Bukan hanya itu, sosok Farida pun sangat dikenal sebagai pendamping setia sang maestro seni lukis Indonesia, Srihadi Soedarsono. Sebagai istri memang wajar jika Farida selalu ada di sisi Srihadi, tapi rupanya peran Farida tak berhenti di situ. Ia juga menjadi “kurator pribadi” bagi sang suami, teman diskusi seni yang kritis dan otomatis sangat berperan dalam kesuksesan Srihadi. “Jadi, yang mendampingi saya berkarya, berdialog selama setengah abad itu ya, istri saya,” ucap Srihadi bangga. “Coba bayangkan apa jadinya kalau seniman tidak punya pendamping yang cerewet seperti saya, ya tidak akan jadi apa-apa,” Farida menimpalinya sembari tersenyum.
Seniman dengan level internasional harus didampingi perempuan potensial
Perempuan kelahiran Sumatra Selatan yang pernah mengenyam pendidikan di The Ohio State University, Amerika Serikat, ini pun melanjutkan, “Sebagai seorang istri seniman yang menginginkan sampai ke level internasional, harus didampingi seorang perempuan yang potensial, yang memberikan dorongan.” Menurutnya, budaya di negara kita kurang mendukung seorang seniman menjadi besar. Ini karena kelompok intelektual dalam bidang seni sangat terbatas. Hasilnya, banyak seniman yang sama sekali tak memiliki akses sehingga kariernya mentok. “Apresiasi masyarakat kurang dan antarkelompok seniman tidak saling mendukung, kecuali yang masih guyub seperti di Yogyakarta, masih saling mendorong dan memberikan saran, nasihat. Berbeda dengan kota metropolitan seperti di Jakarta, juga Bandung, terlalu individual,” papar Farida.
Advertisement
Mencintai berarti siap berjuang untuk seiya-sekata
“Kalau kita mencintai seseorang dan mengidealkan profesinya, kita harus bertanggung jawab dan bekerja sama dengannya agar idealisme kita bisa membawa hasil. Otomatis, sebagai pendamping, kita harus mengusahakan agar selalu seiya-sekata, itu perjuangannya,” tegas Farida. Dalam proses berkarya, pikiran Srihadi dan Farida memang sering tak sejalan. Di sanalah ruang diskusi dibuka secara profesional, bukan sebagai suami-istri melainkan dua orang yang profesi berbeda, Srihadi sebagai seniman, sementara Farida sebagai seorang ahli kritik seni. Terciptalah keselarasan dua pikiran berbeda itu, hingga menghasilkan suatu karya yang sangat kaya.
Terus mendampingi Srihadi saat senang dan susah
“Itulah pentingnya partner hidup. Kami bertemu sebagai kawan biasa, sama-sama cocok, kemudian memutuskan menikah. Di sinilah komitmen sebagai seorang istri diperlukan, mendampingi suami saat senang maupun tidak,” Farida melanjutkan, “Menjadi pendamping seniman itu tidak mudah karena seniman mempunyai ego yang tinggi. Sebagai istri dengan tiga anak, saya harus berusaha mandiri, cerdas, dan cekatan. Misalnya, ketika anak sakit Pak Srihadi tak bisa mengantar ke dokter karena sibuk melukis, ya saya harus menerimanya, mengalah dengan mengantarkan sendiri anak saya ke dokter.”
Kekecewaannya pada sang suami bertumbuh jadi rasa hormat
Dalam pernikahannya yang hampir setengah abad itu, Farida tak memungkiri bahwa banyak hal dari suaminya yang membuat ia kecewa dan sakit hati, tapi dengan bijak bisa diatasinya dengan mengubah kekecewaan itu jadi pikiran positif yang membangun. “Rasa sakit hati dan rasa tidak puas yang terus-menerus itu akhirnya tumbuh menjadi rasa hormat. Dengan begitu kami jadi saling menghargai dan berkembang,” ungkap Farida. Begitulah seorang Farida yang selalu mencoba memaklumi dan memahami karakter sang suami. Cara pandang yang luas dan pemikiran kritisnya adalah salah satu kunci kelanggengan hubungan Farida dengan seorang Srihadi.
Perempuan adalah ibu pertiwi, pembentuk kepribadian bangsa…
“Perempuan harus terus menuntut ilmu agar jadi sosok yang tegar dan kuat, agar bisa mendampingi seseorang menjadi besar, bermoral dan punya kemampuan tinggi,” kalimat itulah yang berkali-kali disampaikan Farida. Ia tak pernah bosan mengingatkan para perempuan untuk meningkatkan kualitas diri. “Itulah arti sebenarnya dari ibu bangsa. Perempuan Indonesia bukan lagi hanya sebagai kanca wingking, tapi ibu pertiwi dengan segala keanggunan dan wawasannya yang ikut membentuk bangsa. Sama dengan pandangan Pak Srihadi yang tergambar jelas dalam lukisan Bedaya Ketawang-nya,” tutup Farida mengakhiri obrolan. Ya, selalu ada makna dan pesan moral yang begitu dalam di tiap goresan kuas Sang Maestro Srihadi Soedarsono, dan semua itu tak lepas dari peran Farida, teman hidup setengah abadnya yang tak pernah bosan bertukar pikiran dengannya.