Advertisement
Next
Apa yang terpikirkan oleh kita warga Jakarta tentang Kota Tua? Jauh, indah tapi tak terawat, atau sebatas kota kenangan? Jujur saja, memang menyedihkan mengetahui denyut asli kota Jakarta itu kehilangan kilaunya. Ia sedikit terlupakan dengan maraknya pusat perbelanjaan mewah dan majunya pembangunan di bilangan Jakarta yang lain. Apa saja yang terjadi di daerah bersejarah itu dan apa yang terlewatkan oleh kita para warganya selama ini?
Jakarta patut bangga punya Kota Tua
Advertisement
Setiap negara memiliki satu area tertentu yang dianggap sebagai daerah “tertua” dan punya karakteristik tertentu yang membedakannya dengan area lain. Seperti layaknya Kota Tua di Jakarta. Tapi, tahukah kamu apa yang membuat Kota Tua di Jakarta istimewa dibanding area old town negara lain? Keistimewaan itu terletak pada fungsinya yang lengkap sebagai pusat administratif karena masih berdiri dan berjalan fungsi badan-badan pemerintahan di sana, fungsi perdagangan dengan adanya Mangga Dua dan pusat perbelanjaan lainnya, serta daerah hunian dengan masih banyaknya warga Jakarta yang tinggal di sana. Kelengkapan fungsi yang semestinya menjadi nilai daya tarik sendiri, ternyata nggak membantu mendongkrak kelestarian Kota Tua sebagai icon khusus ketika turis domestik atau mancanegara mengunjungi Jakarta. Budi Lim, pakar arsitektur, yang sudah mulai aktif berpartisipasti dalam peremajaan Kota Tua sejak masa pemerintahan Soerjadi Soedirdja, mantan Gubernur DKI Jakarta 1992-1997, malah mengatakan bahwa jika proses peremajaan Kota Tua berjalan sesuai rencana akan menjadi “Princess of The East”, ungkapan menyanjung untuk pemandangan Kota Tua yang dihiasi oleh gedung-gedung berdesain klasik dan art deco.
Kenapa tertinggal?
Alasan orang malas ke Kota Tua, biasanya karena alasan kebersihan. Tanpa harus menyalahkan Pemerintahan Daerah Jakarta yang kurang proaktif bergerak, Winda Siregar, salah satu aktivis di organisasi nirlaba khusus proyek revitalisasi Kota Tua, Jakarta Old Town Kotaku, mengaku bahwa memang dibutuhkan inisiatif lalu bergerak mencari sponsor ketika ingin melakukan sesuatu untuk Kota Tua, salah satu contohnya adalah saat akan melakukan pembersihan Kali Besar. “Namun, bila menginginkan kali tersebut bisa jernih layaknya kolam renang, tentu membutuhkan waktu dan proses pembersihan harus dilakukan dari hulu hingga hilir”, katanya berdasarkan pengalamannya turun langsung dalam program pembersihan kali. “Salah satu produsen alat telekomunikasi dalam program CSR (Corporate Social Responsibility) juga ikut berpartisipasi membersihkan Kota Tua yaitu dengan menyediakan tempat sampah di titik-titik yang banyak dilewati orang, namun sayangnya tempat sampah itu malah dicuri dan satu per satu menghilang,” ujarnya. Melihat dari kejadian sederhana di atas itu saja, terlihat bahwa kesadaran masyarakat untuk menjaga Kota Tua masih sangat minim. “Tak bisa hanya menunjuk Kota Tua itu tanggung jawab pemerintah daerah, Non-Governmental Organization (NGO), atau stakeholder swasta lainnya. Semua pihak yang ingin menikmati Kota Tua adalah pihak yang harus turut aktif menjaga dan melestarikan Kota Tua” kata Winda.
Next
Siapa yang peduli?
Menuntut kepedulian untuk melestarikan sebuah daerah sebesar dan sekrusial Kota Tua memang tak mudah. Namun, ada sebuah NGO yang peduli akan kelestarian Kota Tua bertitel Jakarta Old Town Kotaku (JOK) yang dinisiasi oleh tujuh orang yang pakar di bidangnya masing-masing, yaitu Budi Lim pakar arsitektur, Pinky Pangestu urban planner, Ella Ubaidi pemerhati komersil, Farid Harianto yang memegang segi perekonomian, Shanti Soedarpo yang aktif di bidang penguasaan informasi teknologi komputer, Miranda Goeltom sebagai penanggung jawab pengembangan kegiatan seni dan budaya, serta Gerrick Wiryadinata sebagai perwakilan Tionghoa. Mereka berinisiatif bergerak dan berbuat sesuatu untuk Kota Tua karena merasakan cantiknya Kota Tua sebelum menjadi seperti sekarang dan memanfaatkan networking mereka untuk melestarikan daerah yang dianggap sebagai “jantung” kota Jakarta tersebut. “Namun, koordinasi gerakan ini tentu bukan sesuatu yang instan, sehingga yang akan merasakan hasil perubahannya adalah anak cucu kita. Setiap langkah yang dibuat harus dikoordinasikan oleh stakeholder yang memilki gedung di kawasan tersebut, pemerintah daerah, dan masih banyak pihak lainnya. Yang pasti gerakan nirlaba ini ingin mempercantik Kota Tua Jakarta, namun bukan dengan membangun mall atau sekadar menjadikan Kota Tua seperti taman wisata, karena itu bukanlah rencana jangka panjang untuk melestarikan suatu kota yang sarat budaya,” jelas Winda.
Mulailah dari diri sendiri!
Di luar dari adanya pemerintah daerah atau NGO yang peduli terhadap Kota Tua, semua orang, tanpa harus menjabat posisi, bisa melakukan sesuatu untuk lebih mencintai lalu tergerak melestarikan Kota Tua. Contoh termudahnya adalah dengan menjadikan area Kota bukan hanya sebagai area melintas, tetapi sebagai tujuan. Lebih mengenal budaya Indonesia dengan mengunjungi museum yang ada di sana, menambah pengalaman kuliner dari jajanan yang ada, atau sekadar berhenti sebentar di Menara Syahbandar dan menyaksikan sendiri bagaimana bisa ia condong miring layaknya Menara Pisa di Italia. Sederet kegiatan yang dirancang untuk dilakukan di Kota Tua itu, dimaksudkan agar Kota Tua menjadi destinasi menarik, bukan hanya area pemendek rute perjalanan saat kita menuju area Jakarta Utara atau Barat. “Ini hanya sebagian kecil dari apa yang bisa saya lakukan untuk Kota Tua. Bila Kota Tua dipercantik dan tak dibiarkan ‘redup’, kita bisa melakukan apa saja di Kota Tua, mulai dari pusat bisnis hingga tujuan hiburan,” ujar Winda optimis.