Fimela.com, Jakarta Kalangan artis mendesak pemerintah menerbitkan aturan kepada Lembaga Sertifikasi Profesi keaktoran. Wacana tersebut muncul dalam "Diskusi Panel: Posisi Tawar Artis di Industri Film, Tivi, dan Iklan" yang digelar oleh Forum Pewarta Film (FPF) di Gedung A, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Selasa (4/10/2016). Sebagai anggota PARFI, Roy Marten mendukung tuntutan tersebut.
“Sertifikasi kompetensi ibarat Surat Izin Mengemudi untuk berkendaraan. Anda bisa saja mengendari motor tanpa SIM, tapi artis pemegang sertifikat dijamin punya grade kemampuan. Honor yang diterima akan disesuaikan dengan grade-nya,” kata Syamsul B Adnan, pekerja seni film senior.
Advertisement
Menurut Syamsul, posisi tawar artis Indonesia masih rendah di industri hiburan karena sistem rekrutmen artis tidak menggunakan parameter yang baku. “Industri kita tidak punya aturan atau standar baku soal berapa besar honor artis, dan bagaimana standar kemampuan artis. Kalau artis punya sertifikat, dia bisa lebih kuat. Bahkan, bisa menolak jika honornya tidak layak. Kalau ditolak, dia bisa keluar negeri,” ujar Syamsul yang sempat berperan di film Remember When.
Diskusi yang menjadi ajang silaturami organisasi artis film ini, selain dihadiri anggota dan pengurus organisasi Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi), Parfi 1956, Perkumpulan Artis Film Indonesia (Pafindo), juga Komunitas Cinta Film Indonesia (KCFI). Sertifikasi kompetensi merupakan amanat Undang-Undang No 33 Tahun 2009 tentang Perfilman
.
“UU Perfilman mewajibkan insan perfilman memiliki sertifikasi, dan yang mengeluarkan sertifikasi adalah lembaga atau organisasi yang berkekuatan hukum. Karena kita sudah masuk industri, ya sudah harus ada standarisasi,” kata Bagiono SH, Ketua Perkumpulan Artis Film Indonesia (Pafindo).
BACA JUGA
Dengan adanya standarisasi di bidang keaktoran, maka nanti diperlukan pendidikan dan latihan bagi aktor dan aktris. “Tetapi, lucunya pemerintah malah sepertinya tidak mendukung,” kata Bagiono, yang juga pemain sinetron dan kini menjadi produser film.
Rendahnya daya tawar artis diungkapkan oleh artis sinetron Yanti Yaseer, yang telah ‘mengantongi’ lebih dari seratus judul sinetron, ftv, dan film. Dia mengaku pernah dibayar setengah dari honor yang seharusnya diterima.
“Saya ingin belajar dan berorganisasi supaya lebih paham soal jaminan profesi ke depannya. Karena pernah dibayar 50 persen dari honor yang seharusnya saya terima,” kata Yanti yang tergabung di organiasi Pafindo.
Sementara itu, Sekretaris Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) Thamrin Lubis mengatakan, pihaknya sudah membentuk Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) yang anggotanya Roy Marten, Adisurya Abdy, dan Aditya Gumay. “Kami sudah bentuk lembaga sertifikasi, tinggal menunggu pengesahan Peraturan Menteri (Permen) Pendidikan dan Kebudayaan,” ujar Thamrin.