Fimela.com, Jakarta Gelaran Result & Reunion Indonesian Idol 2018 begitu gemerlap. Dua calon juara, Abdul dan Maria pada Senin (23/4/2018) harus beradu mental dan kualitas penampilan demi mendapatkan dukungan sebanyak-banyaknya dari masyarakat karena menggunakan sistem vote.
Dan sorot lampu serta kamera utama pun akhirnya mengarah pada Maria. Gadis 16 tahun asal Medan itu berhasil menjadi juara Indonesian Idol 2018 setelah mampu menggidikkan rasa dengan olah suara yang sempurna pada penampilannya.
Siapa remaja bernama Maria Simorangkir tersebut? Tentu sebelum gelaran pencarian bakat dilangsungkan masyarakat Indonesia tak mengenalnya. Ia hanya seorang remaja biasa yang menghabiskan waktunya dengan belajar, bermain juga aktivitas biasa lainnya.
Advertisement
"3 tahun dia pertama kali nyanyi di gereja," ucap Rohani Simanjuntak, sang ibu. "8 tahun kita kursuskan piano. Dia udah punya bakat sejak kecil sebenarnya," lanjut ibunda di Ecovention, Ancol, Jakarta Utara, Selasa (24/4/2018) dini hari.
Dalam ajang pencarian bakat, sang juara dan juga para juri memang menjadi sorotan utama. Namun masyarakat lupa ketika ada orang-orang yang sangat berjasa pada kualitas mereka sebagai calon juara sekaligus calon entertainer nantinya.
"Iya mas. Saya kebetulan mulai Indonesian Idol 2012, jamannya Regina Ivanova. Itu saya jadi vocal coach. Kalau yang sekarang bersama Rayyen Pono, dia jadi vocal director," ujar Indra Aziz ketika berbincang dengan Bintang.com, Selasa (24/4/2018) malam.
Di balik gemerlap kompetisi, seorang calon idol adalah manusia biasa. Karenanya sebagai pelatih vokal, Indra Aziz memiliki banyak pekerjaan rumah untuk memoles karakter, attitude, juga psikologis para peserta pada saat karantina.
Â
Banyak pengalaman menarik dari pria 39 tahun itu selama menjadi pelatih vokal. Interaksinya dengan bakat-bakat muda dengan latar belakang daerah dan kebiasaan yang berbeda pun dialaminya. Namun ada beberapa hal yang menjadi prioritasnya.
"PR-nya banyak. Ada kelas bahasa Inggris, psikologis, dan lainnya. Attitude sangat penting. Kami senantiasa wajibkan mereka bilang terimakasih kepada semuanya, ama kru, kameramen juga. Karena mereka dari bukan siapa-siapa langsung mendapat atensi luar biasa," ujar Indra.
Indra menambahkan bahwa pada masa karantina banyak sekali kegiatan para peserta seperti syuting atau lainnya. Karenanya, begadang pun menjadi hal biasa. Sementara kurangnya waktu istirahat akan berimbas pada kualitas vokal mereka. "Latihan dibatasi waktu, makanya harus fokus. Selebihnya ketika di panggung, mental yang sangat berpengaruh," lanjutnya.
Dengan jadwal begitu ketatnya, menurut jebolan Fakultas Seni Rupa dan Desain Trisakti justru melatih para calon juara ini untuk menghadapi dunia kompetisi yang sebenarnya. "Karena ketika kita melihat jadwal penyanyi profesional, itu dahsyat banget. Jadi di sini bukan belajar nyanyi ya, namun bagaimana merawat suara," katanya.
Karenanya, Indra sangat tak setuju ketika juara ajang pencarian bakat disebut sebagai artis instan. Mereka tetap berlatih menyempurnakan kualitas. Mungkin berbeda dengan para pesohor entertainment jaman dulu yang harus berjuang menawarkan diri ke label atau ikut bermacam festival.
"Saya kira momentum aja ya. Seperti Abdul itu awalnya juga penyanyi. Meski banyak peserta yang bukan penyanyi, seperti karyawan, dan sebagainya. Ibaratnya seperti GAC lah, mereka baru booming setelah album ketiga. Jadi momentum aja," tegas Indra Aziz.
Advertisement
Memoles Calon Idola
Kualitas tentu saja menjadi modal wajib bagi seorang calon idol. Namun, selainnya ada juga mentalitas juara yang harus dimiliki. Menilik kemenangan Maria Simorangkir, Indra awalnya memang tak menyangka. Awalnya, Maria bukan menjadi jagoannya juga dewan juri.
Namun, pada perjalanannya remaja yang dianggap sebagai 'kuda hitam' oleh dewan juri seperti Maia Estianty, Judika, Ari Lasso, Armand Maulana, dan Bunga Citra Lestari tersebut justru semakin menunjukkan bakat luar biasa. Maria 'ngebut' mencari jati dirinya dengan ragam tantangan yang diberikan.
"Mental sangat penting. Kalau saya melihat Maria itu selalu tampil tanpa beban. Selalu ceria, tak pernah bete, sehingga tampilnya mengalir aja, dibawa asyik terus," ujar pria yang menjadi pelatih vokal Afgan, Raisa, dan Agnez Mo itu.
Ia membandingkan dengan Marion Jola yang ketika kena sentil sedikit bisa langsung bete. Lalu Joan yang merupakan salah satu kandidat kuat juara ternyata tak mampu beradaptasi sehingga suaranya sering hilang. Sementara Ghea yang paling sering kena bully netizen akhirnya 'ngedrop' mentalnya.
Faktor ini pula yang menjadi alasan kenapa kontestan yang memiliki kualitas suara bagus juga penampilan menawan malah tak sampai pada babak final. "Karena kalau seorang penyanyi tertekan, akan sangat berpengaruh pada penampilannya," ucap Indra.
"Saya anggap Marion dan Kevin merupakan kandidat kuat. Mereka cukup mewakili suara fresh anak muda. Kecewa aja kenapa mereka cepat banget keluarnya. Ya dari penampilan yang gak perfect, akhirnya kalah vote," imbuhnya.
Satu hal lagi yang menjadi faktor penentu adalah aura bintang seseorang. Meski tak sembarang orang bisa memiliki, namun hal tersebut bisa diasah. "Ada yang punya secara natural, ada juga yang perlu diasah. Berdasar pengalaman saya, tentu saja ada faktor x pada seorang talenta," tuturnya.
Tentang Kutukan Sang Juara
Delon dan Judika mungkin menjadi alasan utama ketika masyarakat melihat adanya kutukan dalam ajang pencarian bakat. Keduanya merupakan runner up, namun kesuksesan mereka di industri yang sebenarnya justru mengalahkan para juaranya.
Disinggung mengenai hal itu, Judika, runner up Indonesian Idol 2005 yang saat ini menjadi juri menampik. Menjadi juara merupakan kesempatan terbesar dari seorang yang bukan siapa-siapa, lalu dikenal luas di seluruh Indonesia. Manajemen kualitas dan keinginan untuk maju menjadi syarat utama untuk bisa meraih kesuksesan.
"Kalau aku itu mitos ya, tapi banyak kejadian. Banyak juara dua yang lebih ini. Tapi sebenarnya juara 1 dan 2 itu sama, karena ini anugerah. Lalu gimana lo, mau (maju) apa gak," ujar Judika di Ecovention, Ancol, Jakarta Utara, Selasa (24/4/2018).
Â
Senada dengan Judika, Indra Azis pun mengomentari anggapan kutukan tersebut dari kacamatanya sebagai pelatih vokal para idol. Ada kejadian, namun tak semuanya. Bicara kualitas, untuk juara 1 dan 2 gelaran pencarian bakat biasanya tak berbeda jauh.
"Namun ada kemungkinan ketika jadi juara 1, ia dikekepin banget ama manajemen. Ya gak semua, karena jika Regina Ivanova dibandingkan dengan Kamasean Matthews, nama Regina yang lebih dikenal. Mungkin orang lebih banyak melihat suksesnya Judika ya," lanjut pemeran film Ini Kisah Tiga Dara.
Satu hal yang menurutnya harus dimiliki seorang pejuang di industri hiburan menurut Indra Azis adalah karakter, selain kualitas sebagai SOP (standart operation procedure) tentunya. Dengan adanya perbedaan dari artis sebelumnya, ia bisa dilirik oleh pasar dengan cepat.
Sementara meniru gaya penyanyi yang sudah dikenal merupakan pantangan terbesar. "Sekarang banyak talenta baru mirip Raisa, pasti orang akan bandingin dengan Raisa. Misal cowok vokalnya mirip Afgan, atau Tulus, ya lupain aja," ujar pemeran Coach Aziz dalam serial televisi berjudul Stereo tersebut.
Mencari idola baru masyarakat adalah tujuan dari ajang pencarian bakat. Namun voting SMS dari penonton dianggap menjadi cacat dari ajang pencarian bakat. Bagaimana tidak, banyak orang berpikir bahwa sistem vote bisa menghancurkan kesempatan seorang kontestan yang memiliki kualitas lebih bagus hanya karena kalah suara.
Namun dalam kacamata Indra sebagai pelatih vokal, sistem tersebut tak masalah. Pasalnya, setiap peserta memiliki kualitas dan karakter masing-masing, tak bisa disamakan. Sementara masyarakat pun memiliki kenyamanan berbeda terhadap para kontestan.
"Ya cuman sudut pandang. Kalau saya penilaian sebagai pelatih vokal, lebih ke kualitas dan teknik vokal. Sementara ajang pencarian bakat tersebut adalah mencari idola Indonesia. Karenanya peran masyarakat penting, SMS diandalkan untuk voting," tandas Indra Aziz.