Advertisement
Next
Keterbatasan fisik tak pernah membuat Emily patah semangat. Emily malah berhasil menempuh kuliah di beberapa universitas ternama dengan beasiswa penuh, mulai dari Harvard University, Saint Olaf College, Trinity College di Dublin, sampai University of Texas di Austin. Beragam penghargaan dia terima dan dia pun pernah bekerja di sejumlah media besar seperti The Los Angeles Times dan The Sun. Di luar itu, Emily masih aktif berbagi ilmu dan teknik penulisan yang dia kuasai di universitas dan berbagai pelatihan. Gelar profesor penulisan kreatif dan sastra di universitas seni dan desain Santa Fe, New Mexico, bahkan sudah perempuan kelahiran 1974 ini genggam.
Semua terlihat begitu sempurna. Namun, rupanya sebuah peristiwa sempat membuatnya merasa sangat terpukul, lemah, dan putus asa. Ketika itu, tepat 10 Januari 2011, mendadak hidup Emily dan sang suami berubah drastis. Anak tunggal mereka, Ronan, yang masih berusia 9 bulan divonis menderita kelainan genetik, penyakit mematikan yang penanganan apalagi obatnya belum ditemukan: Tay Sachs.
Advertisement
Pembentukan lemak terjadi di dalam sel, terutama otak dan sel saraf, yang berdampak pada perkembangan fisik penderita disertai kejang, kebutaan, kelumpuhan, dan terakhir adalah kematian. Terdengar asing, memang kelainan genetik ini jarang ditemukan. Bayi yang menderita penyakit mematikan ini pun mulanya terlihat sehat saat lahir, tapi gejala penyakit ini akan terlihat menjelang usia 3 sampai 6 bulan dengan mulai lemahnya kemampuan motorik. Selanjutnya, di usia 6 sampai 10 bulan fungsi motorik hilang dan dengan cepat kondisi penderita kian buruk. Yang makin membuat Emily makin putus asa, seorang anak dengan Tay Sachs dipastikan hanya bertahan maksimal hingga umur 5 tahun.
Next
Emily berusaha membuat kemampuan motorik Ronan berfungsi, mencari tahu segala hal yang berhubungan dengan Tay-Sachs dan bagaimana memaksimalkan hidup Ronan sebelum dia benar-benar pergi. Namun, kenyataannya memang tak banyak yang bisa dilakukan. Emily harus memupus harapannya melihat Ronan tumbuh dewasa seperti ayahnya yang jago bermain puzzle atau seperti dirinya yang petualang kuliner.
Satu-satunya yang bisa dilakukan hanyalah berdoa, sesuatu yang sudah sangat lama tak pernah dilakukannya. “If you take Tay-Sachs from Ronan, I will do anything you ask—just say the word,” ungkap Emily, “I prayed as I had as a young theologian in divinity school, and I was so overwhelmed, so out of my body, so fully in the dream of disbelief, that I actually believed for a moment that it might work.” Harapan Emily, dengan kembali berdoa keajaiban bisa terjadi.
Sayang semua lagi-lagi tak sesuai harapan Emily. Ronan berhasil bertahan sampai umur 3 tahun dengan kondisi tak bisa bergerak, mendengar, apalagi berbicara. Kepalanya harus terus ditopang karena dia tak memiliki kekuatan sama sekali. Di satu titik, Emily merasa Ronan tak beruntung, demikian juga dirinya dan sang suami. Namun, dari semua perasaan negatif itu, Emily juga merasa mendapat kekuatan baru, pelajaran baru, “The experience of loving Ronan has transformed me. I now know that the immense fear of losing a friend, a parent, a child, or a spouse is, in fact, evidence of how much we value that person.”
Emily berhasil memetik sesuatu dari kisahnya, kemudian menuliskan secara detail menjadi sebuah buku, The Still Point of the Turning World. Lewat tulisannya, Emily ingin menyampaikan bahwa siapa pun tak akan bisa menyadari seseorang begitu berarti dalam hidupnya sampai merasakan kehilangan. Emily sendiri merasa beruntung karena bisa mengungkapkan cintanya kepada Ronan dan memberikan yang terbaik untuknya. Emily begitu menyadari sejak awal bisa sewaktu-waktu kehilangan Ronan, sehingga tiap detik bersama Ronan menjadi waktu yang sangat berharga untuknya.
Kini, Emily benar-benar telah ditinggalkan Ronan yang pergi pada pertengahan Februari lalu. Namun, anak semata wayangnya itu meninggalkan satu hal untuk Emily, pelajaran hidup yang abadi. Yang juga menjadi peninggalan Ronan untuk kita semua tentang arti kehadiran orang-orang di sekeliling kita, menyadari betapa berartinya mereka, dan apa yang seharusnya bisa kita lakukan untuk mengungkapkan perasaan kita, sebelum sewaktu-waktu mereka pergi, seperti Ronan.