Advertisement
Next
Sekitar tahun 2006, saat itu saya sedang mandi ketika menemukan benjolan pada payudara saya. Seperti biasa, memang setiap kali mandi kita kan pasti membersihkan seluruh bagian tubuh, saat itulah saya merasa sebuah benjolan keras seperti tulang di dalam payudara.
Bercerita tentang bejolan tersebut kepada seorang teman, dia menyarankan saya agar memeriksakan diri ke Yayasan Kanker Indonesia. Opini dokter di sana meminta saya untuk melakukan USG, mamografi, dan biopsi untuk menentukan apakah benjolan yang ada pada payudara saya berbahaya atau tidak. Nggak mau langsung mengambil tindakan, saya mencari second opinion ke Rumah Sakit Dharmais. Dan ternyata, dokter di sana pun mengeluarkan pendapat yang sama seperti dokter di Yayasan Kanker Indonesia.
"Pola hidup saya sangat rusak, tidur malam, stres, rokok, dan asupan makanan yang tidak sehat menjadi bagian hidup saya setiap hari."Awalnya dokter meminta saya mengingat bagaimana gaya hidup yang saya jalani selama 10 tahun belakangan. Dan jujur saya akui, pola hidup saya sangat rusak, tidur malam, stres, rokok, dan asupan makanan yang tidak sehat menjadi bagian hidup saya setiap hari. Dan ketika saya divonis kanker saya memang sedang mengalami stres tinggi. Jujur, saya ini tipe orang yang selalu memikirkan hal-hal kecil yang nggak penting, susah buat marah, dan paling nggak bisa berbicara meluapkan emosi. Tapi, ternyata justru ini nggak baik, membuat saya stres tinggi dan ternyata menggiring saya kepada penyakit ini.
Advertisement
Tidak berani untuk mengambil tindakan, saya bercerita kepada kakak saya. Dan kakak saya menganjurkan agar saya diobati secara alternatif dengan cara pijat dan minum-minuman herbal. Dua bulan menjalani pengobatan alternatif, ternyata benjolan di payudara saya malah bertambah sakit. Akhirnya saya memutuskan untuk berhenti dan memeriksakan diri ke Singapura.
Next
Sampai di Singapura, saya menjalani serangkaian tes dan mendapatkan hasil positif kanker payudara stadium I. Pasrah menerima vonis dokter, saya memutuskan untuk melakukan pengangkatan dan rekonstruksi payudara untuk menghindari perawatan kemoterapi. Jujur, saya takut dengan kemoterapi karena tidak siap untuk menghadapi dampak-dampak kemoterapi.
Selesai operasi payudara, ternyata dokter menemukan 4 titik kanker lain di kelenjar getah bening saya. Kemoterapi yang awalnya saya hindari pun dengan terpaksa harus saya jalani untuk mengangkat kanker di kelenjar getah bening saya. Saat itu saya benar-benar pasrah dan menyerahkan hidup saya pada Tuhan. Baru selesai melakukan operasi payudara, saya harus menjalani kemoterapi untuk perawatan kanker getah bening. Bisa terbayang kan bagaimana stresnya saya?
Sebelum melakukan kemoterapi, dokter di Singapura menyuruh saya pulang untuk proses penyembuhan operasi. Di Indonesia, saya sempat melakukan terapi kunyit putih di Jogja untuk menjaga agar organ-organ tubuh saya yang lagi tidak rusak jika saya menjalani kemoterapi nantinya. Setelah dua bulan, saya kembali ke Singapura untuk memulai kemoterapi. Ketika kali pertama masuk ke ruang kemoterapi saya cukup stres melihat orang-orang di sana dengan keadaan yang nyaris seperti mayat hidup yang tidak punya harapan.
Advertisement
Next
Saya berjanji pada diri sendiri, saya tidak akan seperti mereka. Jadi, setiap kali kemoterapi dan sehari-hari pun saya tetap stunning full makeup. Bahkan, kepala saya yang sempat saya buat botak justru malah membuat saya tampil gaya.
Selama menjalani perawatan, saya masih tetap kerja tapi akhirnya mengundurkan diri karena kondisi tubuh yang drop dan ambil sekolah makeup, saya memang suka mendandani orang lain. Dan dokter juga memang menyuruh saya untuk melakukan hal-hal dan berpikir positif serta melakukan semua apapun yang saya suka.
"Jalani hidup apa adanya, tetap berpikir positif, dan banyak-banyak bersyukur ternyata menjadi kunci utama yang membuat saya bisa terbebas dari kanker tahun lalu."Kemudian, saya bertemu dengan almarhum suami saya yang sangat mendukung saya untuk sembuh dan juga mengangkat hidup saya hingga saya kembali punya semangat hidup. Almarhum suami yang mengajarkan saya untuk bisa memilah-milah berbagai urusan dan mengungkapkan emosi saat sedang kesal. Jalani hidup apa adanya, tetap berpikir positif, dan banyak-banyak bersyukur ternyata menjadi kunci utama yang membuat saya bisa terbebas dari kanker tahun lalu. Jujur, selama saya sakit, saya hanya menjalani hidup untuk hari ini, tanpa berpikir muluk-muluk dengan rencana ke depan nantinya, hanya fokus pada kesembuhan.
Ternyata sakit yang saya derita selama 5 tahun membuat saya bisa hidup lebih easy going, mengungkapkan semua apa yang ada di dalam kepala saya, dan memanajemen emosi. Karena saya belajar, ternyata stres merupakan penyebab utama saya terkena penyakit yang ditakuti oleh semua orang.