Sukses

Entertainment

Editor Says: Monoleh Nasib Pejalan Kaki yang Terabaikan

Fimela.com, Jakarta "Aduh macet nih! Sorry ya telat," -kalimat singkat namun acapkali sangat menjengkelkan. Dewasa ini, alasan macet memang yang paling sering 'diandalkan'  sebagai senjata keterlambatan seseorang.

Memang, banyak hal-hal yang mungkin saja terjadi dalam perjalanan. Termasuk soal kemacetan yang kerap tak terduga. Akui saja 'hukum alam' ini, kemacetan akan berbanding lurus dengan kuantitas kendaraan di jalan. Ya, semakin banyak jumlah kendaraan maka kemacetan pun akan semakin parah. Apalagi besarnya ruas jalan segitu-gitu saja.

Kemacetan di Jakarta. (Adrian Putra/Bintang.com)

Tentunya ada banyak cara untuk menanggulangi kemacetan. Salah satunya dengan memperluas ruas jalan. Tapi cara ini bisa dibilang cukup sulit, terlebih untuk daerah Jakarta dan sekitarnya yang jumlah penduduknya semakin padat saja. Ada orang yang harus rela tempat tinggalnya digusur.

Atau, dengan cara membuat jalan layang. Ya, beberapa tahun terakhir Pemprov DKI Jakarta memang gencar membangun jalan layang di sejumlah titik yang dianggap sebagai biang kemacetan. Lagi-lagi, alternatif ini butuh waktu yang cukup lama untuk dapat terealisasai. Belum lagi saat proses pembangunan jalan layang tersebut, kemacetan akan semakin parah karena sebagaian lahan dipakai untuk para pekerja memasang tiang penyangga.

Jika dua alternatif di atas berasal dari usaha Pemerintah, maka tidak dengan alternatif ketiga ini yang sering didengungkan oleh Pemerintah banyak negara. Berjalanan kaki atau menggunakan moda transportasi umum. Dua solusi kemacetan selanjutnya ini berasal dari usaha masyarakat itu sendiri.

Commuter Line, salah satu angkutan umum di Jakarta | via: http://beritadaerah.co.id/

'Merumahkan' kendaraan pribadi dan beralih ke transportasi umum memang dapat mengurangi kemacetan. Hanya saja, banyak yang enggan melakukannya, dengan alasan transportasi umum yang tidak nyaman.

Indonesia adalah negara berkembang. Pun demikian dengan segala aspek di dalamnya, termasuk mewajari keterbatasan transportasi umum. Ya, berdesak-desakan menjadi hal yang bakal lumrah terjadi di sejumlah jenis transportasi umum. Namun belakangan, transportasi umum sudah mengalami perubahan lebih baik dan menjangkau segala segmen masyarakat.

Buat kamu yang enggan berdesak-desakan, kamu bisa menggunakan transportasi umum seperti ojek, taksi atau mobil yang sengaja disewakan lewat perusahaan teknologi penyewa jasa. Semua pilihan tentu kembali lagi di tangan kamu. Tapi jika tidak terlalu jauh, ada baiknya berjalan kaki saja. Hitung-hitung mengurangi polusi dan kemacetan, kan?

Nasib Pejalan Kaki

Bagi saya, berjalan kaki merupakan rutinitas yang mengasyikkan setiap hari. Mengapa? Karena dengan berjalan kaki, saya mendapatkan banyak manfaat, terutama dari segi kesehatan. Mulai dari menurunkan kadar kolesterol, menjaga kesehatan jantung, mencegah diabetes, menurunkan berat badan, mengurangi stres dan banyak lainnya.

Tapi, kalau sudah jalanan macet, saya pribadi merasa hak pejalan kaki 'terampas' begitu saja. Ya, pengendara motor acapkali menggunakan ruas hak pejalan kaki alias trotoar untuk menerobos kemacetan. Alih-alih takut telat masuk kantor atau sekolah.

Warga melintas di samping trotoar yang dijadikan tempat parkir motor di Jalan Juanda, Bekasi, 4 Oktober 2016. Trotoar yang seharusnya untuk pejalan kaki ini dialih fungsikan oleh jasa parkir liar sebagai tempat parkir kendaraan bermotor. (Foto: Fajar)

Terkadang, mereka juga tak mempedulikan di depannya ada yang sedang berjalan kaki. Bahkan, disengaja atau tidak, mereka memberikan klakson untuk para pejalan kaki untuk segera minggir dan memberikan pengendara motor jalan. Hmmmm.... Kalau sudah begini, para pejalan kaki tentu tak bisa berlaku banyak, selain sabar.

Tak cuma dari pengguna motor, hak penjalan kaki juga terampas oleh pedagang kaki lima dan pelaku parkir sembarangan. Pedagang kaki lima sering kali menggunakan trotoar untuk berjualan yang membuat para pejalan kaki harus mengalah berjalan di pinggir ruas jalan besar, yang tentu akan membahayakan. Pun demikian dengan para pengguna parkir bebas.

Ilustrasi kerukunan warga negara Indonesia. (Via mamka-blog.blogspot.com)

Mungkin, keluhan suara para pejalan kaki ini masih terlupakan. Padahal, hakikatnya, mereka juga memiliki hak yang sama dengan pengguna kendaraan di jalan raya. Para pejalan kaki juga ikut bayar pajak negara yang digunakan untuk infrastruktur, kan? Hehehe.

Lewat tulisan ini, saya berharap hak para pejalan kaki tidak lagi terampas begitu saja. Pun tulisan ini hadir bukan untuk menghakimi. Tapi marilah saling menoleh bahwa kita sama-sama warga negara yang memiliki hak yang sama di jalan. Belajar menghargai sesama adalah kunci hidup rukun, bukan? Mohon maaf jika ada kata-kata dari tulisan ini yang menyinggung, dan terima kasih sudah membaca hingga akhir.

 

Regina Novanda,

 


Editor Kanal Celeb

 

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading