Advertisement
Next
Buat kita yang mengalami masa sekolah SMP atau SMA pada pertengahan 90-an, tentu masih ingat bagaimana maraknya tawuran antarpelajar merebak. Penyerangan dari satu sekolah ke sekolah lain, pembajakan bus-bus yang mengangkut siswa-siswa yang menjadi musuh sekolah tertentu tak jarang menjadi penghalang di jalan dan menjadi ketakutan tersendri bagi masyarakat untuk beraktivitas pada saat itu.
Perlahan-lahan, seolah menghilang, tawuran pelajar pun semakin lama semakin tidak terlihat lagi di jalan-jalan. Belakangan, tawuran pelajar kembali menjadi topik pembicaraan hangat setelah pertikaian antara SMA 6 dan SMA 70 memakan satu orang korban tewas. Mendengar berita tawuran antar-SMA 6 dan SMA 70 rasanya bukan hal aneh lagi buat kita yang tinggal di Jakarta. ‘Musuh bebuyutan’ mungkin itu label tersebut yang diberikan oleh masyarakat kepada dua sekolah tersebut. Apakah memang perseturan kedua sekolah sudah terjadi sejak dulu?
“Saya juga nggak mengerti dan nggak tahu kapan persisnya tawuran antarkedua SMA tersebut terjadi. Saya lahir 61 tahun lalu di wilayah Kebayoran Baru dan bersekolah di SMA 6. Ketika saya sekolah di SMA 6 dulu belum ada yang namanya tawuran. Dan yang saya lihat, sepertinya sekarang ini orang-orang memberikan pemakluman terhadap tawuran. Seolah mereka menganggap tawuran hanyalah proses yang berlangsung selama beberapa menit dan setelah itu bisa selesai,” ujar Alex Asmasoebrata, Alumni SMA 6, mantan pembalap nasional.
Advertisement
Next
Kematian seorang siswa SMA 6 akibat penyerangan SMA 70, menimbulkan beragam opini untuk menanggulangi dan meminimalisasi kekerasan di sekolah. Menteri Agama Republik Indonesia, Suryadharma Ali, pernah mencetuskan bahwa salah satu yang bisa menjadi jalan keluar untuk mengurangi tawuran dan tindak kekerasan di sekolah adalah dengan menambahkan jam pelajaran agama.
“Mungkin memang benar bahwa penambahan jam pelajaran agama bisa membantu meminimalisasi tindak kekerasan dan tawuran antarsekolah. Tapi, itu semua tentu sia-sia jika tidak didukung oleh semua pihak. Dan sebenarnya inti dari permasalahan kekerasan yang terjadi adalah bagaimana anak dididik di rumah sejak awal. Setelah kasus tewasnya siswa SMA 6, saya melakukan pengumpulan data yang terkait dengan kasus tawuran. Ternyata memang benar bahwa anak yang melakukan kekerasan di luar, biasanya memang datang dari keluarga yang kurang harmonis, pelaku pembunuh siswa SMA 6. Dan setelah diselidiki ternyata kasus ini bukanlah kasus kekerasan yang pertama. Sebelumnya anak ini juga pernah membacok seseorang, dilaporkan, dan ditangkap. Tapi, akhirnya anak ini bisa bebas karena berbagai pembelaan yang datang dari pihak komite sekolah,” Alex berkomentar.
Advertisement
Next
“Saya nggak tahu persis kapan masalah tawuran antarsekolah ini dimulai, mungkin pada tahun 90-an kali ya. Menurut saya, lebih baik sekolah-sekolah ini dibubarkan untuk menghentikan agar tidak terjadi lagi tawuran dan memakan korban,†ujar Nana, Alumni SMA 6 angkatan 2005.
Satu minggu mencari data ke departemen-departemen terkait dan juga sekolah yang sempat identik biang tawuran, Alex Asmasoebrata mengatakan bahwa tawuran sebenarnya bisa dihentikan asal ada kekompakan dalam menegakkan hukum dari semua pihak. “Dulu STM Penerbangan adalah sekolah yang rasanya tidak lepas dari tawuran setiap hari, tapi ternyata sekarang bisa tertib. Kenapa? Karena semua pihak yang terkait dengan sekolah ini sama-sama sepakat membuat aturan jelas dan dengan tegas menjalankannya. Misalnya, kalau memang ada seorang siswa tertangkap melakukan kekerasan dan memang harus dikeluarkan, lebih baik ditindak tegas dan dikeluarkan. Jangan ada lagi orang-orang yang melakukan pembelaan dengan berbagai alasan. Jika peraturan seperti itu dijalankan dengan tegas, saya rasa semua sekolah juga akan kembali tertib,†Alex memberi saran.
Next
Sistem pemberian hukuman tegas seperti apa yang dituturkan Alex ternyata juga didukung oleh Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Gumelar. Awal minggu ini Linda Gumelar mengunjungi SMA 6 terkait dengan kasus kematian siswa di sana. Menurut Linda penegakan hukum melalui "reward dan punishment" yang ditegakkan di sekolah-sekolah, diharapkan dapat membuat pelajar-pelajar sekolah mengetahui rambu-rambu dan peraturan yang ada. Dengan peraturan yang mengikat namun bukan dengan sistem "algojo" dan memiliki ruang untuk berkreativitas dan mengarahkan minat dan bakat siswanya, dapat mengurangi bahkan menghilangkan kasus-kasus tawuran.
So, mengatasi tawuran bukan hanya masalah penambahan jam pelajaran tertentu, tapi lebih kepada bagaimana peraturan ditegakkan untuk memberikan efek jera pada setiap siswa. Setuju?