Advertisement
Next
Hartati tentang konsep tarian Musikal Laskar Pelangi.
Saya tahu novel dan filmnya, jadi waktu diajak gabung, saya berpikir ini (tariannya) harus Indonesia sekali dan harus tepat mengambil Indonesia bagian mana yang harus diangkat. Karena Laskar Pelangi setting-nya di Belitung Sumatera Selatan, saya mengambil nafas budaya Melayu-nya dan sama sekali nggak berusaha membuat tarian-tariannya jadi moderen. Misalnya ada adegan yang menggambarkan rasa duka cita. Di Sumatera apa bila ada orang yang meninggal, para pelayat biasanya membawa beras yang dibungkus dengan kain. Satu lagi yang menjadi ciri Melayu adalah kain sarung. Sebenarnya Riri Riza dan Mira Lesmana memberikan kebebasan buat saya. Tapi rasanya nggak pas kalau jadi kebarat-baratan atau terlalu moderen. Tetap unsur Indonesia-nya yang sangat ditonjolkan.
Advertisement
Saya memberikan gerakan-gerakan atau tarian yang cocok dengan kemampuan, porsi dan karakter mereka. Dan karena para pemain kebanyakan bukan penari karena basic mereka kebanyakan adalah penyanyi, jadi nggak ada gerakan yang terlalu rumit tapi tetap sesuai dengan karakter peran. Sebagai contoh untuk para kuli saya berusaha menyesuaikan gerakan-gerakannya yang sesuai dengan karakter para kuli. Lalu untuk para pemain yang anak-anak, saya akan membuat mereka lebih natural dengan peran yang dimainkannya, banyak gerakan meloncat dan berputar. Mengambil sifat dasar anak-anak yang rata-rata nggak bisa diam.
Next
Chitra Subijakto tentang kostum.
Ini memang agak berbeda dengan film (Chitra memang lebih banyak terlibat untuk bertanggung jawab kostum di pembuatan film). Karena ini pertunjukan teater, semua kostum yang dipakai semuanya harus perfect. Artinya kostumnya harus terpakai dengan benar, jangan sampai waktu sedang tampil ada yang copot atau lepas. Dan nggak bisa diakalin seperti kalau syuting atau foto. Yang bikin seru, cast ada tiga layer (tiga grup pemain dengan peran yang sama). Ada tiga Lintang, tiga Ibu Muslimah dan tiap karakter itu ukuran pemerannya beda-beda. Jadi harus menyiapkan tiga baju dengan desain yang harus pas dengan bentuk badan dan peran yang dimainkan. Dan para pemain beberapa kali harus berganti baju, jadi kita harus cepat ganti baju dengan itungan detik.
Total kostum yang harus di persiapkan kurang lebih 300 tampilan. Persiapan pembuatan kostumnya dari mulai proses research, design, fitting sampai akhirnya bisa dipakai sekitar 5 bulan.
Advertisement
Next
Lolita Malaiholo tentang menjadi ‘Kepala Sekolah’ Musikal Laskar Pelangi.
Saya bisa dibilang sebagai Operation Manager. Saya (dan tim) berusaha menyediakan apa yang dibutuhkan sama The Laskar (Mira, Riri, Jay, Hertati, Erwin, Toto). Contohnya, mereka mau audisi sekian banyak talent, kita mencari talent-talent-nya dan mempersiapkan tempat audisinya. Nggak cuma itu tapi juga mengurus urusan administrasi. Seperti surat izin talent anak-anak ke sekolah, menjelaskan ke orangtua tentang jadwal latihan dan lain-lain. Termasuk menerima keluhan para orangtua yang berhubungan dengan latihan atau jadwal. Dan karena gedung Teater Besar ini belum ada manajemen-nya, jadilah kita yang menyediakan semuanya, mulai dari ticketing, ticket taker, sekuriti, dan elemen pendukung lainnya.
Tantangan pertama adalah menyatukan dua tim yang cara bekerjanya berbeda. Mira dan Riri dari dunia film yang biasa melalui proses panjang dalam pembuatan satu film. Jay dan Toto dari dunia event yang terbiasa cepat dan instan. Nah, menyatukan kedua tim itu yang menjadi tantangan utamanya. Kemudian urusan para pemain. Karena banyak yang terlibat, jadi banyak yang harus diurus. Jadi saya seperti ketua yayasan atau kepala sekolah. Dan dibantu sama tim yang jadi semacam guru pembimbing untuk para pemain utama. Saya senang menjalaninya. Dengan anak-anak mungkin saya cerewet atau galak tapi justru anak-anak itu jadi deket sama saya. Kalau mereka ada apa-apa mereka ngadu sama saya, kepala sekolah banget, deh.
(Image, dokumentasi Musikal Laskar Pelangi, Chitra Subijakto)