Fimela.com, Jakarta "Jika kita ingin mengenang Kartini dengan baik, kita harus mengenang tragedinya" (Goenawan Mohamad).
Pernyataan Goenawan Mohamad (GM) itu dimuat dalam sebuah buku tipis yang ditulisnya, Tokoh + Pokok. Penjelasan tersebut seolah ingin dijawab sutradara Hanung Bramantyo melalui film terbarunya, Kartini yang diperankan Dian Sastrowardoyo dan diproduksi Legacy Pictures dan Screenplay Films. Melalui film itu, Hanung berusaha menghidupkan kembali ingatan publik atas tragedi yang menimpa Kartini.
Kartini merupakan perempuan rupawan, cerdas, perseptif, pemberontak, anak Bupati Jawa, tapi juga lemah hati. Suatu gambaran kondisi yang menyedihkan. Kartini jadi representasi ketidakberdayaan perempuan Indonesia saat itu.
Advertisement
Seperti pernah ditegaskan Hanung, film ini fokus pada kondisi Kartini saat berumur 16 hingga 25. Suatu masa yang sangat penting dalam perjalanan kehidupan Kartini. Mulai dari masa pingitan, perkembangan pemikiran-pemikirannya tentang kondisi perempuan Indonesia.
"Dia sudah digariskan menjadi Raden Ajeng yang harus menikah dengan bupati, kelas bangsawan. Tidak peduli jadi istri keberapa," ujar Hanung.
Ucapan Hanung, seperti ditegaskan Kartini dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang yang diterjemahkan sastrawan Armijn Pane. Dalam salah satu surat yang ditujukan kepada Nyonya Van Kol, Kartini menuliskan kepedihan, sekaligus perlawanannya.
BACA JUGA
"Jalan bagi gadis Jawa, dan terutama gadis bangsawan hanyalah satu saja, yaitu nikah... Aib besar, bila gadis tiada kawin, seorang perempuan tinggal tiada bersuami." (Kartini, 2006: 99-100).
Film ini fokus pada sosok Kartini yang cerdas, fasih berbahasa Belanda, serta haus dengan ilmu pengetahuan. Namun, ia harus dipingit. Ia telah disiapkan untuk menjadi seorang Raden Ajeng, dengan menjadi istri Bupati Rembang. Ia memberontak. Perlawanan Kartini, salah satunya meminta dirinya dipanggil Kartini saja, tanpa ada embel-embel Raden Ajeng.
Kecerdasan membuat Kartini mendapat tawaran beasiswa untuk belajar ke Belanda. Namun, ayahnya melarang putrinya itu mengambil beasiswa ke Belanda. Sebagai gantinya, Kartini meminta untuk mendirikan sekolah buat perempuan.
Advertisement
Kematian Kartini
Sebelum Hanung Bramantyo, film dengan judul Kartini juga pernah diproduksi pada 1980-an. Film yang disutradarai oleh Sjumandjaja itu dibintangi, antara lain Yenny Rachman, Bambang Hermanto, Adi Kurdi, Nani Wijaya, dan lain-lain.
Film itu diangkat berdasarkan buku Kartini: Sebuah Biografi yang ditulis almarhumah Sitisoemandari Soeroto. Film ini diawali dengan kelahiran RA Kartini yang disambut suka cita pada 21 April 1879. Dalam perkembangan, beragam pemikiran bergejolak dalam batin Kartini.
Seperti diungkapkan Sjumandjaja, Kartini tidak akan ia tampilkan sekadar pahlawan emansipasi, tapi lebih pokok Kartini sebagai embrio kebebasan, kemerdekaan, yang kemudian berlanjut ke tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan. Intinya, ia peletak dasar ide kebebasan (Marselli Sumarno: 1994:35). Apa yang diungkapkan Sjuman, tampak jelas dalam film tersebut.
"Seandainya kamu tahu bangsaku, baik laki-laki maupun perempuan, mereka hidup dalam keadaan yang sangat parah. Mereka bukan hanya miskin sandang, miskin pangan, miskin pendidikan, mereka miskin segala-galanya, bahkan mereka miskin akan hak-haknya sebagai manusia. Yang aneh, dari ruang yang sempit ini aku seolah melihat, merasa, suatu saat bangsaku akan menemukan kebebasan dan kemerdekaan, dan aku seolah melihat angka 100, ya 100 tahun lagi," ucap Kartini.
Di luar ide kebebasan yang perjuangkan Kartini, dalam ending film itu diceritakan tentang meninggalnya Kartini, tepatnya 17 September 1904. Jenazah almarhumah terbujur di tempat tidur di sebuah ruangan. Film ini sempat meraih Piala Citra dalam ajang Festival Film Indonesia ( FFI) 1984.
Setelah karya Sjumandjaja, sempat beredar film yang juga mengambil tokoh Kartini, Surat Cinta untuk Kartini, yang disutradari Azhar Kinoi Lubis dan diproduksi pada 2016 lalu. Film ini lebih soal cerita fiksi dengan latar belakang sejarah Kartini. Dalam film itu, tokoh Kartini "dimatikan", sama dengan film Kartini karya Sjumandjaja. Kematian seolah jadi penyelesaian tragedi yang dialami Kartini.
Berbeda dengan ending karya Hanung, ia tak "mematikan" tokoh Kartini. Hanung secara cerdas membiarkan Kartini hidup bersama dengan pemikiran-pemikiran progresifnya, meski terpaksa dipoligami. Takdir Raden Ajeng adalah siap menjadi istri bupati.
"Inilah akhirnya dia berkonflik. Dia bahkan nggak bisa menolak pilihan siapa yang menikahinya dan akan membuatnya jadi ibu. Itu sebabnya dia disebut sebagai pahlawan karena dia benar-benar memberontak," tegas Hanung.
Terlepas tragedi yang dialami Kartini, upaya Sjumandjaja, Hanung Bramantyo, dan lainnya dalam memproduksi film Kartini perlu diapresiasi. Tak sekadar untuk menyuguhkan tokoh Kartini yang rupawan dan cerdas, pemikiran-pemikirannya yang brilian, tapi juga salah satu wujud untuk menumbuhkan kembali semangat nasionalisme yang belakangan mulai pudar.
Komarudin
Editor Kanal Celeb