Advertisement
Next
Di Indonesia, masalah kesejahteraan pekerja sepertinya belum menjadi perhatian serius pemerintah dan pihak-pihak terkait. Para pengusaha masih menjadi penentu mutlak nasib dan hidup para pekerja. Yang saya maksud pekerja adalah semua orang yang bekerja, baik sebagai karyawan kantoran maupun sebagai buruh.
Kasus penganiayaan buruh pabrik panci di Tangerang yang terjadi dalam waktu dekat ini menjadi bukti bahwa para pengusaha seolah menjadi penguasa mutlak yang menentukan nasib pekerja mereka. Tanpa ijin dari pemerintah, mereka yang memiliki modal dengan mudah membuka usaha dan menarik tenaga kerja.
Advertisement
Next
Bahkan, yang lebih ironis adalah mereka diperlakukan semena-mena, disiksa, dikurung, dan tidak dibayar upahnya. Bukan hanya itu, banyak juga pekerja di bawah umur yang terlibat dalam produksi pabrik panci milik lelaki berinisial Y tersebut. Undang-Undang Ketenagakerjaan? Sepertinya tidak ada kata ‘hukum’ dalam dunia si empunya pabrik. Mengingat para penegak hukum dan penguasa birokrasi lokal pun berada di pihaknya dan seolah mendukung perilaku keji Y selama membawa keuntungan bagi mereka.
Bukan hanya itu, seorang mantan karyawan sebuah perusahaan importir yang saat ini tengah tersandung kasus suap impor daging juga pernah mengeluhkan soal kesewenang-wenangan perusahaan tersebut. “Masalah Tunjangan Hari Raya (THR). Kantor pernah tidak memberikan uang THR kepada karyawan mereka. Ditanyakan masalah ini kepada supervisor, tapi tidak ada jawaban yang memuaskan dari mereka. Dan hasilnya? Nihil! Bukan hanya itu, tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, mereka memotong uang makan karyawan saat libur Lebaran. Kecewa dengan manajemen yang tidak transparan, penuh dengan ketidakjelasan, dan sewenang-wenang maka saya akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri,” ujar Kiki, 31.
Advertisement
Next
Bukan hanya masalah buruh pabrik, karyawan kantoran pun juga tidak luput dari perlakuan yang tidak menyenangkan dari pihak perusahaan. Pada tahun 2010, karyawan dari sebuah surat kabar harian di Jakarta, di-PHK secara sepihak oleh kantor mereka.
Pihak perusahaan tidak mengakui adanya PHK sepihak namun Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) menemukan fakta bahwa PHK dilakukan tanpa adanya komunikasi antara pihak manajemen dan karyawan. Dan peristiwa ini sudah melanggar Pasal 151 ayat 1 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menegaskan bahwa pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
Namun, lagi-lagi berita sekadar berita. Tercium ke permukaan, namun pada akhinya akan kembali menghilang seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Berapa banyak karyawan yang belum mendapatkan gaji secara layak padahal mereka telah “mengabdi” belasan tahun pada perusahaan. Bahkan, tidak sedikit juga perusahaan yang belum membayar upah kerja karyawan sesuai standar propinsi dengan alasan ‘perusahaan merugi’. Lagi, ironis! Kebanyakan ini terjadi pada mereka, pekerja, yang mayoritas tidak berani membuka mulut untuk menyuarakan ketidakadilan. Atau bahkan mudah gentar dengan ancaman-ancaman kecil dari pihak perusahaan.
Mungkinkah pemerintah tidak tahu tentang semua ini? Tidak mungkin! Tapi, apa hasilnya? Pemerintah seolah menutup mata terhadap masalah ketenagakerjaan yang, mungkin, mereka anggap ‘sepele’. Bagaimana tenaga kerja Indonesia bisa dihargai di negeri orang jika pemerintah sendiri tidak pernah memberi perhatian pada masalah ketenagakerjaan? Dan bagaimana warga Indonesia berpotensi tidak mudah tergiur tawaran bekerja di luar negeri jika sistem dunia kerja di Indonesia penuh dengan ketidakjelasan?