Advertisement
Next
Nama saya Debby, biasa dipanggil Ebbie oleh teman-teman saya. Pada awal September lalu, saya bersama pasangan berlibur singkat ke Bandung. Perjalanan itu agak terkesan mendadak, karena saya bertolak ke Bandung langsung dari kantor pada Jumat malam, namun sejauh itu perjalanannya berjalan lancar. Tidak ada sesuatu apapun yang terjadi. Hari Sabtu sore, saya dan pasangan berada di Cihampelas untuk berjalan-jalan. Setelah keluar dari sebuah toko yang menjual makanan ringan untuk oleh-oleh, jaraknya kurang lebih 200 meter dari Cihampelas Walk (Ciwalk), tiba-tiba saya dihampiri oleh seorang perempuan muda. Ia bertanya dimana letak Ciwalk, seolah-olah seperti seorang pendatang yang tidak familiar dengan situasi di sana.
Anehnya, perempuan itu bertanya hal yang sama sampai tiga kali, padahal sudah saya jawab dan arahkan dengan jelas. Pada saat dia mulai bertanya untuk ketiga kalinya itulah, baru saya sadari kalau dia sedang membawa sebuah paper bag berukuran sedang. Dan tiba-tiba, paper bag yang awalnya terlihat seperti barang bawaan biasa itu, mengeluarkan seekor ular kobra yang mencelat keluar persis di depan wajah saya. Di detik berikutnya baru saya sadari kalau ular itu hanya mainan karet. Disuguhi hal seperti itu tanpa sepengetahuan saya, secara tiba-tiba, dan sengaja diarahkan ke muka saya, tentu membuat ular itu tidak tampak seperti mainan dan mengagetkan.
Kontan saya berteriak, dan teriakan itu murni karena saya kaget luar biasa atas “kejutan” tak terduga itu. Saya sadari juga kalau teriakan melengking saya, sangat keras sehingga sempat sepersekian detik membuat hening sekitar Cihampelas. Sempat juga saya lihat reaksi tertawa perempuan muda yang menyodorkan lelucon laknat itu. Mungkin dipikirnya saya lucu karena bisa seheboh itu bereaksi. Saya merasa marah dikerjai seperti itu. Setelah kejadian yang berlangsung sangat cepat itu, saya langsung meninggalkan tempat kejadian perkara dengan marah. Mulai di situ, saya sudah merasakan kalau napas saya sesak diserta sakit dada. Pasangan saya yang mencoba menyusul saya, langsung terkejut saat dia memegang pundak saya, karena badan saya naik turun kesulitan bernafas. Langsung saya didudukkan di lantai sebuah toko dan terlihat kalau wajah saya mulai memucat.
Seorang laki-laki yang belakangan saya tahu adalah salah satu kru dari PH, mengikuti saya ke tempat saya duduk. Ia sendiri kaget dan sedikit panik, karena nggak menyangka kalau lelucon yang dilakukan temannya tadi berefek serius. Dia berkali-kali minta maaf, tapi terlanjur menjadi hal yang sia-sia karena itu sudah menyakiti saya. Di saat itu juga saya tahu kalau mereka adalah segenap tim dari sebuah PH yang memproduksi reality show “Makin Jail” yang tayang di Trans TV. Melihat keadaan saya mengkhawatirkan, saya pun akhirnya dibawa ke Rumah Sakit Advent yang berada tidak jauh dari kawasan itu. Melalui tes electrocardiogram (EKG), dokter mengetahui kalau saya mengidap Heart Arrhythmia atau kelainan detak jantung yang tidak beraturan. Saya mengiyakan hal itu. Saya sendiri mengetahui kelainan detak jantung itu di tahun 2006 saat saya dirawat karena penyakit DBD. Inilah alasan yang membuat saya paling tidak bisa dikagetkan atau kelelahan, karena akan berefek buruk untuk kondisi saya.
Advertisement
Next
Hasil EKG ternyata tidak bagus, sehingga saya diputuskan untuk opname agar bisa dirawat secara intensif. Kondisi jantung saya drop dan itu harus ditangani secara serius. Selama dua hari tiga malam, saya rata-rata menjalani EKG sebanyak dua kali setiap harinya, berkali-kali diambil darah, dan ditangani oleh tiga dokter spesialis, yaitu internis, spesialis jantung, dan spesialis paru-paru. Pada hari Senin, salah seorang kru dari PH menghubungi saya dengan maksud meminta saya untuk keluar dari rumah sakit. Alasannya adalah karena semakin lama saya dirawat, maka semakin besar pula biaya yang harus mereka tanggung. Yang makin membuat saya naik darah dengan perlakuan tak terpuji mereka adalah, mereka membatasi biaya pengobatan saya. Awalnya mereka mengatakan hanya bisa menanggung maksimal dua setengah juta Rupiah, lalu setelah beradu mulut, “melonggar” menjadi empat setengah juta Rupiah.
Tapi, itu tetap saja tidak memuaskan saya, karena penyakit jantung bukan penyakit main-main yang bisa disembuhkan dengan obat-obat sederhana dan perawatan sekadarnya. Saya pun berkali-kali menekankan pada mereka kalau saya bisa berada di kondisi seperti ini karena ulah mereka. Saya pribadi juga tidak mau dirawat di rumah sakit hingga membuat pekerjaan saya dan pasangan terbengkalai karena tertahan di Bandung. Keputusan tim dokter belum membolehkan saya pulang, padahal saya juga sudah tidak betah diopname.
Masalah pertanggungjawaban PH tersebut berlangsung alot. Entah sudah berapa kali saya atau pasangan saya berdebat dengan mereka via sms soal penyelesaian masalah ini. Kenapa lewat sms? Karena, sepanjang proses perawatan itu, tidak ada seorang pun dari mereka yang menjenguk saya. Mereka pun lebih memilih menghubungi saya via pesan singkat, entah kenapa. Hingga akhirnya, pimpinan dari PH tersebut menghubungi saya dan memohon maaf atas kelancangan anak buahnya yang berakibat fatal, sambil berjanji untuk bertanggung jawab penuh atas segala biaya pengobatan saya. Hari Selasa akhirnya saya bisa keluar rumah sakit dan langsung kembali ke Jakarta. Keluarga yang akhirnya saya beri tahu tentang insiden di akhir pekan tersebut, marah dan meminta saya untuk menuntut mereka. Menurut keluarga saya, belum cukup sampai di situ pertanggungjawaban PH tersebut, karena masih ada biaya kerugian moril yang harus dibayar.
Akhir cerita, saya tidak memanjangkan perkara tersebut, karena saya malas mencari masalah. Saya pun tidak meminta mereka untuk untuk menanggung biaya rawat jalan saya setelah opname, karena saya bukan orang senang mencuri-curi kesempatan di tengah kesempitan. Saya hanya berharap, kasus saya bisa dijadikan pelajaran untuk pihak mana pun yang memanfaatkan kealpaan, keluguan, atau keterkejutan orang-orang sebagai bahan tontonan yang dianggap lucu. Baiknya, kita sebagai “calon korban”, juga berhati-hati dengan gerak-gerik atau tanda-tanda mencurigakan dari seseorang, sebuah benda, atau lokasi yang menjadi properti untuk mengerjai orang dan menciptakan kelucuan. Sebelum tertimpa kejadian ini, saya sudah tidak setuju dengan konsep acara seperti itu. Setelah mengalaminya sendiri, makin membuat saya menentang kalau ada acara yang dipertontonkan dan dikomersialisasi padahal itu merupakan hasil dari penderitaan orang lain.