McDonald memang merupakan salah satu rumah makan cepat saji yang terkenal di Indonesia. Restoran yang pertama kali didirikan di Sarinah, Jakarta ini terkenal dengan menu burgernya.
Rumah makan cepat saji dengan logo dua buah busur berwarna kuning ini identik dengan maskot badut bernama Ronald. Untuk anak-anak, Ronald merupakan daya tarik tersendiri bagi mereka saat mengunjungi McDonald. Saat ada perayaan ulang tahun, Ronald pastinya nggak pernah absen menghibur anak-anak. Nggak hanya itu, patung Ronald juga biasanya dipajang di depan restoran ini sehingga anak-anak pun bisa bermain ataupun sekadar berfoto dengannya. Namun, belakangan ini tersiar kabar bahwa Ronald akan segera dipensiunkan.
Lebih dari 550 praktisi dan organisasi kesehatan menandatangani sebuah surat yang ditujukan kepada perusahaan McDonald agar mereka berhenti mempromosikan junk food kepada anak-anak dan memberhentikan Ronald. Surat ini dimuat di enam harian besar yang beredar di Amerika. Menurut para praktisi dan organisasi kesehatan, McDonald merupakan salah satu faktor penyebab banyaknya anak-anak di Amerika yang mengalami obesitas sehingga biaya untuk pemeriksaan kesehatan ikut membengkak.
Advertisement
Pihak McDonald memberi pernyataan bahwa mereka sangat memperhatikan setiap komunikasi yang dilakukan dengan anak-anak. Mereka juga menyatakan bahwa McDonald menyajikan makanan berkualitas tinggi karena mereka sadar pentingnya nutrisi dan kesehatan anak-anak.
Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika (Food and Drugs Administration), makanan yang ditawarkan kepada anak-anak berusia 2—17 tahun haruslah makanan bernutrisi yang mengandung sedikit garam, gula, lemak, dan kalori. Dan surat yang ditandatangani oleh para praktisi dan organisasi kesehatan Amerika ini meminta McDonald untuk berhenti menawarkan makanan yang kaya akan garam, lemak, gula, dan kalori kepada anak-anak dengan menggunakan Ronald McDonald dan menu Happy Meal Toys mereka. Karena itulah McDonald diminta untuk merumahkan maskot mereka, Ronald.
Dan, apa jadinya McDonald tanpa Ronald?
*sumber: The Wall Street Journal