Advertisement
Next
Fimela: Setelah lulus dari Universitas Parahyangan, kamu langsung berkarier sebagai news anchor. Apa memang itu sudah cita-cita dari lama?
Chantal: Kalau dibilang niat banget untuk jadi news anchor sih nggak, cuma dari dulu saya memang senang melihat sosok pembawa berita karena mereka cantik dan pintar, dua kombinasi yang biasanya nggak terlalu banyak. Dari kesukaan itulah lalu saya pengen nyobain. Lalu, di tahun 2003 saya bergabung dengan METRO TV.
Advertisement
F: Apa nama unik berpengaruh untuk terpilih sebagai news anchor di sebuah stasiun televisi?
Chantal: Sebenarnya itu faktor ketidaksengajaan dengan banyaknya pembawa berita METRO TV yang namanya unik-unik dan catchy, seperti Sandrina Malakiano, Virgie Baker, dan Prita Laura. Tapi, faktor nama sama sekali nggak dipaksakan atau diharuskan, memang kebetulan saja dulu banyak nama unik.
F: Publik menganggap bahwa adalah sosok yang dingin karena berprofesi sebagai presenter berita. Apa responmu?
Chantal: Saya rasa itu adalah stereotype yang masyarakat buat terhadap news presenter, karena mereka melihat profesi ini sebagai pembaca berita-berita serius, sehingga kami di-cap sebagai orang yang serius, kaku, dan dingin. Padahal, kami semua adalah manusia biasa yang juga senang ketawa dan bercanda. Memang ketika kerja kami serius, namun setelah selesai siaran atau lagi break, kami bercanda juga dengan program director atau kameramen. Jadi saya rasa, jangan distigmakan bahwa semua presenter berita adalah orang yang kaku, karena they’re all human being.
F: Dan, sisi human being Chantal mulai terlihat saat era Twitter mulai marak...
Chantal: Ketika dari awal saya mulai aktif di Twitter, memang sudah nggak mau memposisikan akun Twitter saya sebagai sosok yang serius, hanya ingin menjadi diri saya sendiri, apa adanya saya, makanya saya posting status apa yang saya mau, bahkan sebagian besar adalah hanya sekadar bercanda. Karena, saya bekerja sudah capek, makanya di Twitter saya banyak mem-follow yang lucu-lucu, jadi setelah selesai kerja, saya bisa kembali tertawa dan senang. Sebenarnya kita semua punya sisi yang lain-lain, ketika di kantor bersikap seperti apa, begitu pula saat di rumah. Itu tergantung dari lingkungan dan posisi kita. Nah, yang saya keluarkan di Twitter adalah sisi saya yang santai dan judes, karena saya memposisikan seperti mengobrol dengan teman-teman sendiri.
Next
F: Sebagai seorang figur publik, apa risiko yang harus kamu jalani?
Chantal: Ketika tampil di depan publik, orang-orang akan berkomentar tentang apapun dengan bahasa yang mereka pilih. Sampai saat ini saya masih bisa memilah-milah mana kritik membangun, mana yang menjatuhkan, mana yang tujuannya hanya untuk menghina. Sampai saat ini saya masih bisa menerima, toh yang tahu saya bagaimana aslinya adalah teman-teman terdekat, bukan teman yang hanya sekadar saya kenal.
F: Berbicara tentang kehadiranmu di majalah laki-laki dewasa, apa itu adalah salah satu langkah untuk menunjukkan sisi human being kamu?
Chantal: Sebenarnya nggak ada pemikiran panjang saat mengiyakan tawaran itu, bahkan nggak mengira akan seheboh ini. Tawaran foto itu sudah lama datang dari pemimpin redaksi majalah tersebut, namun saya nggak percaya diri karena merasa badan saya gemuk dan sudah ada “oleh-oleh” stretchmark dari anak pertama. Namun, dari hasil ngobrol-ngobrol dengan reporter dan stylist-nya, maka terbentuk konsep dan pilihan baju untuk menyiasati hal-hal yang membuat saya nggak nyaman, sehingga bisa ditutupi tanpa harus menggunakan siasat Photoshop. Untuk saya pribadi, nggak ada yang salah dengan foto itu, cuma mungkin orang-orang kaget karena titel saya dulu sebagai news presenter yang dikira serius, kaku, dan pakai blazer kemana-mana, lalu tampil di majalah seperti itu. Yang saya heran, kenapa orang sulit menerima perempuan yang pintar dan bangga serta percaya diri dengan seksualitasnya?Saya rasa masyarakat sudah harus mulai menyadari kalau pintar itu nggak selalu kaku atau pakai baju tertutup. It’s my personality. Nggak ada siapapun yang berhak mengatur apa yang bisa atau nggak bisa saya pakai dan lain-lain.
F: Apa yang kamu coba sampaikan ke kedua anakmu dengan langkah tersebut?
Chantal: Saya sama sekali nggak menyesal atau merasa malu telah berfoto di majalah itu. Foto saya memang seksi, tapi saya nggak menjual badan saya kepada siapa pun dengan harga berapa pun, jadi nggak ada apapun yang harus membuat saya merasa malu melakukan foto itu. Malah, saya ingin mencontohkan kepada kedua anak saya bahwa mereka nggak perlu takut atas karakter kepribadian apapun yang mereka punya dan nggak perlu takut dengan omongan orang apabila hal yang mereka lakukan ditafsirkan berbeda oleh orang lain. Karena, kalau kita mau menyenangkan semua orang, nggak akan ada habisnya dan selalu akan ada pro kontra. Semakin disorot orang, anggap saja orang sedang memperhatikan dan peduli dengan kita. Mudah-mudahan anak-anak saya berpikiran terbuka sesuai dengan apa yang sudah saya ajarkan selama ini. Anak-anak saya ajarkan untuk nggak melihat perbedaan terhadap ras tertentu, karena saya nggak mau mereka tumbuh menjadi orang yang rasis dan membeda-bedakan sesamanya karena agama, suku, atau pekerjaan. Makanya di rumah saya selalu mengajarkan anak-anak untuk nggak lupa mengucapkan “terima kasih”, “tolong”, atau “maaf” kepada asisten rumah tangga.
Advertisement
Next
F: Sayangnya, kemunculanmu di majalah itu malah dijadikan headline di beberapa situs berita dengan penjudulan yang nggak enak...
Chantal: Saya sebenarnya sangat menyayangkan sebagian besar portal berita yang justru menulis sesuka mereka, yang harusnya mereka berposisi sebagai jurnalis, namun mereka menulis berdasarkan asumsi, dugaan, ataupun gosip. Dari beberapa portal yang sudah menulis tentang saya, setelah saya baca beritanya lalu mereka mengajak wawancara, saya jadi nggak mau. Karena, buat apa saya wawancara dengan mereka? Apapun yang saya nyatakan dengan jujur, mereka nggak akan menulis dengan benar, mereka lebih menyukai headline yang provokatif. Saya harap masyarakat lebih pintar memilih berita mana yang objektif, mana yang hanya berdasarkan asumsi penulisnya yang mengaku-ngaku sebagai jurnalis.
F: Padahal prinsip umum di dunia jurnalisme adalah “bad news is a good news”.
Chantal: Saya bersyukur bahwa selama ini berteman dan memiliki rekan kerja yang masih berhati nurani. Jadi, ketika akan mengangkat berita nggak hanya mementingkan rating. Seperti ketika saya meliput tragedi Tsunami di Aceh, kami mengangkat berita tentang penampungan agar banyak bantuan yang datang. Bahkan, teman-teman di RCTI lebih senang mendahulukan berita-berita seperti tentang busung lapar atau penyakit parah. Mungkin untuk sebagian penonton mempertanyakan kenapa berita ini yang diangkat, namun terbukti dengan mengangkat berita seperti itu, banyak cara untuk menyalurkan bantuan. Dan sebagai jurnalis, menurut saya inilah yang paling nggak kita bisa bantu.
F: Satu hal yang terlihat dari Chantal adalah sosok yang sangat berani berpendapat, termasuk tentang kesetaraan gender dan memilih melajang daripada terikat pernikahan. Apa itu benar?
Chantal: Sebenarnya saya nggak menekankan di “being single”-nya, tapi saya ingin menyampaikan bahwa sebenarnya lebih enak melajang daripada punya pasangan yang terlalu mengatur dan merasa punya hak atas semua kehidupan kita. Berpasangan itu enak ketika pasangan mengerti kita, nggak mengekang kebebasan, dan menghargai hak hidup kita. Karena, ada saja orang yang posesif, suka mengatur, lalu setelah menikah merasa berhak atas hidup seseorang. Menurut saya nggak seperti itu. Nggak dengan menikah hak hidup seseorang akan tiba-tiba hilang, justru menikah harusnya saling mendukung. Kalau pasangan nggak mendukung, saya lebih baik single.