Advertisement
Next
Ketertarikannya pada tari memang sudah terlihat sejak kecil. Ditta bercerita, “Saya suka semua tarian, dan kalau bisa saya ingin mempelajari semuanya. Saya mengenal balet sejak umur 5 tahun di Paris, kemudian umur 7 tahun saat kembali ke Indonesia, pertama kali belajar tari Bali. Umur 10 tahun baru masuk ke Sumber Cipta milik Farida Oetoyo, dan selama menari balet itu saya masih mendalami bermacam tarian daerah, dari Bali, Jawa, Sulawesi, sampai Sumatera.”
Ditta menjadi murid Sumber Cipta sejak tahun 1977 hingga 1989, kemudian berhenti setelah mendapat kesempatan dari Goethe Institut untuk belajar bahasa di Jerman. Sebelumnya, Ditta memang sengaja mendaftar kursus intensif bahasa Jerman di Goethe Institut untuk mengejar beasiswa tersebut. Ia pun sudah terlebih dulu mendaftar masuk Folkwang Hochschule agar bisa mengikuti audisi masuk sekolah tari itu saat tiba di Jerman. Usahanya tak sia-sia, ia diterima dan rela meninggalkan kuliahnya di Sastra Jepang Universitas Nasional yang sudah berjalan 3 tahun, juga selama 4 tahun tak menginjakkan tanah air karena keterbatasan dana. Untuk mendapatkan uang tambahan, saat libur musim panas Ditta pun mengisi waktu luang dengan bekerja di pabrik mobil dan menari flamenco di restoran atau bar.
Ditta masih berumur 21 tahun saat berangkat ke Jerman. Tanpa rasa takut tinggal berjauhan dari orangtua, Ditta malah mengaku senang. “Saya tentu senang sekali ketika impian saya ke Jerman terwujud. Halangannya cuma orang Jerman tidak ramah, musim dingin di sana sangat dingin, dan makanannya sama sekali tidak enak. Bahasa justru tidak terlalu menjadi kendala buat saya karena bahasa Jerman jauh lebih mudah saya pelajari ketimbang bahasa Jepang. Apalagi, seperti menari, saya juga sangat suka belajar bahasa,” cerita Ditta.
Advertisement
Setelah lulus sekolah dan mendapatkan penghasilan dari menari, tiap libur musim panas Ditta selalu menyempatkan diri pulang ke Indonesia, sekadar untuk menyambangi keluarga dan mengobati rasa kangennya pada mie ayam! Namun, berbeda dari biasanya, kepulangan Ditta kemarin sekaligus jadi ajang nostalgia dengan Goethe Institut yang membuat impiannya menari di Jerman tercapai. Ia pun mempersembahkan pertunjukan solo “Ditta Miranda Jasfji: Sebuah Perjalanan Tari”. Dua tarian karya Pina Baush, “Ten Chi” dan “Vollmond”, dan 1 tarian karya Farida Oetoyo, “TOC”, ia bawakan.
Next
Saat berusia 12 tahun, Ditta pernah menyaksikan Tanztheater Wuppertal pentas di Jakarta. Pementasan tari “Rite of Spring” tafsiran Pina Bausch atas karya legendaris Vaslav Nijinsky dan Igor Stravinsky di Teater Terbuka Taman Ismail Marzuki itu membuat Ditta terpukau. Tak disangka, ialah yang kemudian menjadi penari solo yang dipilih Pina mementaskan karya yang sama. Ia bahkan terpilih menjadi Penari Terbaik Pilihan Kritikus se-Eropa tahun 2004.
Sebelum bergabung dengan kelompok tari milik Pina Bausch itu, Ditta sempat bekerja di Folkwang Dance Studio selama setahun, lalu mencoba berkarier di Tanztheater Bremen milik Susanne Linke selama 5 tahun. Proses diterima menjadi penari Tanztheater Wuppertal pun butuh proses cukup panjang. Bersaing dengan 300 penari hingga dipilih 7 orang, dan tiga bulan menunggu hasil siapa yang akhirnya diterima membuat Ditta menyerah dan memutuskan pulang ke Indonesia. Persiapan kepulangan sudah dilakukan, termasuk rencana ke depan meninggalkan dunia tari dan memilih bekerja sosial untuk anak-anak cacat. Tiba-tiba, Ditta justru mendapat telepon yang memberitahu bahwa ia diterima, menggantikan sementara posisi solois Tanztheater Wuppertal yang saat itu sedang cuti hamil. Satu-satunya penari Indonesia yang berkiprah di kelompok tari ternama dunia ini mengaku setiap harinya harus berlatih tari selama 12 jam untuk penampilan maksimalnya dari panggung ke panggung.
Lalu, siapa saja orang yang menginspirasi dan berpengaruh besar pada kesuksesan Ditta? Tanpa ragu ia menyebutkan nama Farida Oetoyo, “Beliau pernah mengatakan pada saya kalau orang Indonesia sudah 3 tahun lebih belajar tari balet, ia harus belajar tari tradisional. Ini karena sebagus-bagusnya menari balet, kita tak akan pernah jadi yang paling bagus. Postur tubuh kita berbeda dengan orang Eropa.” Susanne Linke jadi orang kedua yang paling berkesan untuk Ditta. Pemilik kelompok tari Tanztheater Bremen ini adalah orang pertama yang mengajari Ditta membuat tarian solo. Ungkapnya, “Sampai sekarang saya masih terus ingat kata-katanya. Ketika menari, yang pertama harus diperhatikan adalah emosi, kedua baru gerakan. Jadi, gerakan harus timbul dari emosi, bukan sebaliknya.”
Dengan prestasinya di dunia tari, Ditta dengan bangga mengaku sudah mengunjungi hampir seluruh dunia. “Daripada ditanya negara mana yang sudah pernah saya kunjungi, lebih mudah menjawab pertanyaan negara mana yang belum pernah saya datangi!” kata Ditta sembari tertawa.