Fimela.com, Jakarta Bulan Agustus selalu identik dengan rasa nasionalisme Indonesia. Bulan dimana kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangkan oleh IR Soekarno dan Muhammad Hatta. 71 tahun setelah kemerdekaan itu terjadi, rasa nasionalisme muncul dalam wujud yang beragam, tak lagi mengusir penjajah dari tanah air. Lalu apa hubungan Ahok, film, dan nasionalisme kita?
Akhir-akhir ini Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menjadi 'bintang' di atas bintang film. Kantor gubernur di kawasan Jakarta Pusat menjadi kantor yang dituju para insan perfilman Indonesia. Mereka meminta dukungan sekaligus sebagai bentuk promosi untuk film mereka.
Yang terbaru adalah Deddy Corbuzier yang datang ke kantor Ahok pada Selasa (9/8/2016) untuk mempromosikan film Triangle. Sikap ramah Ahok pada siapapun tamu yang mendatangi kantornya adalah pesona untuk pemberitaan sebagai bagian dari promosi film. Segala macam genre film dari drama, komedi, dan laga disambut positif oleh Ahok. Tak cuma menerima sebagai tamu, Ahok memberi dukungan dengan menonton bersama film-film yang menarik untuknya.
Advertisement
BACA JUGA
Kamis malam (4/8/2016), bertempat di XXI Djakarta Theater, Jakarta Pusat, Ahok menyewa satu studio bioskop dan full diisi para staff dan anak sekolah. Ahok menjelaskan, mengajar serta anak-anak sekolah menonton film 3 Srikandi dapat menumbuhkan rasa semangat serta motivasi bagi anak-anak muda.
Menyewa satu studio bioskop memang menjadi janji bagi Ahok. Sebelumnya, para cast film 3 Srikandi seperti Bunga Citra Lestari, Tara Basro, Chelsea Islan turut menyambangi kantor Gubernur DKI Jakarta. Ahok, memang bukan kali pertama melakukan nonton bersama (nobar) film-film karya anak bangsa.
Sebelum 3 Srikandi pun, Ahok juga mengajak para pegawai PNS DKI Jakarta menonton fill Habibie & Ainun, Rudy Habibie, AADC2 dan lain-lain. Bukti bahwa film Indonesia semakin mendapatkan tempat di negerinya sendiri, kata Ahok, film-film Indonesia tidak kalah dengan film-film luar negeri.
Perlu dicatat, Ahok membeli tiket sendiri bukan menonton gratisan. Mengapa ini jadi sebuah aksi penting? Karena inilah ujian nasionalisme kita. Bagaimana kita menghargai 'produk-produk Indonesia'. Diakui atau tidak sebagaian besar dari penikmat film Indonesia masih memilih film Hollywood sebagai pilihan film utama.
Hingga saat ini film Indonesia juga belum bisa menguasai market share di bioskop. Layar-layar bioskop film 50% lebih masih menjadi milik film Hollywood. Kenama perginya uang yang dihasilkan oleh film Hollywood? Tentu saja kembali ke produser film Hollywood di Amerika. Indonesia hanya kebagian untuk untuk importir dan pengedar film Hollywood.
Bagaimana kalau kita nonton film Indonesia? Untuk yang dihasilkan tak akan dibawa lari ke luar negeri. Keuntungan film akan menunjang produser membuat film baru. Pembuatan film melibatkan ratusan orang mulai dari pra produksil, syuting, paska produksi, hingga promosi. Artinya, penyerapan tenaga kerja akan semakin besar. Inilah untungnya jika kita memilih untuk menonton film Indonesia.
Disinilah nasionalisme kita tergadaikan. Masih banyak dari kita yang memilih film Hollywood. Seperti dua mata pedang, tak ada yang bisa sebenarnya bisa disalahkan dalam hal ini. Penonton, sebagai konsumen memiliki hak sepenuhnya untuk menggunakan uang mereka memilih tontonan yang akan ditonton. Tak ada satu orangpun yang berhak memaksa seseorang untuk menonton film.
Advertisement
Ahok dan Perfilman Indonesia
Sementara kepercayaan penonton pada film Indonesia ibarat grafik gelombang tranversal, naik turun tanpa bisa dipresiksi. Arah gelombangnya tegak lurus dengan arah getarannya. Tahun ini bisa dibilang tahun positif karena sudah ada 7 film yang menembus angka diatas satu juta penonton hingga bulan Agustus.
Pertanyaannya, apakah kepercayaan penonton pada film Indonesia bisa dipertahankan? Sejak kembali hidup setelah mati suri pada era 90-an, film Indonesia sempat sempat menemui titik positif dengan penonton yang cukup banyak seperti pada film Petualangan Sherina dan Laskar Pelangi. Namun, kecerobohan produser yang menyajikan film-film horor kurang bermutu merusak kembali kepercayaan penonton. Pada akhirnya film Indonesia kembali mencapai titik nadir.
Segala usaha dilakukan untuk mencapai titik positif kembali di atas, salah satunya dengan promosi melibatkan pejabat. Pejabat diharapkan bisa menjadi role model yang aktif. Karena masyarakat Indonesia masih menempatkan pejabat sebagai 'kalangan kelas atas' yang harus dipercaya.
Semarak film-film nasional yang kembali mendapat kepercayaan penonton membangkit Ahok mengaku senang dengan perkembangan industri film tanah air. Inilah alasan Ahok tak sungkan menerima tamu orang film dan menunjukkan antusiasme-nya menonton film.
Sebagai pengusaha, Ahok juga berhitung cermat bagaimana film bisa membangkitkan pariwisata suatu daerah. Karena itulah Ahok ingin Jakarta menjadi pusat perfilman nasional.
Bagi mantan Bupati Belitung ini, Jakarta ke depannya akan dicanangkan sebagai pusat perfilman nasional. "Begini, tidak ada film pun, saya udah katakan Jakarta harus jadi pusat perfilman nasional. Lumayan ada bioskop kan di Jakarta. Saya juga berusaha minimal sebulan nonton dua kali sekali film nasional. Lumayan loh penonton sekarang 1 juta sampai 2 juta kan," kata Ahok beberapa waktu lalu.
Kita bisa apa? Kita bisa memberikan dukungan pada film Indonesia sebagai sebuah bentuk nasionalisme dengan membeli tiket dan nonton di bioskop. Jangan skeptis, banyak film Indonesia yang berkuatias. Ahok saja percaya hal itu kok.
Jangan tonton film bajakan, karena tak satu persenpun penjualan film bajakan masuk ke sineas yang membuat film. Ini kerugian bagi mereka karena jika tidak balik modal akan sulit membuat film baru yang lebih berkualitas. Banyak juga sekarang pilihan nonton streaming film secara legal jika kita malas ke bioskop. Seperti Ahok, mari bersama memberi dukungan pada film Indonesia dengan kemampuan kita masing-masing. Agar film Indonesia menjadi tuan rumah di hati kita, di negeri kita sendiri.