Advertisement
Next
Sejak zaman dulu, seks memang sudah menjadi salah satu kebutuhan pokok masyarakat. Hanya saja, topik semacam ini yang mulanya seolah dijauhkan dari publikasi—walau tak dipungkiri menjadi kebutuhan dan selalu menggiurkan—kini sebaliknya. Tak ada lagi rahasia, tak ada lagi kata sungkan, seks dipandang jauh lebih terbuka.
“Seks kini jadi bagian dari gaya hidup dan jadi simbol kebanggaan atau status sosial. Pernah mengamatinya nggak, sih? Di arisan kaum sosialita, misalnya. Fenomena ini bahkan pernah dibahas sama Joy Roesma dan Nadya Mulya dalam buku mereka, Kocok! The Untold Stories of Arisan Ladies and Socialites,” ungkap Rosa (28, store manager) prihatin. Ya, arisan yang merupakan ajang silaturahmi berubah menjadi tren baru, mulai dari ajang pamer, bergaya, bergosip, sampai mendapatkan kepuasan seks sekaligus kebanggaan tersendiri bisa berkencan dengan laki-laki tampan yang jadi rebutan.
Beranjak dari arisan, menyimak kabar soal gratifikasi seks di kalangan pejabat swasta dan pejabat pemerintah, kan? Bagaimana mereka meminta dan menerima hadiah perempuan sebagai salah satu imbalan dari sebuah kesepakatan. “Belum lagi kasus pejabat yang memanjakan perempuan-perempuan cantik dengan harta berlimpah. Buatku ini mempermalukan kita sendiri sebagai perempuan. Mengaku mendukung emansipasi, tidak mau direndahkan kaum lelaki, tapi baru diiming-imingi harta saja sudah lupa sama harga diri,” tambah Hapsari (31, ibu rumah tangga).
Advertisement
Mengapa fenomena semacam ini bisa terjadi? Seks, tak lagi tabu dibahas, sekaligus menjadi komoditas yang populer sebagai tren, gaya hidup, sekaligus kebutuhan pokok—sumber kepuasan selain kekayaan dan kekuasaan. Psikolog Henni Norita dari Lembaga Psikologi Hikari sendiri mengungkapkan bahwa pergeseran perilaku yang merupakan representasi pergeseran norma ini terjadi rata-rata di kota besar. Kesibukan, hidup yang cenderung lebih keras, dan kualitas komunikasi pasangan yang memburuk, juga menjadi penyebab utama pergeseran perilaku seksual masyarakat urban.
Next
Intinya, memang bukan naluri seks masyarakat yang keliru selama ini, melainkan bagaimana mereka menyalurkan hasrat seksual yang kemudian bertentangan dengan norma, seperti seks pranikah, kekerasan seksual, perselingkuhan. Masih ingat kasus pebasket yang diduga hamili seorang DJ, kisah perempuan-perempuan di sekeliling figur publik, dari dunia hiburan maupun politik? Yang teranyar soal Ahmad Fathanah yang dekat dengan beberapa perempuan cantik, termasuk dengan Maharani, seorang mahasiswi yang di malam penangkapannya kepergok tengah bersama Fathanah di kamar hotel.
“Di beberapa negara Barat kebebasan seksual mungkin tak jadi masalah. Namun, di Indonesia yang masih menjunjung norma, agama, dan tradisi yang relatif kuat, hal tersebut menjadi masalah,” papar Henni. Dari sisi medis dr. Ari Fahrial Syam, praktisi kesehatan dari RS Cipto Mangunkusumo, pun menyarankan untuk tetap setia kepada satu orang. “Sebelum terjebak dalam gaya hidup gonta-ganti pasangan dan risiko terkena penyakit mematikan semakin besar,” paparnya.
Hal ini memang tak bisa dipungkiri. Kita hidup dalam lingkup yang menjunjung tinggi norma dan sensitif soal seksualitas, di tengah kemajuan zaman yang menawarkan perubahan. Hubungan intim yang seharusnya sakral menjadi ajang bersenang-senang karena nilai kesakralan itu sendiri yang terkikis. Belum lagi soal perselingkuhan yang dipandang wajar sebagai bentuk penyelesaian dari kualitas hubungan yang tak sempurna dan jawaban atas kebosanan. Tren media sosial, juga menjamurnya tempat-tempat hiburan menambah daftar panjang perilaku seksual yang kian tak terkontrol.
Bagaimana kemudian mengatasi seksualitas sebagai gaya hidup yang salah kaprah, menjadi pertanyaan yang paling sulit dipecahkan. Inilah fenomena budaya yang dinamis. Budaya, tren, kebiasaan masyarakat selalu berubah. Namun, ke arah dan sejauh mana seksualitas akan terbawa, tentu melibatkan kita sebagai nakhodanya, sebagai pelaku utama. Dasar yang kuat, seperti agama dan pendidikan moral, masih menjadi andalan untuk membentuk kepribadian yang lebih baik. Masalahnya, sebagai bagian dari masyarakat urban, kamu termasuk yang menikmati gaya hidup ini sebagai bentuk eksistensi, atau yang tetap ingin konsisten dengan norma yang berlaku?