Advertisement
Next
Sabtu, 12 Januari 2013, Edwin Husni Sutanudjaja—seorang peneliti air post-doctoral Universitas Utrecht, Belanda—mencoba menjawab sederet mitos tentang banjir yang kerap berseliweran di kepala kita dalam diskusi "10 Myths on Water & Flood in Jakarta" di Salemba, Jakarta Pusat.
1#
Advertisement
Mitos: Banjir 5 tahunan.
Fakta: Masih ingat dengan banjir besar yang melanda Jakarta tahun 2002 dan 2007 silam? Itulah yang memunculkan mitos adanya banjir 5 tahunan. Faktanya, banjir tak pernah bisa diprediksi berdasarkan waktu. Istilah “5 tahunan” hanyalah istilah statistik. Banjir merupakan kejadian acak yang besar-kecilnya hanya berdasarkan kemungkinan, bukan siklus. Edwin pernah menganalisis probabilitas banjir (debit) yang terlampaui tiap tahunnya, dengan hasil nilai probabilitas sebesar 20%. Dengan kata lain, debit banjir sebesar 20% itu tidak hanya terjadi tiap lima tahun sekali, tapi tiap tahun. Hanya, kuantitasnya-lah yang berbeda.
Next
2#
Mitos: Sampah, penyebab utama banjir.
Fakta: Sampah bukan satu-satunya penyebab terjadinya sedimentasi, karena sedimentasi merupakan proses alami yang pasti akan terjadi di sungai, sehingga masyarakat yang tinggal di bantaran sungai tak bisa terus disalahkan sebagai penyebab utama sedimentasi. Cara paling efektif untuk mengatasinya adalah memelihara sungai, dengan pengerukan tahunan untuk menyingkirkan endapan yang terbawa arus, misalnya.
Advertisement
Next
3#
Mitos: Prinsip sederhana daya gravitasi—air mengalir dari tempat yang tinggi ke rendah—bisa diterapkan untuk mengatasi banjir Jakarta.
Fakta: Prinsip dasar gravitasi itu memang sederhana, tapi tak semudah penerapannya dalam kasus banjir di Jakarta. Faktanya, penerapan daya gravitasi pada sistem kanal kurang efektif karena topografi Jakarta yang variatif, ada daerah yang letaknya lebih tinggi, rendah, maupun datar. Air tak bisa dengan alami mengalir mengandalkan daya gravitasi semata.
Next
4#
Mitos: Sistem pompa air cukup efektif menahan aliran air dari tempat yang lebih tinggi.
Fakta: Sistem pompa air atau polder efektif menahan aliran air ke daerah rendah maupun mengurangi genangan air, tapi dengan syarat penampungan yang ideal tersedia, karena fungsi pompa air ini adalah untuk menahan air, menampung, kemudian membuangnya dengan cara dipompa. Nah, setelah pompa menjalankan tugas dengan baik, giliran penampungan yang sangat dibutuhkan untuk menurunkan puncak banjir, beban saluran di hilir, juga menurunkan beban pompa. Penampungan seperti apa yang dimaksud? Bisa sungai, danau, maupun waduk. Ketika semuanya meluap? Ini yang mesti dipikirkan.
Advertisement
Next
5#
Mitos: Jakarta kerap banjir, artinya stok air pun melimpah.
Fakta: Jakarta memang kerap banjir, tapi faktanya Jakarta kekurangan air bersih. Hal itu terjadi karena ketidakmampuan masyarakat memanajemen air, sehingga air yang seharusnya bisa ditampung baik di permukaan maupun dalam tanah, justru langsung mengalir ke laut. Penggunaan air tanah, termasuk minyak bumi, yang tak kenal batas juga membuat permukaan tanah Jakarta kian cepat menurun, sehingga beberapa daerah sukses menjadi tempat limpahan air dari daerah yang lebih tinggi, seperti Bogor. Padahal, kita semua tahu air tanah yang ada sejak ribuan tahun itu tak bisa diperbarui.
Next
6#
Mitos: Jakarta bisa bebas banjir.
Fakta: Jakarta bebas banjir sangat sulit terwujud karena butuh waktu panjang, juga dana yang tak sedikit. Jadi, mustahil mewujudkan Jakarta bebas banjir dalam waktu singkat, maksimal hanya bisa berkurang sedikit demi sedikit. Itulah yang diungkapkan Kepala Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta Wisnu Subagyo. Jakarta butuh lebih banyak tempat penampungan air atau polder untuk menggenapi yang sudah ada, tapi untuk membangun satu saja, dana yang harus disiapkan mencapai sekitar triliunan Rupiah.
Selain itu, pengerukan sungai juga membutuhkan biaya yang tak murah, hingga miliaran Rupiah. Peneliti sumber daya air Institut Teknologi Bandung (ITB), Hendratmo Soekarno, pun pesimis Jakarta bisa bebas banjir, karena menurutnya intensitas hujan berubah-ubah, sementara jumlah penampungan air, seperti saluran atau daerah resapan, terus menyempit dan menipis. Pengerukan saluran air toh cuma mampu bertahan 2 tahun, lewat dari itu volume air dan luas penampung yang tidak seimbang menyebabkan air bisa meluber. Padahal, saluran air di DKI baru mulai dikeruk beberapa tahun belakangan, setelah selama puluhan tahun tak pernah “disentuh”.
Ya, begitulah faktanya, tapi bukan berarti kita sebagai penduduk Jakarta tak bisa berbuat sesuatu untuk mengurangi banjir. Sudah tahu mana mitos dan mana fakta, saatnya memulai gaya hidup hemat air dan, tentu saja, lebih peduli pada kebersihan lingkungan. Ingat, banjir adalah tanggung jawab kita bersama.