Advertisement
Next
Twitter itu untuk bersenang-senang, bukan medan perang
Media sosial yang satu ini memang menyenangkan terkadang, tapi bisa juga menyebalkan dan malah jadi bumerang untuk saya sendiri. Melontarkan satu kalimat saja, bisa diserbu dengan macam-macam komentar. Pernah saya membuat status yang itu adalah komentar pribadi saya, jadinya dibahas panjang lebar oleh followers yang nggak semuanya tahu cara berbicara yang baik. Mereka pikir, dengan begitu mudahnya mention nama seseorang di Twitter, artinya sama dengan mereka sudah kenal dekat dengan saya. Padahal, rata-rata yang mengomentari dan saya temui di sana adalah orang asing, yang saya nggak tahu mereka siapa. Mendiamkan adalah cara ampuh mengatasi mulut usil seperti itu. Pernah suatu kali saya coba menjawabnya, malah tambah ramai komentarnya. Jadi, daripada malah tarik urat dengan omongan nggak penting, tutup Twitter, cari kesibukan lain, dan selesai sudah masalah saya.
Advertisement
Kritik pedas, balas saja dengan bercanda
Seperti halnya di sekolahan, berprofesi di dunia hiburan itu kurang lebih sama. Ada saja yang merasa lebih superior atau pihak yang ingin menjegal. Bekerja di bidang ini sekian belas tahun, terkadang masih saja membuat saya takut salah, gugup, khawatir, dan perasaan negatif lainnya. Nah, kalau perasaan ini dibiarkan terus-menerus dan akhirnya terlihat ke penampilan saya ketika membawakan acara, sudah pasti akan memicu komentar-komentar pedas dari orang yang menontonnya. Untuk hal satu ini, saya selalu ingat dengan saran dari almarhum Indra Safera, sahabat sekaligus mentor saya, yang mengatakan kalau perasaan tersebut sebenarnya bukan karena saya nggak bisa menuntaskan pekerjaan dengan baik, tapi itu tandanya saya masih mencintai pekerjaan ini. This work stuff matters to me. Dengan pikiran seperti itu, pekerjaan yang menjadi sesuatu yang saya cinta, saya kerjakan dengan sebaik mungkin dan biasanya berjalan dengan baik. Kalau tetap ada yang mengkritik, saya biasanya belokkan dengan bercanda atau tertawa lepas.
Next
3. Mungkin itu bukan verbal bullying, tapi sebuah kritik membangun
Saya punya satu prinsip yang selalu saya pakai untuk menyaring perkataan seseorang, apakah itu menjurus ke verbal bullying atau sebenarnya kritik membangun. Prinsipnya adalah: semua tergantung dari dimana saya meletakkan kepala. Kalau saya menaruh kepala di dalam freezer, semua yang ada di dalam kepala ini akan menjadi dingin dan lebih menyenangkam. Tapi, kalau meletakkan kepala di dalam microwave, yang ada saya malah meledak-ledak seperti berondong jagung yang dijadikan popcorn. Nah, dari prinsip seperti itu saja, kalau ada seseorang yang mengatakan rambut saya terlalu pendek hingga membuat saya tampak seperti laki-laki, atau mengejek badan saya yang terlihat “tebal” di televisi, saya bisa saja marah karena merasa dijatuhkan.
Tapi, dengan kepala dingin, saya justru bisa menelaahnya dan menyadarkan diri saya sendiri, jangan-jangan saya memang benar seperti yang dikatakan orang. Kedua contoh itulah yang sering saya terima, lalu sering jadi bahan celaan orang lain, dan saya jadikan bahan introspeksi. Hasilnya, kini saya jadi tahu potongan rambut seperti apa yang sebenarnya cocok untuk saya dan saya lebih termotivasi untuk mengatur makan agar memiliki tubuh ramping.
Ketiga cara di atas, saya pilih karena saya yakin benar kalau perkataan yang buruk ke seseorang tidak ada gunanya. Speak4Peace itu lebih enak lho, karena dunia jadi lebih tenteram dan nyaman untuk ditinggali. Yuk, mulai terapkan Speak4Peace dengan tiga cara saya!
Empowered by: