Fimela.com, Jakarta Dalam media sosial saat ini hoax seolah telah menjadi trend. Masyarakat tak lagi melakukan kroscek atas kabar yang beredar. Membaca judul sebuah kabar atau berita bagi masyarakat sudah cukup dan langsung sebar saja. Kondisi seperti itulah yang membuat Anji sedikit menghindar. Dengan timeline yang banyak mempertontonkan permusuhan serta hoax, Anji memilih untuk memilih beberapa platform media sosial.
"Kalau facebook sih udah nggak, mungkin sampai tahun 2019 pas pilpres. Twitter saya masih lihat walaupun cuma fokus pada mention yang masuk. Karena kalau lihat timeline itu 90 persen membicarakan tentang perdebatan, hoax, dan lainnya," kata Anji di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, baru-baru ini.
Advertisement
BACA JUGA
Anji bercerita, dirinya pernah dibully karena mengungkapkan pendapat tertentu tentang calon pemimpin. Namun, ternyata banyak orang yang justru tak menerima hal tersebut karena perbedaan pendapat.
"Di medsos saya pernah dibully gara-gara menulis sesuatu tentang calon pemimpin padahal itu juga bukan kritik. Itu adalah kenyataan yang saya tulis, tapi pendukungnya marah. Kenapa sih? Kita mau bersuara ga boleh," imbuhnya.
Yang menjadi kekecewaan bagi Anji adalah pengkotakan yang berujung pada pendiskreditan sebuah profesi. Kala musisi bersuara, dianggap tak berkompeten karena selama ini tak pernah terlibat politik.
"Terus dibilang, musisi udah lah nyanyi aja, bikin lagu aja, ga usah ngomongin politik. Ya berarti ga boleh milih dong misalnya? Terus ga boleh bersuara. Kenapa orang-orang tidak boleh betpendapat, kenapa orang pintar di medsos itu betusaha menjegal pemikiran atau pendapat orang lain dan berusaha menyamakan pendapatnya dengan mereka," tukas Anji.