Advertisement
Next
Day 1
Kali ini, saya beruntung bisa mendapat kesempatan untuk menjejakkan kaki di Cirebon. Dari Jakarta, perjalanan menuju Kota Udang ini bisa ditempuh dengan menggunakan mobil ataupun kereta. Kali ini, untuk menuju Cirebon saya menggunakan kereta Cirebon Express dari Stasiun Gambir. Tiket kereta api Cirebon Express kelas Eksekutif bisa diperoleh dengan harga Rp110.000,- sedangkan untuk kelas Bisnis seharga Rp60.000,-. Berangkat dari Stasiun Gambir pukul 06.15 pagi dengan menggunakan Cirebon Express kelas Eksekutif, saya tiba di Cirebon pukul 09.00. Sekarang, perjalanan ke Cirebon dari Jakarta, baik dengan menggunakan kereta ataupun mobil, sama-sama ditempuh dalam waktu sekitar 3 jam.
Untuk mobilisasi selama di Cirebon, saya sarankan untuk menyewa mobil supaya jalan-jalanmu efektif dan bisa menjangkau tempat-tempat yang memang kamu inginkan. Tapi, jika ingin merasakan atmosfer Cirebon yang sebenarnya, kamu bisa menggunakan angkot atau becak. Jangan takut, karena angkot di Cirebon cukup banyak dan disertai trayek dengan jelas di mobil. Kisaran harga sewa mobil di Cirebon Rp250.000,- itu di luar bensin dan supir ya. Harga standar sewa mobil seperti di tempat wisata lalinnya.
Advertisement
Begitu sampai di Cirebon, saya mencari makanan “kecil” untuk sarapan. Dan saya pun memilih Nasi Jamblang Ibu Nur sebagai tempat pemberhentian pertama. Kenapa saya bisa “makanan kecil”? Karena memang satu porsi Nasi Jamblang cukup kecil, bisa dibilang hampir sama dengan Nasi Kucing. Nasi Jamblang sebenarnya nasi putih biasa yang dihidangkan dengan berbagai pilihan lauk pauk dan sayur rumahan. Yang berbeda adalah Nasi Jamblang ini disajikan dengan piring yang beralaskan daun jati. Pilihan lauk pauk dan sayurnya pun sebenarnya cukup standar, misalnya saja Sotong Tumis, Tumis Tauco, Terong Balado, Otak Sapi Goreng, dan berbagai olahan udang pastinya yang nggak ketinggalan. Seporsi Nasi Jamblang pun cukup murah, sebenarnya tergantung pada pilihan lauk yang kamu ambil. Belum sah main di Cirebon kalau kamu belum mampir buat mencicipi Nasi Jamblang.
Next
Usai mengganjal perut, saya pun pergi menuju gudang sejarah Kota Cirebon, Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman. Berbeda dengan sistem Keraton di Yogyakarta yang memiliki kekuasaan dalam bidang pemerintahan daerah (secara sistem kenegaraan), Kesultanan di Cirebon hanyalah simbol dalam sejarah Cirebon, layaknya Keraton di Solo. Pertama, saya mengunjungi Keraton Kasepuhan. Kesan pertama begitu menginjakkan kaki di Keraton ini adalah ‘tidak terawat’. Kondisi Keraton Kasepuhan cukup kotor walaupun kondisi bangunan masih cukup bagus. Untuk masuk ke dalam Keraton, pengujung tidak dikenai biaya. Hanya saja, ketika kita memasuki setiap ruangan demi ruangan di Keraton, kita akan dimintai “sumbangan kebersihan” oleh penjaga ruangan di sana. Jujur, cara meminta “sumbangan” di sini agak memaksa pengunjung. Mungkin sebaiknya pihak Keraton menerapkan retribusi resmi masuk Keraton daripada pengunjung merasa “tertodong” setiap kali memasuki ruangan Keraton. Aura mistis pun cukup kencang saat memasuki ruangan yang menyimpan kereta kencana dan sebuah “lukisan hidup”. Diakui penjaga Keraton bahwa di atas kereta kencana tersebut memang biasa terlihat sosok perempuan cantik setiap pukul 12 siang. Beruntung saya tiba di ruangan tersebut setelah lewat pukul 12.
Puas melihat sekeliling Keraton Kasepuhan, saya beranjak menuju Keraton Kanoman. Bagaimana kondisi Keraton Kanoman? Jika Keraton Kasepuhan tidak terawat maka kondisi Keraton Kanoman lebih tidak terawatt lagi. Agak miris memang melihat warisan budaya dan gudang sejarah yang tidak terawat. Sama seperti saat masuk Keraton Kasepuhan, masuk Keraton Kanoman pun tidak dipungut biaya, hanya saja “todongan” biaya kebersihan “seikhlasnya” masih merongrong saya. Kondisi Keraton yang cukup kotor serta bangunan yang agak tidak terawat membuat aura mistis di tempat ini semakin kencang. Bulu kuduk saya semakin berdiri ketika saya memasuki sebuah ruangan bekas singgasana Sultan. Ruangan bekas singgasana Sultan memiliki penerangan minim dan beraroma lembab. Setelah tidak lagi digunakan sebagai singgasana Sultan, ruangan ini pun digunakan sebagai tempat persemayaman ketika Sultan meninggal dunia. Keranda tempat jenazah Sultan yang ada di ruangan ini rasanya memaksa saya untuk segera meninggalkan ruangan. Yogyakarta, Solo, dan Cirebon, jika boleh saya membandingkan ketiga Keraton yang ada di masing-masing daerah maka saya akan menobatkan Keraton Cirebon sebagai Keraton yang paling tidak terawat.
Advertisement
Next
Nah, usai belajar sejarah dan mengenal Cirebon lebih dekat maka saya pun mampir sebentar di Pasar Kanoman yang terletak tidak jauh dari Keraton. Seru rasanya jalan-jalan di sini, berbagai makanan tradisional khas Cirebon pun dijual di sini. Terlalu banyaknya tukang makanan, saya pun cukup bingung untuk menjajal yang mana. Akhirnya, saya menghampiri tukang es yang cukup menarik perhatian karena namanya unik, Es Cuing. Ternyata, Es Cuing adalah cincau yang disajikan dengan bubur sumsum hijau dengan es serut, santan, dan gula merah. Ya, Cuing adalah sebutan untuk cincau di daerah Cirebon. Hanya dengan Rp3.000,- saya pun melepas dahaga dengan semangkuk Es Cuing di Pasar Kanoman. Serabi khas Cirebon pun nggak lepas dari incaran saya. Berbeda dengan serabi umumnya yang dinikmati dengan gula cair atau kinca, Serabi Cirebon dinikmati dengan semacam bumbu yang ternyata adalah santan. Dan Serabi Cirebon ini memiliki rasa yang relative manis, itu sebabnya mengapa Serabi ini harus dimakan dengan santan, untuk mengimbangi rasa manis Serabi pastinya. Hari beranjak sore dan saya memutuskan untuk beranjak makan siang sebelum pergi ke hotel untuk beristirahat. Dan sebagai bekal perjalanan menuju makan siang, saya membeli sebungkus udang goreng tepun yang dijual seharga Rp10.000,- di Pasar Kanoman.
Next
Untuk makan siang, sudah pasti saya harus mencicipi makanan khas Cirebon lainnya, Empal Gentong. Kali ini, saya menyambangai daerah Plered. Di sepanjang jalan ini banyak berjejer rumah makan yang menawarkan Empal Gentong. Empal Gentong yang terkenal adalah Empal Gentong Amartha dan Haji Apud. Namun, karena saat itu Empal Gentong Amartha sangat penuh maka saya pun bergeser ke Empal Gentong Haji Apud. Di sini terdapat dua varian, yakni Empal Gentong dan juga Empal Asam. Nah, buat kamu yang ingin mencicipi makanan segar di siang hari, Empal Asam bisa menjadi jawabannya. Irisan daging sapi atau jeroan dihidangkan dengan kuah asam dan segar, irisan belimbing wuluh di dalamnya pun membuat mata melek. Selain Empal Gentong, warung Haji Apud juga terkenal dengan Sate Kambing Muda. Tapi, buat kamu yang punya keluhan kolesterol, sebaiknya pikir 2 kali sebelum menyantap Empal Gentong dengan Sate Kambing Muda sekaligus.
Usai makan siang, saya menuju hotel untuk beristirahat mempersiapkan perjalan esok harinya. Saya pun menginap di Hotel Grage Sangkan yang terdapat di perbatasan Cirebon dan Kuningan. Hotel ini cocok banget untuk tempat menginap bersama keluarga, area outbond di Grage Sangkan cukup luas, anak-anak pun akan sangat senang bermain di sini. Namun sayang, buat kamu yang gila online, agaknya harus kecewa karena fasilitas wi-fi Hotel Grage Sangkan hanya sebatas di lobi hotel.
Advertisement
Next
Day 2
Hari kedua, saya bersiap pulang ke Jakarta. Namun, sebelum pulang saya menyempatkan diri untuk beli oleh-oleh khas Cirebon. Toko Pangestu yang terdapat di Jalan Sukalila Selatan bisa menjawab semua kebutuhan oleh-oleh khas Cirebon yang kamu butuhkan. Mulai dari beragam olahan ikan asin, manisan buah, tape dalam berbagai ukuran dan kemasan, serta baju batik pun ada di sini. Kamu nggak perlu hinggap ke tempat lain lagi jika sudah mampir ke tempat ini. Selesai belanja oleh-oleh, saya mampir makan siang di SALT Resto. Konon, SALT Resto merupakan restoran dengan pemandangan terbaik di Kota Cirebon.
Yup! Nggak salah kalau SALT dikatakan restoran dengan pemandangan keren, hamparan sawah menjadi latar pemandangan saya saat makan siang saat itu. SALT merupakan restoran khusus seafood dan juga masakan Sunda. Selain pemandangannya yang memukau, pilihan makanan di sini standar seperti restoran seafood lainnya, Gurame Asam Manis, Capcay, dan berbagai olahan seafood lainnya.
Usai mengisi perut sebelum pulang ke Jakarta, saya menuju ke pemberhentian terakhir di Cirebon, yakni ke Kampung batik Trusmi. Nah, di sini, kamu bisa memeroleh berbagai macam batik khas Cirebon. Kali ini, sepertinya saya hanya bisa melihat beberapa rumah tempat produksi batik mengingat harus segera meluncur ke stasiun agar tidak tertinggal kereta.
Ternyata saya tiba di stasiun 30 menit sebelum waktu pemberangkatan. Tapi, menunggu selama 30 menit tidak membosankan. Sebuah kelompok Keroncong klasik siap menghibur para penumpang Stasiun Cirebon yang menunggu kereta. Akhirnya, Cirebon Express menuju Jakarta yang saya tunggu pun tiba. Beruntung walau hanya 2 hari di Cirebon, saya mendapatkan cukup banyak pengalaman baik dari kuliner maupun kekayaan budayanya. Nah, buat kamu yang berencana untuk main ke Cirebon, bulan April nanti, Keraton Kanoman akan mengadakan Festival Budaya Rakyat yang akan terbuka untuk masyarakat umum lho. Dan pastinya saya akan kembali lagi ke sini karena masih banyak lagi tempat dan makanan yang belum saya cicipi. Walaupun kecil, namun Cirebon siap memberikan pengalaman kuliner dan budaya yang tak terlupakan.