Sukses

Entertainment

Rudi Soedjarwo: "Lebih Susah Cari Pengganti Nicholas Saputra Daripada Dian Sastrowardoyo"

Next

Rudi Soedjarwo

Saya bukan sutradara galak

Anggapan yang sangat sering saya terima adalah: saya seorang sutradara yang galak. Itu terbentuk dengan kuatnya dan dipercaya oleh banyak orang. Padahal, saya sama sekali nggak pernah berlaku seperti itu. Ambillah contoh dengan keterlibatan saya di CLEAR Hair Model (CHM) dimana ini adalah tahun kedua. Saya mendapatkan pemain-pemain baru yang bukan sepenuhnya saya yang casting, tapi harus dipoles dan hasil akhirnya harus bagus. Tanggung jawab itu menjadi lebih berat lagi di tahun ini, karena saya bukan lagi memoles pemain baru untuk FTV, tapi film layar lebar, dimana film ini dijual secara komersil sehingga harus benar-benar bagus. Cara saya mengasah kemampuan akting kelima pemenang CHM itu sama sekali bukan dengan cara yang keras. Saya menganggap kalau mereka adalah orang yang sudah dewasa dan bisa menilai akting yang bagus seperti apa.

“Formula” mengajar yang saya terapkan ke setiap pemain baru, termasuk untuk proyek ini adalah, saya kembalikan kepada mereka ingin jadi aktor seperti apa. Bila mereka mampu berakting bagus, toh pujian dan keuntungannya akan untuk mereka juga. Mereka pun sudah sebenarnya tahu akting yang bagus itu seperti apa, tinggal bagaimana mereka bisa mempraktekkan itu. Jujur, sempat ada masanya saya putus asa dengan perkembangan mereka, sementara deadline makin mendekat. Tapi dengan pendekatan seperti itu, ternyata menumbuhkan kesadaran di pikiran mereka masing-masing untuk berbuat yang terbaik. Tanpa harus dengan cara keras. Hasilnya, mereka bisa melakukan take yang nggak lebih dari 3 kali, serta bisa menuntaskan 10 scene dalam satu hari, padahal awalnya mereka tidak tahu apa-apa tentang akting.

Next

 

Rudi Soedjarwo

Agar laku berjualan film, ada rumusnya

Film saya akan laku untuk ditonton bila menarik. Agar menarik, saya selalu membuat film saya meninggalkan pertanyaan untuk penontonnya. Menurut saya, sebuah film akan mau ditonton oleh orang lain, bila ada pertanyaan yang ingin mereka dapatkan jawabannya. Ambil contoh, untuk film saya ini. Dari penjudulannya, yaitu “Langit Ketujuh”, apa memang benar ada langit ketujuh? Apa benar langit ketujuh itu sebuah tempat pertemuan? Atau bisa juga timbul pertanyaan dari tema yang saya angkat, yaitu takdir. Apa memang benar takdir yang menggerakkan kehidupan ini? Apa ada takdir itu?

Pertanyaan-pertanyaan dari kehidupan sehari-hari seperti itulah yang saya tangkap dan saya angkat menjadi film, karena itu sebenarnya terkait dengan kehidupan banyak orang, termasuk saya sebagai pembuat film. Saya sendiri pun mendapatkan kepuasan dengan mengangkat pertanyaan-pertanyaan seperti itu karena menggali hal tersebut untuk mendapatkan jawaban. Coba kalau saya buat film dengan tema biasa, lalu diberi judul yang nggak menggelitik, bagaimana orang mau bertanya-tanya seperti apa film saya ini?

Next

 

Rudi Soedjarwo

Lebih susah mencari pengganti Nicholas Saputra daripada Dian Sastrowardoyo

Harus diakui, sangat susah untuk mencari aktor baru yang berkualitas daripada aktris baru. Keadaan ini pun lalu membuat saya berkomitmen untuk harus menampilkan aktor baru di setiap film yang saya buat. Nicholas Saputra di AADC, Fedi Nuril di “Mengejar Matahari”, Fauzi Baadila di “9 Naga”, semuanya adalah aktor baru saat tampil di film saya. Bagi saya, saya mau nonton film Indonesia ke bioskop, tapi saya nggak mau menonton film dengan cerita berbeda, sementara pemainnya sama. Buat apa saya menonton film lain, tapi aktornya sama? Jalan pikiran seperti itu yang saya anggap juga harus diaplikasikan ke film saya bila mau ditonton oleh orang lain. Masalah pemilihan aktor inilah yang tricky menurut saya, karena ada tuntutan harus ganteng dan loveable, padahal itu nggak bisa ditentukan dari dia Indo atau bukan, berkulit cerah atau gelap, semuanya sangat relatif. Saya ingin mengembalikan standar ini ke zaman film Indonesia dulu dimana aktor dan aktrisnya real. Kualitas akting merekalah yang membuat mereka bersinar dan bertahan lama di industri ini, bukan fisik.

Ini sebenarnya juga adalah pekerjaan rumah yang besar untuk saya, karena selain harus bekerja keras lebih untuk menemukan aktor baru yang potensial, namun juga harus mulai dari awal  karena mereka belum berpengalaman. Tapi kembali lagi, apa gunanya saya sebagai seorang sutradara bila terus-terusan mengarahkan aktor/aktris yang sudah jadi? Membosankan bila melakukan itu terus. Saya merasa berguna, tertantang, dan mendapat ilmu baru lagi ketika bisa membuat seseorang yang nggak bisa akting menjadi mahir berakting. Saya bukan hanya sutradara yang menghasilkan produk film siap tonton, tapi juga ingin mendapatkan kepuasan dengan merasakan “petualangan” selama proses pembuatan film, memoles dan mengarahkan talent baru adalah salah satunya. Makanya, kini saya seperti kecanduan untuk “berpetualang” dengan aktor/aktris baru di setiap film saya dan akan mati rasa bila nggak bisa lagi melakukannya.

Next

 

Rudi Soedjarwo

Pendapat mereka tentang Rudi….

Anggapan Rudi itu galak menurut saya salah. Dia memang bisa marah, tapi ketika kami melakukan kesalahan, selebihnya dia adalah orang yang bisa menuntun kami untuk bisa berakting dengan baik dan sewajarnya dengan cara memacu kami lewat motivasi. Cara dia mengajar kami juga bukan dengan suara keras, melainkan mengajak kami untuk berpikir sendiri harus berbuat seperti apa agar bisa menjadi yang terbaik. Ia pun selalu mempertimbangkan apa saja masukan dari kami. Karena sudah merasa dia seperti bapak kami sendiri, kami kini pun ikut memanggilnya Baba, panggilan yang sama seperti anak-anaknya memanggilnya. Kami tergolong beruntung bisa langsung bertemu dengan sutradara sebagus dia untuk debut pertama kami berakting di dunia film.

(Rechelle, Bonita, Atika, Maureen, dan Taskya – Pemenang CLEAR Hair Model 2012)

Pada awalnya, Rudi adalah sosok sutradara yang saya benci. Karya-karyanya memang bagus, tapi ketika melihat namanya “merajai” hampir di setia[ peran di credit title film “Mendadak Dangdut”, saya sebagai orang produksi gerah juga dengan kelakukannya. Kebencian itu ternyata malah mempertemukan saya dengannya di sebuah proyek film bersama Salman Aristo. Kami banyak ngobrol, hingga akhirnya saya mengetahui kalau sebenarnya kami punya visi dan cita-cita yang sama tentang film Indonesia dan industri film secara keseluruhan. Mulai dari situlah akhirnya kami selalu berpartner dalam setiap proyek film hingga sekarang. Perbedaan pendapat yang pasti ada di antara kami, sampai saat ini bisa disikapi dengan penyelesaian dan logis.

(Kemal Arsjad, produser)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading