak mau seperti itu.
Makanya, kalau membicarakan kebahagiaan dan kaitannya dengan laki-laki, saya memberlakukan konsep soulmate yang bisa saja dipertemukan, tapi juga tidak. Saya meyakini bahwa bisa saja sepasang soulmate nggak akan bertemu atas kesepakatan mereka sendiri, karena di kehidupan sebelumnya sudah sangat saling tergantung. Sepasang soulmate akhirnya memutuskan untuk berpisah sementara waktu agar bisa belajar mandiri. Dengan keyakinan ini, saya nggak terlalu ngoyo untuk urusan pasangan hidup. Kalau memang nggak cocok, saya akan mudah melepaskannya. Tapi hingga sekarang, saya yakin kalau Michael Villareal, ayah Manuela, adalah soulmate saya.