Fimela.com, Jakarta Salah seorang sutradara muda Indonesia adalah Awi Suryadi. Pemilik nama lengkap Suryadi Musalim ini termasuk produktif dalam membuat film. Sejak memulai debutnya sebagai sutradara pada 2005 lalu, Awi sudah menyutradarai 15 film. Yang beredar di tahun ini adalah Bidadari Terakhir dan Badoet.
Pria kelahiran Lampung, 24 September 1977 ini mengawali debutnya lewat film Gue Kapok Jatuh Cinta. Selain menjadi sutradara bersama Thomas Nawilis, Awi Suryadi juga menulis skenarionya. Meski tak terlalu sukses, Awi tak mau menyerah.
Awi menyutradarai film Claudia/Jasmine di tahun 2008. Setelah itu beberapa film yang pernah disutradarai Awi diantaranya, Sumpah Pocong di Sekolah, Asmara Dua Diana, Simfoni Luar Biasa, Viva JKT48, Steet Society dan Bidadari Terakhir.
Advertisement
Ada cerita tersendiri saat Awi menyutradarai Street Society, ia bersahabat dengan salah satu pemainnya, Daniel Topan. Mereka punya banyak kecocokan hingga kemudian berlanjut membuat proyek film Badoet. Film ini merupakan proyek pertama DTFI (Daniel Topan Film Indonesia). Daniel bersama Hareesh Kemlani menjadi produser dan Awi menjadi sutradara. Sedangkan skenario ditulis oleh Daniel yang juga mencetuskan ide cerita film Badoet.
Mereka bertekad menampilkan film horor yang beda dan tidak standar seperti kebanyakan film horor Indonesia belakangan ini. Mereka berusaha membuat film horor dengan style Hollywood tapi tetap punya citarasa lokal. Awi Suryadi optimis film Badoet bisa diterima dan diminati penonton Indonesia.
Baca Juga: Film Badoet Padukan Mimpi dan Ketakutan Sang Sutradara
Selama ini, beberapa film karya Awi bukan hanya meraih sukses di pasaran tapi juga mendapat pujian serta penghargaan. Awi sendiri pernah masuk nominasi sebagai Sutradara Terbaik di Festival Film Indonesia (FFI) 2010 lewat film I Know What You Did on Facebook. Meski begitu, mendapat pujian maupun penghargaan ternyata bukan target utama Awi dalam membuat sebuah film.
Lalu apa yang menjadi prioritas utamanya? Saat berkunjung ke redaksi Bintang.com, Awi juga mengungkapkan film-film apa saja yang sangat mempengaruhi karirnya dan film seperti apa lagi yang masih ingin diwujudkan oleh Awi? Simak uraian jawaban Awi yang disampaikan kepada tim Bintang.com: Henry, Galih W Satria dan Febio Hernanto di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, 15 Oktober 2015.
Film Badoet ini film keberapa Anda sebagai sutradara?
Ini film saya yang ke-15 sebagai sutradara. Tapi kalau untuk genre horor/thriller, ini film kedua saya.
Kenapa tertarik dan memilih mengarap film Badoet?
Saya terlibat di film ini karena diajak teman saya, Daniel Topan, kita pernah kerjasama di film Street Society. Badoet ini proyek pertamanya Daniel dengan rumah produksi Daniel Topan Film Indonesia bersama Hareesh Kemlani. Yang membuat saya tertarik adalah saya sudah lama tidak membuat film horor atau thriller. Film horor pertama saya (Sumpah Pocong di Sekolah) terlalu banyak campur tangan orang lain, makanya saya kurang puas dengan hasilnya. Setelah setuju membuat film horor, kita pikirkan lagi seperti apa bagusnya, apalagi semua jenis hantu atau mahluk halus sepertinya sudah pernah dibuat. Lalu Daniel bilang kita bikin film tentang badut karena pernah punya pengalaman khusus dengan badut. Saya langsung setuju karena pernah punya pengalaman yang sama.
Advertisement
1
Pengalaman pribadi seperti apa?
Daniel ternyata pernah punya pengalaman traumatis dengan badut waktu dia masih kecil. Pengalaman itu membuatnya takut dengan badut sampai sekarang. Kebetulan saya juga pernah trauma dengan sosok badut. Nah, rasa takut itu ternyata juga dialami banyak orang dengan alasan yang berbeda-beda. Nah, dari situ kita berpikir ini akan menjadi tantangan yang menarik untuk membuat film badut.
Apa yang berbeda dari film Badoet?
Yang membuatnya beda, kita gak fokus sama dunia mistis. Kita tampilin horor yang beda yaitu film horor yang gak menampilkan mahluk halus. Karakter badut itu kita buat sedemikian rupa sehingga tercipta kesan horor yang mencekam. Lalu treatment kita juga beda. Kita gak mau menakut-nakuti penonton dengan musik yang bikin kaget dan terkesan seram. Pokoknya kita gak mau menampilkan hal-hal yang selama in klise di film horor Indonesia.
Apa saja tantangan selama pembuatan film Badoet?
Cukup banyak sih. Yang paling terasa masalah cuaca. Kita syuting adegan outdoor memang gak banyak, hanya sekitar 30 persen dari keseluruhan take. Meski begitu lumayan berat juga karena beberapa kali turun hujan pas mau syuting. Pas di adegan di atap sama pasar malam contohnya. Padahal persiapan sudah rapih, peralatan juga sudah disiapkan dengan lengkap, eh tiba-tiba turun hujan. Ya, akhirnya kita harus mengulang lagi di waktu atau di hari lain. Itu baru tantangan cuaca, belum yang lain.
Apalagi tantangan yang harus dihadapi?
Tantangan lainnya, waktu syuting yang diberikan produser cukup singkat yaitu hanya sekitar dua minggu. Apalagi ini proyek perdana DTFI, saya harus bisa memanfaatkan apa yang disediakan produser. Tapi kita tetap berusaha menampilkan yang maksimal. Saya sendiri selalu mengambil satu adegan selama beberapa kali take. Saya akan banyak mengulang satu adegan sampai si pemain benar-benar menyatu sama peran dan dialognya.
Berapa lama waktu syuting dan persiapannya?
Waktu syutingnya sebenarnya hanya 12 hari. Karena ada tambahan scene kita syuting satu hari lagi jadi total 13 hari. Biarpun syutingnya singkat, persiapannya lumayan lama. Setelah memutuskan akan membuat film tentang badut, kita mesti bikin dulu sosok badut ini siapa, kelaurganya gimana dan kenapa dia bisa jadi badut. Itu waktunya sekitar 1,5 bulan. Pembuatan naskah sampai lock sinospis bisa sampai 4 bulan. Tapi kita kerja paralel. Saya menyiapkan segala keperluan untuk syuting termasuk soal naskah, lalu Daniel dan pak Hareesh mencari pemain. Hasil akhirnya kita cukup puas.
Baca Juga: Belum Resmi Rilis, Film Badoet Sudah Pikat Sineas Asing
Bagaimana cerita film Badoet?
Secara garis besar, film ini menceritakan tentang kejadian di sebuah rumah susun dan kehadiran seorang badut. Ada beberapa anak yang tewas secara misterius, dan mereka semua kebetulan punya gambar badut. Nah hal ini yg bikin curiga Daniel sama teman-temannya. Mereka berusaha mencari tahu dan menyelidik siapa sosok badut itu, lalu berusaha mencegah agar tidak sampai jatuh korban berikutnya.
Apa benar film ini dilirik sama komunitas fim horor di Amerika Serikat?
Iya, itu awalnya dari trailer yang kita unggah di youtube. Kita sama sekali gak menyangka film ini bisa menarik perhatian orang luar Indonesia, apalagi kita kan baru merilis trailernya. Jadi berawal dari satu komunitas lalu tersebar ke banyak orang. Setelah itu ternyata menarik perhatian sebuah PH dari Amerika Serikat (AS). Kita juga gak nyangka bisa dapet perhatian tanggapan dan tawaran seperti ini.
Tawaran apa yang mereka berikan?
Jadi PH ini sudah sering membeli film horor dari Asia untuk di remake. Saya kaget juga dan gak siap. Karena kita sederhana saja bikin film ini. Tapi saya belum bisa bicara banyak, termasuk mengenai PH mana yang tertarik dengan film kita, Ya, karena mereka mau melihat hasil filmnya dulu, setelah itu ada kemungkinan untruk di remake atau kerjasama lainnya. Nanti kalau sudah ada kabar baiknya, baru kita bisa berikan informasi jelasnya.
Selain Badoet apa lagi proyek Anda yang lainnya?
Yang terbaru saya mau bikin film iklan sebuah perusahaan game. Saya memang sering menggarap film iklan. Untuk film, ada dua proyek lagi yang akan digarap, tapi mungkin baru akan produksi di tahun depan. Saya belum bisa menjelaskan lebih lanjut, yang pasti satu bergenre drama-komedi dan satunya lagi drama.
Siapa sutradara idola Anda atau yang paling berpengaruh dalam karir Anda?
Wah, siapa ya. Soalnya idola saya lumayan banyak, hehehe. Tapi yang paling saya ingat film-filmnya David Fincher dan Martin Scorcese. Karya-karya mereka selalu bagus dan menarik buat ditonton. Saya sering dapat ide atau inspirasi dari film-film mereka.
2
Film apa lagi yang ingin Anda buat?
Sebenarnya saya pingin bikin film eksyen. Tapi setelah melihat bagaimana Gareth Evans membuat The Raid dan sekuelnya, itu udah perfect banget. Rasanya susah bisa membuat film yang lebih bagus lagi dari itu, jadi saya tak perlu membuktikan apa-apa. Yang saya mau lebih ke genre crime-saga. Tema ini gak pasaran dan belum banyak di Indonesia. Film tentang mafia dengan pendekata keluarga. Membuatnya seperti film drama tapi tentang mafia. Karena selama ini karakter penjahat terlalu stereotype, dari penampilannya udah keliatan kalau dia memerankan penjahat atau karakter antagonis. Padahal, kalau kita ketemu orang di jalan mana kita tahu dia orang jahat atau bukan.
Apa Anda tertarik membuat film biopic?
Saya gak mau bilang gak tertarik tapi yang paling utama bagi saya adalah ceritanya. Saya pernah ngobrol sama Daniel untuk membuat film tentang tokoh seorang wanita, tapi belum tahu persis siapa yang akan kita tampilkan. Yang penting, kalau memang menarik bagi saya dan ceritanya bagus, baru akan saya jalanin.
Lebih pilih film Anda laris atau dapat pujian dan penghargaan?
Wah susah juga nih hahaha. Soalnya kalau mau dapat pujian gampang. Saya lebih pilih laris dulu lah. Soalnya tiap bikin film yang paling saya pikirkan adalah produser. Kalo produser suka biasanya filmnya laris dan produser tentu makin senang. Karena tanggung jawab seorang filmmaker adalah mengembalikan modal produser. Kalau itu gak terjadi, tentunya produser bakal kapok bikin film. Kalau mereka bangkrut, gak ada yg bikin film dong. Jadi yang utama laris dulu, kalau dapat award atau penghargaan itu saya anggap sebagai bonus aja. Menurut saya, lebih jujur reaksi penonton. Kalau di festival lebih banyak nuansa politisnya. Kita mesti kenal jurinya, mesti promosi dan segala macam.
Apa ajang award di bidang film masih kurang atau sudah cukup?
Saya rasa udah cukup sih. Dengan ajang penghargaan yang sudah ada saja terasa kurang maksimal. Saya pribadi lebih suka Piala Maya. Karena menurut saya sebagian besar jurinya qualified dan suka sama film. Mereka adalah penonton bioskop, sebelum masuk penjurian pun mereka sudah nonton filmnya di bioskop. Kalau di ajang lain saya kurang tahu, jangan-jangan mereka hanya nonton pas penjurian aja. Kalau di ajang seperti FFI, saya rasa banyak naunsa politiknya juga karena jurinya sering ganti. Tahun ini misalnya jurinya bagus eh ternyata tahun depan ganti lagi. Kalau saya, tiap tahun saya tetap kirim film ke tiap festival. Soal menang atau gak saya terima saja hasilnya. Sekali lagi, kalau menang saya anggap sebagai bonus saja.
Saat ini perfilman Indonesia butuh lebih banyak komersil atau berkualitas?
Kalo saya bilang teknisnya dulu diberesin, dari soal kamera sampai yang lain harus bagus dulu dan sesuai standar. Kalo harus komersil susah juga menentukan standarnya seperti apa. Contohnya, sutradara Comic 8 (Anggy Umbara) bikin film 3 The Movie. Tapi ternyata penontonnya sedikit banget padahal Comic 8 dan sekuelnya laris. Makanya, menurut saya yang penting teknisnya dulu dibenahi.
Baca Juga: Daniel Topan: Badoet Film Horor Beda dan Tidak Ada Hantu-Hantuan
Tapi kenapa penonton kita sedikit yang menonton film 3?
Itu memang sulit. Karena secara teknis dan cerita filmnya oke banget. Selera penonton memang sudah ditebak. Jadi begini saja, kita kasih pilihan yang bagus terus biar penonton suka dan gak kehilangan kepercayaan sama film kita. Lalu sekarang kita lebih banyak membuat film yang seadanya dan berantakan. Dari 10 film kita yang diputar di bioskop, menurut saya mungkin cuma 3 film yang layak tonton. Yang lainnya cuma sekedar mengisi jadwal tayang aja. Malahan ada film yang gak pake naskah dan cuma mengembangkan cerita di lokasi. Hasilnya kacau dan penonton jadi banyak yang apatis, dampaknya ke kita juga sebagai orang film. Jadi yang penting kita berusaha menampilkan yang terbaik aja, jadi penonton bisa melihat hasilnya. Karena kalau kita sudah bikin cerita yang oke, teknisnya bagus, lama-lama penonton akan bisa melihat usaha kita dan menyukai film Indonesia. Tapi kalau dibuatnya banyak yang asal-asalan, hancurlah film kita.
Apa film Indonesia favorit Anda?
Banyak banget. Saya sebut yang film Indonesia saja. Ada dua film favorit saya, Nagabonar yang film pertama sama Kejarlah Daku Kau Kutangkap. Saya juga suka film-filmnya Suzanna hahaha. Dari kecil saya memang suka nonton di bioskop. Banyak film Indonesia yang bagus. Saya juga suka film eksyen kayak Jaka Sembung, tapi itu buat sekedar hiburan. Kalau Nagabonar sama Kejarlah Daku Kau Kutangkap masih terkesan sampai sekarang.
Ada pengaruh sinetron terhadap jumlah penonton film Indonesia?
Pasti ada pengaruhnya. Bukan hanya di Indonesia, di Hollywood juga seperti itu. Jumlah penonton bioskop agak menurun karena pengaruh televisi. Tapi, bagusnya di Hollywood atau di Amerika, film dan serial televisi mereka berusaha mengejar ketertinggalan dari film layar lebar. Kualitas film atau serial televisi dibuat sebagus mungkin seperti halnya film bioskop. Temanya jadi lebih beda dan berani. Lalu orang-orang film yang berkualitas juga makin banyak berkiprah di televisi. Nah, kalau di kita justru kebalikannya, industri film kita yang menurun dan mengikuti kualitas produksi televisi yang sebagian besar dibuat instan dan kejar tayang. Dari pemain juga ada pengaruhnya. Kita, terutama saya, melihat pemain yang terlalu sering tampil di televisi jadi bosan. Saya malas mengkasting pemain seperti itu untuk film saya.
Anda juga terjun di bidang televisi?
Saya juga pernah bikin sinetron. Tapi saya lebih suka menyebutnya serial. Saya pernah membuat serial komnedi di Kompas TV sama serial drama juga Tapi serial saya gak kejar tayang. Kalo sinetron kan sebagian besar kejar tayang banget. Buat besok syutiung baru bikin naskah hari ini, lalu buat syuting hari ini untuk tayang besoknya. Hasilnya ya lihat sendiri lah.
Apa solusi untuk mengatasinya?
Kebiasaan instan seperti kejar tayang harus dikurangi. Karena dengan pola seperti itu, gak ada pengembagan karakter. Semua serba dipaksakan dan mononton. Seperti produksi film, waktu syutingnya memang singkat. Film Badoet cuma syuting 12 hari tapi persiapannya kan lama. Setelah selesai syuting pasca produksinya juga cukup lama. Jadi kalau bisa budaya instan harus kita kurangi.