Fimela.com, Jakarta Salah satu turnamen sepakbola terbesar sedang digelar Prancis. Piala Eropa 2016 atau Euro 2016 sudah berlangsung sejak 10 Juni kemarin. Turnamen yang kerap disebut ‘Piala Dunia Mini’ ini baru saja menyelesaikan babak penyisihan grup. Babak selanjutnya yaitu 16 Besar yang akan menggunakan sistem gugur sudah bergulir mulai 25 Juni kemarin.
Sebagai seorang penyuka sepakbola dengan pengetahuan yang mungkin agak terbatas, saya mencoba menjadi pengamat dadakan di Euro 2016 kali ini. Tentunya tak akan selihai dan secerdas para pengamat dan komentator yang muncul di layar kaca. Dengan berakhirnya babak penyisihan grup di Euro 2016 ini, saya mencoba menyimpulkan beberapa hal.
Advertisement
Baca Juga
Sampai saat ini belum ada tim yang benar-benar menonjol dan pantas mendapat predikat sebagai calon juara yang paling pantas diunggulkan. Tim-tim unggulan seperti Jerman, Prancis, Italia, Spanyol, Inggris dan Portugal, grafik permainannya turun-naik. Jerman yang jadi favorit terdepan karena menyandang status juara Piala Dunia 2014, sempat tampil impresif di laga perdana dengan mengalahkan Ukraina 2-0.
Namun di dua laga berikutnya, tim besutan Joachim Low ini hanya bermain imbang tanpa gol dengan Polandia dan menang susah payah atas Irlandia Utara dengan skor tipis 1-0. Juara bertahan Spanyol tak beda jauh. Negara yang menjuarai Piala Eropa 1964, 2008 dan 2012 ini sempat tampil mengesankan dengan meraih kemenangan di dua laga awal.
Tapi di pertandingan ketiga grup dengan diperkuat para pemain intinya, kalah dramatis dari Kroasia dengan skor 2-1. Kekalahan itu ditandai dengan kesalahan konyol kapten tim mereka, Sergio Ramos. Blunder Ramos membuat Kroasia mencetak gol penyama skor. Saat Spanyol mendapat hadiah penalti, Ramos tiba-tiba jadi eksekutor dan ternyata gagal membuat gol.
Tuan rumah Prancis yang berada di grup relatif ringan hanya menang tipis atas Rumania. Melawan Albania, tim besutan Didier Deschamps ini baru berhasil membuat dua gol di tiga menit terakhir pertandingan. Melawan Swiss, Prancis yang mencoret Karim Benzema dari daftar pemain hanya bermain imbang tanpa gol. Inggris, negara sepakbola yang belum pernah menjuarai Piala Eropa, lagi-lagi tampil mengecewakan di turnamen besar.
Setelah ditahan imbang Rusia di gim perdana, Wayne Rooney cs tampil lebih baik dengan mengalahkan sesama negara Inggris Raya, Wales, dengan skor 2-1. Anehnya, di laga ketiga melawan Slowakia, pelatih Roy Hodgson mengganti susunan pemain. Enam pemain yang sebelumnya selalu menjadi starter diganti dengan pemain lain.
Hasilnya, Inggris bermain buruk dengan ditahan imbang tanpa gol oleh Slowakia. Salah satu taktik ‘konyol’ Hodgson yang banyak dikritik adalah menurunkan gelandamg Arsenal, Jack Wilshere, sebagai starter. Saat mengumumkan skuat Inggris untuk Euro 2016, Hodgson memang dikritik fans Inggris karena memasukkan nama Wilshere yang sepanjang musim lalu lebih banyak berada di ruang perawatan daripada di lapangan hijau.
Wilshere baru pulih saat kompetisi Liga Inggris menyisakan dua pertandingan. Hasilnya, Wilshere yang kondisinya kurang bugar gagal menunjukkan performa terbaik dan bahkan tampil sangat buruk sehingga digantikan oleh Rooney di babak kedua. Bagaimana dengan Portugal yang diperkuat Cristiano Ronaldo, yang di bulan lalu membawa Real Madrid menjuarai Liga Champions?
Advertisement
1
Di dua laga awal melawan tim yang tidak diunggulkan yaitu Islandia dan Austria, Portugal hanya bermain imbang. Bahkan Ronaldo dibuat frustrasi dan berubah jadi seorang pemarah di lapangan. Puncaknya, pemain yang dijuluki CR7 ini gagal mengeksekusi penalti ke gawang Austria. Untungnya, saat dirinya dijadikan bulan-bulanan dan bahan cemoohan media, Ronaldo tampil gemilang di laga melawan Hongaria.
Ronaldo membuat dua gol dan satu assist untuk Nani. Tapi sayangnya pertandingan berakhir dengan skor imbang 3-3. Portugal memang berhasil lolos ke babak selanjutnya tapi dengan rekor kurang membanggakan, hanya bermain imbang dalam tiga pertandingan. Yang agak misterius adalah Italia.
Di dua laga awal mereka meraih kemenangan atas Belgia dan Swedia. Pertahanan mereka solid dan sulit ditembus lawan. Bahkan saat melawan Swedia, Zlatan Ibrahimovich cs tak mampu sekalipun melakukan tendangan tepat ke arah gawang (shot on goal) karena saking ketatnya pertahanan Italia. Di laga terakhir, Italia memang kalah secara dramatis melawan Irlandia melalui gol Liam Brady di menit-menit akhir pertandingan.
Tapi ingat, di laga tersebut pelatih Antonio Conte tidak menurunkan enam pemain intinya dengan memberi kesempatan pada pemain cadangan untuk menambah jam terbang mereka. Taktik ini tentu berbeda dengan taktik ‘aneh’ pelatih Inggris yang di saat timnya belum pasti menjadi juara grup tapi sudah menyimpan enam pemain utamanya. Sejumlah hasil mengejutkan di Euro 2016 ditandai dengan banyaknya gol yang terjadi di menit-menit akhir pertandingan, terutama di sepuluh menit akhir.
Seperti dilansir dari BBC Sport, 27,5 persen gol di babak penyisihan yaitu 19 gol, terjadi di atas menit ke-80 alias sepuluh menit terakhir pertandingan. Dengan cukup banyaknya gol terjadi di menit-menit akhir memang membuat laga jadi lebih seru dan dramatis. Namun sayangnya, 69 gol yang terjadi selama babak penyisihan grup menghasilkan rasio 1,92 gol di tiap laga, menjadi rasio terendah di babak penyisihan grup sejak Euro 1992.
Bahkan untuk pertama kalinya sejak Euro 1996, tak ada tim yang bisa meraih tiga kemenangan dalam tiga laga babak penyisihan grup. Saya agak sependapat dengan pelatih Jerman yang sempat mengeluhkan bertambahnya peserta Piala Eropa dari sebelumnya 16 negara menjadi 24 negara di Euro 2016. Bahkan sampai Euro 1992, turnamen empat tahunan hanya diikut oleh delapan negara.
Low mengatakan format 16 negara dirasa cukup ideal dan lebih menjanjikan laga menarik sejak pertandingan pertama. Tapi semuanya sudah terjadi. Presiden UEFA Michel Platini memang memenuhi janjinya untuk memberi kesempatan pada banyak negara Eropa untuk bisa berlaga di turnamen besar sekelas Piala Eropa.
Dengan peraturan baru ini, negara seperti Hongaria dan Irlandia Utara untuk pertama kalinya bisa tampil di Piala Eropa. Tapi saya rasa bukan itu saja yang membuat tim-tim unggulan maupun pemain bintang banyak yang tampil mengecewakan di Euro 2016. Ketatnya kompetisi liga-liga elit di Eropa membuat fisik dan performa pemain begitu terkuras.
Terutama di Inggris, yang selain kompetisi liga dan Piala Liga, juga menggelar kompetisi Piala FA yang sangat menguras waktu dan tenaga karena melibatkan klub-klub seluruh divisi baik profesional maupun amatir di Inggris. Lain lagi dengan tim-tim Spanyol. Tiga klub mereka yaitu Real Madrid, Atletico Madrid dan Sevilla maju sampai babak final di Liga Champions dan Liga Europa.
Dua turnamen bergengsi tersebut menggelar partai final pada pertengahan dan akhir Mei lalu, hanya beberapa pekan sebelum Euro 2016 dimulai. Jadi, mungkin kita bisa sedikit memaklumi bagaimana Ronaldo tampil begitu buruk di dua laga awal, dan Sergio Ramos membuat dua blunder konyol di laga melawan Kroasia. Lalu bagaimana dengan hasil di babak 16 Besar sampai final nanti? Apakah tensi pertandingan akan semakin meningkat, semakin berbobot atau justru semakin anti-klimaks?
2
Tentunya kita semua berharap kemungkinan terakhir tak akan terjadi. Sistem gugur biasanya akan menampilkan laga yang lebih hidup, seru dan dramatis. Yang menarik, hasil babak penyisihan grup yang cukup mengejutkan menghasilkan drawing yang tak kalah mengejutkan di babak selanjutnya.
Tanpa diduga, ada dua jalur yang saling bertolak belakang. Jalur pertama diisi oleh tim-tim yang belum pernah menjuarai Piala Eropa maupun turnamen besar lainnya. Di jalur ini akan diisi dengan pertemuan Swiss vs Polandia, Portugal vs Kroasia, Wales vs Irlandia Utara dan Hongaria vs Belgia. Misalkan Polandia dan Portugal menang atas lawan mereka masing-masing, keduanya akan bertemu di perempat-final.
Begitu juga kalau Wales dan Belgia menjadi pemenang, mereka berdua akan bertemu di perempat-final. Wales sendiri kembali menanjak permainannya usai dikalahkan Inggris. Gareth Bale kembali melanjutkan performa bagus di klub dengan tim nasional. Hal ini tidak pernah terjadi pada bintang-bintang Wales sebelumnya seperti Ryan Giggs dan Ian Rush yang hanya bermain bagus di klub.
Sementara itu, misalkan Polandia menang atas Portugal dan Wales mengalahkan Belgia, mereka akan saling berhadapan di semi-final. Jadi, antara Polandia atau Wales bisa saja melangkah sampai ke laga final pada 10 Juli nanti. Lalu apa kabar dengan tim-tim raksasa Eropa? Mereka akan gontok-gontokan di jalur kedua.
Catat ini, Jerman akan menghadapi Slowakia, Italia bertemu Spanyol, Prancis dihadang Republik Irlandia dan Inggris ditantang Islandia. Jadi, di antara Jerman, Italia, Spanyol, Inggris dan Prancis, hanya satu dari mereka yang bisa melaju sampai ke laga final. Atau bahkan justru Irlandia dan Islandia yang bisa melenggang sampai ke semifinal atau mungkin final? Kemungkinannya memang kecil, tapi bisa saja terjadi.
Piala Eropa memang berbeda dengan Piala Dunia yang biasanya menghasilkan tim unggulan atau tim mapan sebagai kampiun. Di Piala Eropa atau Euro banyak kejutan bisa terjadi. Kita tentunya ingat dengan Denmark yang secara mengejutkan berhasil menjuarai Euro 1992 dengan mengalahkan Jerman di final. Atau lebih mengejutkan lagi saat Yunani menjuarai Euro 2004. Di babak final, Yunani mengalahkan tuan rumah Portugal yang masih diperkuat Luis Figo.
Padahal sebelum turnamen, nyaris tak ada yang mengenal pemain Yunani, yang memang nama-namanya panjang dan sulit diingat. Lalu, akankah ada juara kejutan seperti Denmark dan Yunani di Euro 2016? Bisa saja. Setidaknya satu tempat di final sudah dipastikan akan menjadi milik tim yang belum pernah menjuarai Piala Eropa. Di jalur pertama, hanya Portugal dan Belgia yang pernah merasakan laga final Piala Eropa. Lalu, siapa tim yang akan mewakili jalur kedua di laga final?
Persaingan di jalur bakal sangat ketat. Di fase ini lah kematangan dan mental juara tim akan terlihat. Plus faktor keberuntungan tentunya. Saya sendiri dengan berat hati, sebagai fans sejati Jerman, memprediksi Italia dan Prancis akan bertemu di babak semifinal. Faktor pelatih, terutama Antonio Conte, akan pegang peranan penting. Pelatih yang punya gaya skeptis dan penuh perhitungan ini memang dikenal punya taktik jitu, baik saat menangani Juventus maupun Italia.
Kalau berhasil menang di laga final, misalkan melawan Polandia atau Wales, maka Italia akan menjadi juara Piala Eropa untuk kedua kalinya. Juara Piala Dunia empat kali sebelumnya menjadi kampiun Piala Eropa di tahun 1968. Sedangkan lawan mereka di final, baik Polandia maupun Wales atau bahkan tim lainnya di jalur pertama, kalau berhasil menjadi juara, maka itu akan menjadi gelar pertama mereka di Piala Eropa maupun turnamen besar lainnya. Namanya juga prediksi, apalagi prediksi amatiran seperti saya, bisa saja salah.
Dan jangan pernah lupa ungkapan usang tapi masih berlaku sampai sekarang, ‘bola itu bundar’ atau ‘Anything can happen in football’ alias segala sesuatunya bisa terjadi di sepakbola. Begitu juga di Euro 2016 kali ini. Tim-tim mapan seperti Italia atau Jerman bisa berjaya, atau bisa juga tim-tim medioker seperti Wales Portugal atau Kroasia yang nanti mengangkat piala di Stade de France pada 10 Juli nanti.