Fimela.com, Jakarta Bagi kamu yang gemar menonton film tentu nggak akan asing mendengar Cut Mini. Memulai karier di dunia layar lebar dengan Arisan! namanya kian melejit hingga kini. Tak hanya itu, filmnya yang berjudul Laskar Pelangi pun sanggup membuat hati berdegup melihat keindahan Indonesia. Terlebih di tahun 2016 ini dirinya telah berhasil menyabet piala Pemeran Utama Terbaik di ajang Festival Film Indonesia (FFI) 2016.
***
Kiprah Cut Mini dalam dunia perfilman tak lagi diragukan. Kendati demikian, wanita yang lahir dengan nama asli Cut Mini Theo ini mengaku masih ingin terus belajar dan kembali belajar mengenai dunia seni peran.
Advertisement
Pengalaman yang bisa dibilang banyak ternyata masih tak cukup bagi Cut Mini. Ia pun mengatakan bahwa tidak memilih-milih dalam peran yang ditawarkan. Hal tersebut lantaran dirinya masih merasa belum miliki pengalaman yang cukup banyak.
BACA JUGA
Bermain di film Athirah menghantarkan aktris kelahiran 30 Desember 1973 ini pada piala FFI pertamanya. Cut Mini sendiri tidak pernah menyangka dan berharap akan mendapatkan penghargaan sedemikian rupa. Baginya, berkarya adalah tujuan utama.
Pemeran film Laskar Pelangi ini mengaku bahwa banyak sekali hal yang bisa ia pelajari di film Athirah. Berangkat dari sana ia menyadari bahwa tantangan tersulit dalam berperan sebagai ibu dari Wakil Presiden Indonesia, Jusuf Kalla adalah meraih rasa. Ia belajar banyak tentang memainkan emosi dalam film yang sukses memborong 6 piala FFI 2016 ini.
"Kalau orang semua orang pasti mikir susah karena cerita bapaknya Jusuf Kalla. Tapi sebenernya nggak. Sebenarnya karena ceritanya sendiri udah berat. bukan karena ibunya siapa. Tapi saya lebih melihat dari berat dari sisi ceritanya,"
Hati Cut Mini seperti sudah tertambat dalam dunia seni peran. Setiap proses yang ia jalani dalam pembuatan film yang selama ini dimainkan sangat dinikmati. Baginya menyatu dalam naskah adalah kebahagiaan tersendiri.
Berhasil meraih piala FFI 2016, Cut Mini pun menceritakan kisah dan usahanya dalam memerankan sosok Athirah serta bagaimana dirinya memandang dunia seni peran serta penghargaan yang telah ia dapatkan. Simak petikan wawancara eksklusif Bintang.com dengan Cut Mini berikut ini.
Cara Cut Mini Mendalami Karakter Athirah
Mendalami sebuah karakter bukanlah hal yang mudah. Terlebih ketika cerita tersebut berangkat dari kisah nyata. Memerankan Athirah tentu menjadi tantangan tersendiri bagi Cut Mini. Sosoknya yang sudah tiada membuat Cut Mini harus bertanya lebih dalam dengan kakak Jusuf Kalla.
Apa tantangan di film Athirah?
Kalau orang semua orang pasti mikir susah karena cerita bapaknya Jusuf Kalla. Tapi sebenernya nggak. Sebenarnya karena ceritanya sendiri udah berat. bukan karena ibunya siapa. Tapi saya lebih melihat dari berat dari sisi ceritanya, bukan berat dari dia ibunya siapanya.
Ceritanya itu sendiri, karena orangnya sudah tidak ada, kita tidak bisa melihat langsung senyumannya atau cara dia bertutur katanya seperti apa. Jadi saya harus menelisik sendiri bagaimana karakternya dari ibu Athirah ini.
Saya lebih berat daripada rasanya. Rasa di mana saya harus memerankan dia. Rasa apa yang harus dia timbulkan, bagaimana ekspresinya. Karena kalau saya baca dari skenarionya, tipis sekali rasanya. Jadi beratnya lebih ke itu sih. Lebih ke rasanya Athirahnya itu sendiri daripada Athirahnya adalah.... gitu. Karena memerankan orang yang sudah tidak ada saja jelas ya, artinya beda. Saya juga nggak bisa jadi Athirah sesungguhnya, saya juga nggak mungkin jadi Athirah. Cuma bisa memerankan.
Karakternya seperti apa?
Kemarin mumpung saya ketemu dengan anak dari Athirah sendiri. Kakaknya JK di situ saya ngobrol bagaimana Ibu sebenarnya. Sabar nggak pernah marah.
Penyesuaiannya berapa lama?
2 bulan. Dua bulan termasuk cepat. Karena waktunya nggak ada lagi. Kalau saya dikasih enam bulan, akan enam bulan mungkin. Karena dari saya casting sampai reading itu dua bulan. Lalu saya reading sendiri juga 2 bulan jadi 4 bulan. Persiapannya sendiri ya mereka sudah bertahun, ya. Tapi kalau dari castingnya sendiri ya gitu deh. Waktunya hanya segitu. Tapi selama dua bulan itu saya intensif setiap hari.
Penyesuaian bahasa Makassarnya berapa lama?
Ya itu langsung kan. Langsung pakai bahasa Makassar. Jadi kita punya coach sendiri dari Mira Lesmana. Terus saya juga ada astra namanya Aditya Ahmad, pokoknya mereka berdua memang orang Makassar sampai akhirnya saya bilang sama dia, "Adit tolong dong dialog-dialog saya ini semuanya kamu rekam pakai bahasa Makassar ya," terus kebetulan lagi suami saya banyak teman orang Makassar. Jadi di saat saya udah selesai reading sama Mas Riri, biasanya sore kan tuh karena kita penyesuaian jadwal. Saya juga minta teman suami untuk ke sini, jadi dari pulang kantor dia ajari saya. Lebih ke pakai bahasa Makassar dan saya nanya bener nggak kalau ada penyebutannya seperti ini atau seperti ini, gitu.
Apa yang bikin menarik dan ingin mengambil peran ini?
Ini adalah di mana saya sama mas Riri dan Mira ketemu lagi untuk ketemu project yang baik. Waktu itu saya ketemu di Laskar Pelangi tahun 2008 sampai akhirnya saya ketemu lagi kemari ini. Jadi kayaknya udah nggak ada alasan saya untuk menolak mereka, gitu. Sayang sekali rasanya kalau saya menolak tawaran itu.
Pertama kali ditawarkan itu gimana ceritanya?
Saya sendiri sebelum ditawarkan juga saya udah baca bukunya gitu. Saya nggak tau kalau buku ini akan difilmkan, saya nggak tau. Tapi waktu pertama kali ditawarkan, pertama kali ngobrol, "Mba Mira ini cerita ibunya pak Jusuf bukan sih?" terus dia bilang "Kok kamu tahu?", aku bilang udah baca. Yaudah alhasil ngobrol-ngobrol gitu, ya rasanya nggak ada alasan bagi saya untuk menolak mereka. Saya senang sekali syuting dengan Riri karena banyak ilmu yang didapatkan.
Gimana rasanya belajar dengan Riri Riza?
Dari zaman Laskar Pelangi gitu ya. Saya tuh kayak sekolah. Reading sama mereka tuh saya kayak sekolah. Saya sih ya, nggak tau yang lain. Saya tuh senang banget bisa merasakan apa yang dituliskan oleh skenario. Saya bisa mendapatkan ekstra rasa tuh besar banget dari syuting ini. Jadi saya bisa mendapatkan lagi emosi-emosi yang bisa saya tekan atau keluarkan. Kalau nonton Athirah kan nggak ada emosi yang dikeluarkan, semua ditekan di dalam. Athirah tuh mainnya rasa, hati ini tuh rasanya sampai sakit. Saya sampai merasakan gimana di saat suami saya mau pergi saya tuh sampai tau dia mau ke mana. Ada sesuatu yang berbeda dengan dia saya tuh merasakan. Ternyata untuk memerankan Athirah itu, sakit yah. Bagaimana dia?
Pelajaran dari Riri Riza di film Athirah ini?
Banyak sekali pelajaran dari Mas Riri. Saya bisa mengenal bagaimana bisa merasakan. Kenapa saya selalu bicara soal rasa? Karena Rasa yang terdapat di skenarionya itu tipis. Dari scene satu dari berikutnya itu tipis. Nggak ada rasa yang meledak-ledak itu semua tuh tipis. Itu semuanya, either mau senyum atau marah itu tipis semuanya. Jadi saya lebih banyak belajar tentang emosi. Tekanan, rasa yang tidak enak itu yang saya dapatkan dari saya memerankan Athirah ini. Jadi saya lebih banyak 'makan dalem' yah. Ngomong juga nggak. Bicara tuh cuma sedikit. Semuanya main ekspresi, gitu. Kalau orang bisa merasakan itu terasa. Jadi, pelajaran yang terbaik bisa saya dapatkan saat syuting di film Athirah ini adalah saya lebih belajar mengenai ekspresi dan emosi.
Ada ritual khusus kah setiap melakukan pendalaman karakter?
Nggak sih, nggak ada ritual apa-apa. Saya tuh menikmati proses reading. Semuanya sih kita kan nggak bisa bermain gitu-gitu aja kan. Ucapan yang ada di skenario kan nggak bisa cuma dibaca gitu aja. Kita tidak diajarkan menghafal, tapi bagaimana ceritanya supaya apa yang kita ucapkan memang ada meaning, ada artinya sendiri. Itulah apa yang saya pelajari dari tahun 2004 hingga kini. Saya masih dalam acuan belajar belajar dan belajar.
Cinta Cut Mini untuk Dunia Seni Peran
Ada peran yang diinginkan?
Saya sih karena main filmnya belum sampai banyak banget, saya mau mau aja memerankan apapun. Asal jangan film horor. Saya nggak suka dengan horor dengan hantu-hantu itu. Saya penakut. Dari pada nanti saya menyusahkan semua orang yang ada di lokasi mendingan nggak deh.
Orang saya pernah dibecandain oleh Mas Riri, "Oke Min, syutingnya berikutnya film horor". Saya bilang, "Ohh.. nggak usah, nggak usah. Nggak usah ditelpon, nggak usah dicasting. Nggak usah." Apalagi saya ditawarin jadi hantunya. Makin nggak usah.
Athirah borong penghargaan, apa menyangka sebelumnya?
Aku nggak nyangka. Kalau saya sendiri sih nggak menyangka. Dari zaman Laskar Pelangi, saya masuk jadi artis terbaik di IMA dan FFB, aku nggak tau. Terus mba Mira bilang "Mini selamat yaa kamu jadi pemeran terbaik!" saya emang nggak pernah menyangka akan mendapatkan embel-embel di belakangnya. Karena bagi saya, apa yang sudah saya dapatkan sekarang ini udah lebih dari cukup. Dalam artian, saya syuting sama Riri aja sudah bahagia. Ilmu yang saya dapatkan itu lebih dari segala macam gitu. Jadi saya nggak pernah mikir saya harus dapat ini segala macam gitu. Nggak kepikiran sampai ke sana. Jadi kalau memang saya dapat, itu rejeki saya dan itu bonus bagi saya. "Oh ternyata saya udah bisa dihargai seperti ini," tapi nggak pernah berharap sampai kayak gini.
Disejajarkan dengan Christine Hakim dalam nominasi FFI 2016, gimana rasanya?
Lihat aja kan, nominatornya hebat-hebat. Ada ibu Christine (Hakim) lagi. Ya jadi waktu saya ke Jepang kemarin sama ibu Yayan, dia bilang "Min, satu lawan kamu," terus saya nanya, "siapa?" dia jawab "Ibu Christine", walah. Kalau itu sih bukan lawan. Bagi saya ada dan tiadanya (penghargaan) saya tetap berkarya, gitu. Bukan berarti saya mendapatkan berarti saya santai-santai aja. Saya akan belajar. Saya akan terus menggali apa yang saya bisa. Saya ingin lebih baik untuk semuanya.
Jadi kalau mba bisa lihat ekspresi saya pas nama saya di panggil. "Itu bener nama saya?" kalau nggak suamu saya duluan yang bangun saya masih sekitar 5 menit lagi kali baru bangun dari bangku saya. Jadi memang nggak kepikiran segitunya sih. Jadi kami memang waktu begitu duduk, Ibu Yaya dan Mba Mira juga bilang "Kalau misalnya kita nggak bawa pulang piala kita semua udah menang," saya bilang "aduh mba! nggak usah dipikirin pialanya yang penting kita ngumpul di FFI kita happy dengan adanya FFI gitu, kan. Pokoknya seneng-seneng aja,". Mana kita tau sampai ke art, terus sampai ke kostum segala macam diborong semua sama Athirah. Kita juga sampai "woow.. woow.. waduhh.." Kita sih bilangnya ini bonus dan berkah dari apa yang kita kerjakan karena memang saya tau banget, Mba Mira, Mas Riri segala macem, mereka memang tugasnya kita itu bikin karya, bukan mencari piala gitu kan. Emang kita seperti itu. Jadi memang nggak pernah berpikiran lebih daripada itu.
Ada ideologi dalam pemilihan peran nggak?
Nggak sih. Liat aja Red Cobex aja saya mainin. Bukan karena apa-apa. Itu kan bagus bagi saya. Mungkin menurut orang lain ngapain. Tapi itu kan tantangan. Karena bagi saya peran kecil itu bukan berarti nggak ada apa-apanya, lho. Kadang peran kecil bisa memancing, menutup peran yang lainnya. Jadi nggak perlu jadi pemeran utama kalau kamu bisa memainkan dengan baik di peran pembantu, ya pastinya akan menutup yang lain.
Antara Arisan, Laskar Pelangi, Athirah dan Me vs Mami, mana yang paling menantang?
Athirah lah. Karena arisan itu film pertama saya. Karena asal mula saya menikmati reading itu dari sana. Arisan itu reading 3 bulan asli 3 bulan. Jadi saya kalau nggak reading itu bingung. Saya ini pemain yang harus reading. Jadi kalau misalnya nggak, collapse saya. Nggak ngerti harus gimana. Karena menurut saya reading itu penting banget untuk pemain. Kalau misalnya orang bilan gitu buang waktu lah, apa lah, kalau saya sih reading cuma sebentar susah. Saya juga pernah akhir-akhir ini ditawarin nggak ada reading gitu, gimana gue nggak reading? Pusing pala.
Athirah sih tantangannya itu sih. Saya harus belajar mengenai rasa dan sebagainya. Jadi karena saya udah syuting Athirah yang lebih berat dari Me vs Mami dan Arisan, jadi di Me vs Mami juga saya bisa menjalankannya lebih.
Ada cita-cita yang belum kesampaian dalam dunia seni peran?
Saya ingin selalu mengeksplore apa yang saya bisa. Saya tidak ada jiwa untuk jadi seorang produser. Saya tidak ada jiwa untuk menjadi seorang sutradara. Itu masih jauh. Saya tidak sepintar dan secanggih itu. Saya tau kemampuan apa yang saya punya gitu jadi ya saya begini aja udah bersyukur Alhamdulillah. Saya senangnya bekerja sama dengan orang nggak ingin memperkerjakan orang lain. Saya nggak bisa. Mendingan saya syuting aja gitu.
Yang bikin cinta banget sama seni peran?
Apa ya? sebenarnya ini dunia baru sih buat saya. Kalau film dari 2004 ya saya mulai. Saya tuh seneng prosesnya, gitu. Di mana saat proses reading itu saya sangat menikmati. Di saat sehari-hari saya membaca skenario saya itu saya bahagia. Saya bisa masuk ke dalam skenario, ke dalam tulisan itu saya sangat menikmati. Itu sih sebenernya yang bikin saya jatuh cinta.
Kalau film dan sinetron?
Kalau sinetron sih bukannya saya nggak jatuh cinta. Saya suka dengan sinetron, tapi prosesnya itu kan terlalu cepat. Skenario lah yang belum hadir, apalah gitu. Apalagi sekarang ada sistem stripping. Tapi ya bagi saya, saya nggak menghindari, saya harus syuting stripping atau gimana. Karena itu adalah ajang saya untuk latihan sebenarnya. Orang-orang mungkin biasanya sudah senang film, nggak mau lagi main sinetron. Kalau saya sih mau-mau aja, kenapa nggak? Daripada saya diem di rumah nggak ngapa-ngapain, nggak melakukan apa-apa, lebih baik saya bekerja tapi saya mendapatkan ilmu-ilmu lainnya
Saya senang ketemu dengan sutradara-sutradara baru, saya seneng proses-proses kaya gitu. Saya bahkan sampai bertanya, "ini kenapa sih harus ada kata-kata kayak gini?" sampai akhirnya saya tau kalau misalnya saya ambil scene 15 ini continity-nya dari mana, atau akan continity ke mana. Misalnya scene 15 sebelumnya di-continity-kan di scene 13, saya harus tau gimana rasa di 13nya itu. Jadi nggak yang mental di 15. Jadi saya harus tahu 12 sama 13nya apa gitu. Biar sama. Bukan cuma pakaian. Ekspresi juga akan ada continity-nya atau di-continity-kan.
Ada project apa mba di tahun 2017?
Belum tau sih. Belum ada. Karena saya pribadi juga belum tahu akan jadi seperti apa ke depannya. Apa yang ada saya jalankan.
Harapan ke depannya soal karir di dunia seni peran?
Saya hanya ingin lebih bai lagi di tahun-tahun berikutnya. Saya orangnya nggak punya harapan yang spesifik sih ya. Saya tidak menginginkan saja Tuhan udah ngasih saya banyak banget. Jalan yang baik, semuanya yang lurus, semuanya yang menyenangkan gitu kan. Jadi Kayaknya untuk sekaranG ini harapan saya akan terus belajar lebih baik dan lebih baik. Gitu aja.