Fimela.com, Jakarta Setelah bertahun-tahun menyaksikan foto Kapiten Pattimura, Pangeran Antasari, dan lain-lain di mata uang Rupiah, 19 Desember lalu pemerintah resmi melakukan perombakan. Uang Rupiah baru akhirnya dirilis dan menampilkan wajah-wajah baru, seperti Cut Meutia, M.H Thamrin, Sam Ratulangi, dan lain-lain.
Selain sebutan 'pahlawan kafir' yang dilontarkan salah satu pengguna media sosial beberapa waktu lalu, berbagai pro dan kontra pun mewarnai peluncuran mata uang baru ini. Salah satu hal menarik yang mungkin jadi sorotan adalah keberadaan Cut Meutia di mata uang Rp 1000.
Advertisement
BACA JUGA
Pahlawan asal Aceh ini menjadi satu-satunya pahlawan wanita yang fotonya terpampang di mata uang RI. Dikenal karena kegigihannya melawan Belanda pada awal tahun 1900an, akhirnya dia mendapat kehormatan muncul di alat tukar negeri ini.
Cut Meutia sendiri adalah salah satu dari sedikit wanita yang pernah 'nampang' mata uang RI. Kehormatan yang sama sebelumnya pernah diberikan pada tokoh emansipasi R.A Kartini dan pejuang kemerdekaan Cut Nyak Dien. Sama-sama menghiasi uang kertas Rp 10.000, Kartini muncul pada tahun 1985, sedangkan Cut Nyak Dien muncul pada uang yang dirilis pada tahun 1998.
Mungkin banyak orang yang mempertanyakan kenapa sedikit sekali wanita yang dianggap pahlawan di negeri ini. Diakui atau tidak, deretan tokoh yang menyandang gelar resmi pahlawan nasional memang didominasi oleh kaum Adam.
Banyak pihak yang menganggap hal ini terjadi karena kebanyakan orang Indonesia masih berpikir bahwa gelar pahlawan lebih cocok disematkan pada orang-orang yang telah mengorbankan nyawa dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Jika memang hal ini yang dijadikan patokan, tentu saja tidak akan ada wanita yang masuk daftar pahlawan, karena di masa penjajahan sebagian besar wanita memiliki porsi dan menjalankan peran berbeda dalam.
Andai predikat pahlawan memang identik dengan perjuangan fisik, mungkin kita hanya bisa memberikan kata selamat atas keberuntungan para wanita yang namanya telah masuk mata uang RI. Cut Nyak Dien dan Cut Meutia beruntung mendapat restu suami untuk berjuang di medan perang, sedangkan R.A Kartini lahir dalam keluarga terhormat yang memungkinkannya bergaul dengan wanita-wanita yang memiliki pola pikir maju.
Advertisement
Hilangnya Jilbab Cut Meutia
Selain mengingatkan kita pada sedikitnya wanita yang menyandang gelar pahlawan, keberadaan Cut Meutia di uang Rupiah baru juga menuai kontroversi lain di kalangan publik. Siapa sangka kalau kehormatan yang diberikan pemerintah pada wanita ini ternyata memicu kemarahan rakyat Aceh.
Tak lama setelah mata uang baru dirilis, rakyat Aceh yang mengatasnamakan Serambi Mekkah menyuarakan kemarahan karena gambar Cut Meutia yang dipasang dalam kondisi tidak mengenakan jilbab. Hal ini dianggap merendahkan martabat rakyat, khususnya, perempuan Aceh.
BACA JUGA
Dalam surat berantai yang tersebar, mereka menuntut mengganti gambar Cut Meutia. Hal ini memang berkaitan dengan ketatnya penegakan hukum Islam di Aceh, di mana semua wanitanya memang diwajibkan mengenakan jilbab. Bukan semata bertindak otoriter, hal ini memang tercantum dalam ayat Al Quran yang memang dipegang teguh oleh warga Serambi Mekkah.
Nyatanya, hal ini tidak terjadi pertama kali. Dua wanita yang sebelumnya terpampang di mata uang Rupiah juga tidak mengenakan jilbab. Penampilan R.A Kartini mungkin tidak dipersoalkan, namun gambat Cut Nyak Dien pada tahun 1998 nyatanya juga tidak mengenakan penutup kepala.
Dari kontroversi ini, muncullah sebuah pertanyaan. Apakah foto tanpa jilbab menjadi standard dalam pemasangan uang RI? Jika wanita Aceh memang identik dengan jilbab, kenapa pula pemerintah harus memilih foto di mana para pahlawan itu tidak mengenakan penutup kepala? Pemerintah pun punya alasan kenapa mereka memasang gambar Cut Meutia dalam kondisi tidak mengenakan jilbab.
Pemerintah memberikan statement bahwa foto yang ditampilkan sesuai dengan penampilan sehari-hari sang pahlawan. Itulah kenapa Pangeran Diponegoro dan Imam Bonjol dipasang dalam kondisi mengenakan sorban, atau beberapa pahlawan lain yang mengenakan baju daerah. Pemilihan foto sendiri memang merupakan kesepakatan, dan keluarga telah menyetujui foto tersebut. Anak cucu Meutia memang mengakui bahwa tidak ada foto resmi nenek moyang mereka di dalam keluarga.
Selain itu beberapa sejarahwan juga memberikan klarifikasi bahwa wanita Aceh zaman dulu, termasuk para pejuang kemerdekaan, memang tidak mengenakan jilbab. Salah satu sejarahwan bernama Rusdi Sufi mengungkapkan bahwa dia memiliki koleksi foto wanita aceh zaman dulu, di mana kebanyakan dari mereka hanya mengenakan ija sawak (selendang) atau sanggul. Jilbab sendiri baru menjadi kebiasaan di Aceh setelah wilayah ini mulai menetapkan aturan Islam Kaffah pada tahun 2002.
Terlepas dari pro dan kontra yang muncul, kini mata uang Rupiah baru telah disebar dan menjadi alat tukar yang sah. Akan ada banyak kontroversi, pro, kontra, dan mungkin penolakan tentang keberadaan Cut Meutia dan pahlawan lain yang gambarnya terpampang karena semua orang memiliki pendapat masing-masing. Namun semoga kita bisa menyikapinya dengan bijak, sehingga tidak menjadi bahan bakar yang memecah belah persatuan negara kita.