Fimela.com, Jakarta Keberadaan Lembaga Sensor Film di Indonesia sudah berusia 100 tahun. 6 periode telah dilalui sensor film di Indonesia yaitu sensor film masa kolonial Belanda, masa penjajahan Jepang, masa peralihan (1945-1950), masa Panitia Pengawas Film (1950-1966), masa Badan Sensor Film (1966-1992) dan masa Lembaga Sensor Film (1992-sekarang).
Sebuah paradigma baru Lembaga Sensor Film (LSF) pun akan diamalkan. Mengambil momentum 100 tahun sensor film, LSF akan tetap menjadi garda budaya bangsa yang mampu memberikan perlindungan kepada masyarakat dari pengaruh film dan iklan film.
"Kami mengemban tugas sensor film dengan paradigma baru. Kami diamanati juga sebagai mercusuar dalam dunia perfilman. Dalam arti sebagai penerang dan pendorong film nasional supaya lebih baik," kata Ahmad Yani Basuki, Ketua LSF di Gedung Film, Jalan MT Haryono, Jakarta Selatan, Rabu (15/3).
Advertisement
Pendekatan demi pendekatan akan terus dilakukan oleh LSF guna menjadikan diri sebagai mercusuar dalam industri perfilman khususnya. Dengan paradigma baru ini LSF juga akan mengedepankan dialog-dialog terhadap para pelaku film.
"Paradigma barunya adalah dalam proses sensor kami mengedepankan dialog. Jika di masa lalu enggak perlu dialog, kami potong, sekarang tidak. Walaupun direvisi, tapi kami kembalikan ke mereka yang menata kembali," ujarnya.
"Kalau mereka merasa keberatan atau kami merasa masih ada yang mau diperjelas kami adakan dialog. Terakhir dengan mbak Ria Irawan. Kami mendengar, mereka juga mendengar. Sebelumnya ada dialog tapi tidak intensif seperti yang kami lakukan sekarang," tukas Ahmad Yani Basuki.
Selain itu, LSF juga mengangkat tema Masyarakat Sensor Mandiri. Dengan gerakan ini, LSF ingin mengajak masyarakat untuk berperan aktif dalam memilih dan memilah tayangan film atau selainnya, untuk kebaikan diri dan keluarganya.
"Usia segitu (100 tahun) bukan main-main. Apa yang kami rumuskan, minimal mengawali paradigma baru sensor film. Dihadapkan dengan era perkembangan teknologi, bebas siarkan film/tayangan, yang tak merasa terikat dengan sensor film. Ini bukan hanya tantangan kami, tapi masyarakat pada umumnya," tandas Ahmad Yani.