Advertisement
Next
Siapa yang belum pernah mendengar nama Kampung Tugu? Daerah yang terdapat di wilayah Koja, Jakarta Utara ini terkenal dengan Gereja Tugu dan juga Keroncong Tugu. Konon, dulu kawasan Tugu merupakan wilayah pemberian Belanda kepada tawanan-tawanan Portugis yang datang ke Indonesia sebelum Belanda.
Kini, wilayah Kampung Tugu, yang mungkin, dahulu merupakan perkampungan besar berubah menjadi sebua kawasan cagar budaya yang hanya terdiri dari bangunan Gereja Tugu, pemakaman, rumah tinggal pendeta, ruang serba guna, dan juga sekretariat gereja. Pak Yusuf, security yang menjaga pintu masuk di Kampung Tugu, mengatakan memang banyak warga daerah Kampung Tugu yang direlokasikan ke tempat lain di sekitar Kampung Tugu.
Next
Perjalanan menuju Kampung Tugu memang agak sedikit menguji nyali kita pasalnya kita harus bertarung dengan kontainer pelabuhan di jalan kecil. Di daerah sekitar Kampung Tugu memang banyak tempat parkir kontainer-kontainer sebelum berangkat ke pelabuhan. Memasuki cagar budaya Kampung Tugu, kita tidak akan dikenai biaya masuk apapun, hanya cukup mengisi buku tamu yang ada di pos penjaga. Saat FIMELA.com berkunjung, seorang perempuan yang merupakan penggiat keroncong Tugu sedang menunggu anggota lainnya untuk latihan. Yes, salah satu yang terkenal dari kawasan Tugu adalah Keroncong Tugu. Jauh dari apa yang kami bayangkan, ternyata banyak anak muda yang menjadi penggiat dan penerus warisan keroncong ini.
Begitu masuk ke Kampung Tugu, kita akan langsung disambut dengan deretan makam. "Nggak bisa sembarang orang dikubur di sini. Cuma orang-orang yang berasal dari Komunitas Tugu yang boleh dimakamkan di makam ini," ujar Pak Yusuf menjelaskan. Bersebrangan dengan makam terdapat sebuah rumah dinas pendeta Gereja Tugu. Walaupun rumah ini merupakan bangunan baru, namun tetap saja desain rumah dibuat layaknya rumah khas tempo dulu.
Advertisement
Next
Di depan rumah dinas pendeta terdapat sebuah lonceng tua yang menurut pengakuan Pak Yusuf lonceng tersebut merupakan lonceng asli pemberian Belanda. Lonceng tersebut kemudian harus "dipensiunkan" karena sudah banyak bagian yang retak sehingga tidak mungkin lagi digunakan. "Sekarang lonceng yang terpasang adalah lonceng lokal. Suaranya jauh berbeda dengan lonceng tua ini. Dulu, jika lonceng tua ini dibunyikan, suaranya bisa terdengar daerah Semper. Ya di sini yang tersisa dari peninggalan Belanda cuma lonceng, gereja, dan beberapa kursi tua," ujar Pak Yusuf.
Beruntung saat kami datang, coster (sebutan untuk penjaga Gereja Tugu) sedang membersihkan gereja untuk mempersiapkan kebaktian hari Minggu sehingga kami bisa mengintip gereja dari dalam. Mulai dari gagang pintu masuk gereja, jendela, hingga mimbar gereja pun masih merupakan peninggalan jaman Belanda. Setiap hari Minggu, Gereja Tugu mengadakan 3 kali kebaktian dan setiap kali kebaktian, gereja ini bisa menampung hingga sekitar 150 orang jemaat. Berbeda dengan makam di areal Gereja Tugu yang "eksklusif", setiap orang bebas untuk beribadah di dalam Gereja Tugu, tanpa harus melihat keanggotaan Komunitas Tugu.
Next
Berbeda dari bangunan pada umumnya yang biasanya menghadap ke jalan, bangunan Gereja Tugu malah menyampingi pintu masuk kawasan dan juga jalan raya. Menurut seorang bapak tua yang mengaku sebagai bagian anggota Komunitas Tugu, posisi Gereja Tugu sebenarnya menghadap ke sebuah kali. Kenapa kali? Karena pada jaman dulu, kali merupakan jalur utama yang menghubungkan gereja-gereja lain yang memiliki keterikatan dengan Gereja Tugu, misalnya saja Gereja Sion yang ada di dekat Stasiun Kota. Kali tersebut juga merupakan jalur utama pergerakan untuk mengirim barang dan juga pesan dari gereja yang satu ke gereja lain yang membawa misi tertentu.
Nah, buat kamu yang penasaran ingin jalan-jalan di Kampung Tugu, kamu bisa datang ke sini kapan pun kamu mau. Namun, untuk mengambil gambar di wilayah Kampung Tugu dan masuk ke dalam Gereja Tugu, kamu harus terlebih dahulu membuat surat permohonan ijin yang ditujukan ke sekretariat gereja. So, selamat mengeksplorasi Kampung Tugu dan tunggu destinasi sejarah lainnya.