Advertisement
Next
Sabtu lalu (23/03), beberapa pengunjung Rutan Pondok Bambu mengaku sama sekali tak melihat mantan anggota DPR itu, baik di sesi jam besuk pagi maupun siang. Sementara petugas keamanan memberi informasi bahwa Angie masih terdaftar sebagai penghuni rutan saat beberapa pihak tak yakin Angie sepenuhnya mendekam di sana. Memang tak ada jadwal kunjungan, atau sengaja bersembunyi setelah muncul kabar dirinya dengan bebas keluar-masuk tahanan? Belum jelas memang, fakta atau sekadar lemparan isu.
Pengacara Angie, Teuku Nasrullah, langsung membantah kabar kepergian Angie, mengingat selama ini ijin meninggalkan rutan sangat sulit didapat. Jangankan untuk berobat ke Singapura, tahun lalu Angie hanya diberi waktu 1 jam untuk menjenguk anaknya, Keanu Jabbar Massaid, yang dirawat di rumah sakit. Sahabat Angie, Kahfi Siregar juga membantah kepergian Angie. Dia yang sempat menemui Angie akhir Maret lalu mengatakan Angie tak mungkin ke luar negeri karena sudah dicekal. Jelasnya, “Paspornya saja ditahan Kemenkumham.” Seperti yang kita tahu, Angie harus menjalani hukuman 4,5 tahun penjara dan denda Rp250 juta atau 6 bulan kurungan karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi Wisma Atlet, melanggar Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junto Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Advertisement
Pada bulan Januari, Angie juga sempat menjadi sorotan lantaran akun Twitter-nya @SondakhAngelina kembali berkicau, padahal di dalam rutan tak diperkenankan membawa apalagi mengaktifkan telepon genggam. Kabar lain kemudian menyebutkan akun Angie tengah dibajak. Yang satu ini, juga tak jelas mana yang benar, karena penyidikan tak diteruskan usai tak ditemukannya barang bukti apa pun di dalam sel Angie.
Next
Tahun 2010, kasus sel mewah Artalyta di rutan yang sama terungkap. Di dalamnya terdapat fasilitas lengkap, mulai dari AC, televisi plasma, komputer, spring bed, kamar mandi dengan kloset duduk, sampai satu set perlengkapan karaoke. Telepon genggam ketika itu juga bebas digunakan, dan beberapa napi bahkan dijadikan sebagai asisten bayaran. Masih di tahun yang sama, Gayus tertangkap kamera menonton pertandingan tenis di Bali. Menurut Kapitra Ampera, pengamat hukum UII Yogyakarta, penggunaan telepon genggam di dalam tahanan memang bukan hal asing lagi. Hal itu juga yang membuat tahanan narkoba kerap sukses bertransaksi walaupun sedang mendekam di balik jeruji. “Sipir-sipir di dalam tahanan membutuhkan uang, sehingga apa pun bisa dilakukan,” ungkapnya. Hanya, ketika pelakunya figur publik, isu kecurangan lembaga hukum semacam ini lebih cepat tercium khalayak.
Sebaliknya, perlakuan berbeda kemudian diterima Muhammad Nazaruddin, terpidana kasus korupsi Wisma Atlet, yang mertuanya baru saja meninggal Senin ini (01/04) di Sumatera Barat. Dia dan sang istri, Neneng, yang saat ini juga ditahan atas kasus pengadaan pemasangan pengadaan listrik tenaga surya, malah tak diijinkan melayat. Situasi yang jauh berbeda dengan rekannya yang asyik berlibur. Apa ini bisa menjadi bukti perbaikan lembaga hukum di negara kita? Praktik suap dan diskriminasi, nyatanya memang ada. Badan hukum lemah oleh suap, korupsi “mewabah” akibat ekspansi para koruptor. Lantas, siapa lagi yang bisa dipercaya menegakkan keadilan?
Sabtu lalu (23/03), beberapa pengunjung Rutan Pondok Bambu mengaku sama sekali tak melihat mantan anggota DPR itu, baik di sesi jam besuk pagi maupun siang. Sementara petugas keamanan memberi informasi bahwa Angie masih terdaftar sebagai penghuni rutan saat beberapa pihak tak yakin Angie sepenuhnya mendekam di sana. Memang tak ada jadwal kunjungan, atau sengaja bersembunyi setelah muncul kabar dirinya dengan bebas keluar-masuk tahanan?
Pengacara Angie, Teuku Nasrullah, langsung membantah kabar kepergian Angie, mengingat selama ini ijin meninggalkan rutan sangat sulit didapat. Jangankan untuk berobat ke Singapura, tahun lalu Angie hanya diberi waktu 1 jam untuk menjenguk anaknya, Keanu Jabbar Massaid, yang dirawat di rumah sakit. Sahabat Angie, Kahfi Siregar juga membantah kepergian Angie. Dia yang sempat menemui Angie akhir Maret lalu mengatakan Angie tak mungkin ke luar negeri karena sudah dicekal. Jelasnya, “Paspornya saja ditahan Kemenkumham.” Seperti yang kita tahu, Angie harus menjalani hukuman 4,5 tahun penjara dan denda Rp250 juta atau 6 bulan kurungan karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi Wisma Atlet, melanggar Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junto Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Advertisement
Next
Pada bulan Januari, Angie juga sempat menjadi sorotan lantaran akun Twitter-nya @SondakhAngelina kembali berkicau, padahal di dalam rutan tak diperkenankan membawa apalagi mengaktifkan telepon genggam. Kabar lain kemudian menyebutkan akun Angie tengah dibajak. Yang satu ini, juga tak jelas mana yang benar, karena penyidikan tak diteruskan usai tak ditemukannya barang bukti apa pun di dalam sel Angie.
Tahun 2010, kasus sel mewah Artalyta di rutan yang sama terungkap. Di dalamnya terdapat fasilitas lengkap, mulai dari AC, televisi plasma, komputer, spring bed, kamar mandi dengan kloset duduk, sampai satu set perlengkapan karaoke. Telepon genggam ketika itu juga bebas digunakan, dan beberapa napi bahkan dijadikan sebagai asisten bayaran. Masih di tahun yang sama, Gayus tertangkap kamera menonton pertandingan tenis di Bali. Menurut Kapitra Ampera, pengamat hukum UII Yogyakarta, penggunaan telepon genggam di dalam tahanan memang bukan hal asing lagi. Hal itu juga yang membuat tahanan narkoba kerap sukses bertransaksi walaupun sedang mendekam di balik jeruji. “Sipir-sipir di dalam tahanan membutuhkan uang, sehingga apa pun bisa dilakukan,” ungkapnya. Hanya, ketika pelakunya figur publik, isu kecurangan lembaga hukum semacam ini lebih cepat tercium khalayak.
Sebaliknya, perlakuan berbeda kemudian diterima Muhammad Nazaruddin, terpidana kasus korupsi Wisma Atlet, yang mertuanya baru saja meninggal Senin ini (01/04) di Sumatera Barat. Dia dan sang istri, Neneng, yang saat ini juga ditahan atas kasus pengadaan pemasangan pengadaan listrik tenaga surya, malah tak diijinkan melayat. Apa karena tak ada sisipan uang pelicin? Entahlah. Situasi yang jauh berbeda dengan rekan sesama tahanan korupsi yang dengan leluasa menikmati liburan. Praktik suap dan diskriminasi, nyatanya memang ada. Badan hukum lemah oleh suap, korupsi “mewabah” akibat ekspansi para koruptor. Lantas, siapa lagi yang bisa dipercaya menegakkan keadilan?