Fimela.com, Jakarta Baru saja merilis album baru bersama Linkin Park, siapa yang tidak kaget mendengar berita tentang Chester Bennington. Album terbaru yang berjudul One More Light itu memang meledak, namun tidak ada yang menyangka ini adalah kali terakhir publik mendengar suaranya. Penyanyi 41 tahun itu secara mengejutkan melakukan bunuh diri pada 20 Juli 2017 lalu.
Depresi disebut-sebut menjadi alasan Chester melakukan perbuatan nekat tersebut. Padahal, dengan pembawaannya yang cool yang gaya menyanyinya yang dijuluki sing like an angel scream like the devil, selama ini Chester tampak gahar saat di atas maupun di luar panggung. Kalau dipikir-pikir, siapa lagi yang bisa memadukan metal, rock, dan pop sebaik Chester?
Advertisement
BACA JUGA
Tapi sudahlah, mari kita kembali pada topik soal depresi. Sejauh kita tahu, pria yang kini telah memiliki enam orang anak ini memang memiliki masa lalu yang kelam. Pelecehan seksual, bullying, narkoba, minuman keras, hidup Chester sepertinya memang tidak sebahagia yang orang kira. Kita tidak tahu, seberat apa penderitaan batin yang dialaminya di balik popularitas dan kejayaan sebagai vokalis Linkin Park.
Kita sepakat bahwa depresi sendiri memang menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat dunia. Ini bukan kasus pertama bukan? Sebelum Chester, sudah banyak korban depresi lain, bahkan dari kalangan selebriti, yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Chris Cornell, Kurt Cobain, bahkan Robin Williams juga memutuskan mengeksekusi dirinya sendiri.
Sejak beberapa tahun terakhir, tingkat depresi dan bunuh diri di Amerika memang cukup tinggi. Di balik negaranya yang cukup maju, ternyata ada banyak faktor lain yang membuat banyak warganya tidak bahagia sehingga bunuh diri pun menjadi piliihan terakhir untuk menyelesaikan masalah mereka.
Jika bunuh diri di Amerika dipicu oleh depresi, yang oleh sebagian orang dianggap sebagai bentuk gangguan jiwa, maka beberapa negara lain juga memiliki alasan kenapa warganya banyak yang bunuh diri. Jepang misalnya, mereka memilih harakiri demi menyelematkan harkat dan martabatnya. Sementara itu, di Korea, bunuh diri di kalangan artis juga banyak terjadi karena banyaknya beban dan tuntutan pekerjaan yang memicu depresi.
Advertisement
Bagaimana dengan Indonesia
Kasus bunuh diri menjadi momok di berbagai belahan dunia. India beberapa kali menjadi headline karena kasus bunuh diri yang dilakukan warga, termasuk yang berasal dari kalangan selebriti. Depresi, depresi, dan depresi berulang kali disebut sebagai alasan utama tindakan ini. Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Yah, kita memang tidak bisa menyebut diri kita aman. Banyak kasus bunuh diri yang terjadi di masyarakat kita, karena berbagai alasan. Namun setidaknya kita harus bersyukur karena dunia keartisan kita belum tercemar oleh trend bunuh diri. Kasus kematian yang mengguncang memang pernah terdengar, namun setidaknya bukan karena bunuh diri.
Dengan kegiatan yang sangat padat dan berbagai masalah yang menjerat, artis-artis kita masih berpikir bahwa nyawa mereka masih cukup berharga. Cara mereka melampiaskan diri dari jeratan rutinitas, target, dan tekanan memang tidak selalu positif, namun semangat mereka untuk menghargai hidup tentunya harus kita hargai.
Meski demikian, kita pun juga tak bisa menyebut diri kita aman. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Kita tahu bahwa depresi pun ada di dalam masyarakat kita, dan sudah memakan banyak korban. Karenanya, kita tetap harus waspada agar hal ini tak meluas dan menjadi budaya yang mengerikan.
Satu hal yang harus kita lakukan adalah memulai dari hal kecil. Coba perangi tanda-tanda depresi dalam diri kalian, salah satunya dengan memperkaya asupan rohani yang membuat kita selalu bersyukur pada kehidupan. Jika kalian telah berhasil memerangi diri sendiri, jangan lupa bantu orang lain yang mungkin memiliki gejala atau tanda-tanda mengarah pada depresi dan bunuh diri.
Akhir kata, saya menegaskan bahwa tulisan ini tidak dibuat untuk mencela pihak tertentu apalagi bermaksud menjelekkan Chester Bennington. Penulis adalah salah satu penggemar yang mengikuti jejaknya hampir sejak awal karir, dan sangat berduka dan menyayangkan kematiannya. Karenanya, penulis tidak ingin tragedi ini kembali berulang pada orang lain. Semua orang punya masalah. Namun hidup ini terlalu indah, terlalu singkat, dan terlalu berharga untuk diakhiri dengan cara tragis.