Fimela.com, Jakarta Mungkin masyarakat lebih tahu Koes Plus, The Mercy’s, Panbers, dan juga D’Loyd kala bicara tentang band-band lawas tanah air di era 1970-an. Padahal di jaman itu, nama Black Brothers juga tak kalah tenar dibandingkan dengan Koes Plus dan lainnya.
Tak banyak referensi yang bisa didapatkan ketika disinggung tentang nama band yang personilnya sebagian besar berasal dari Papua tersebut. Hilangnya mereka dari percaturan industri musik dikaitkan dengan isu politik tanah air khususnya soal masyarakat Papua.
Advertisement
Namun, sekarang ini band yang dikabarkan merupakan pelantun pertama tembang Kisah Seorang Pramuria ini mencoba mengais sisa-sisa popularitas yang dahulu sempat diraih. Mereka akan bernostalgia dengan penggemarnya pada Rabu malam, 2 September 2015 di Hotel Acacia, Jakarta.
"Dahulu kami seperti rusa yang dilepaskan di tengah kota," kata Amry M. Kahar kepada wartawan, mengenang awal mereka menginjakkan kaki di Jakarta, Selasa (1/9).
Kahar (terompet) merupakan satu dari pemuda Papua yang menjadi personil band ini ketika itu. Selain dirinya ada Hengky MS (lead gitar dan lead vocal), Benny Bettay (bass), Yochie Pattipeiluhu (keyboard), Stevie Mambor (drum), dan David Ramagesan (saksofon). Inilah personil awal yang berjuang di Jakarta bersama manajer Andy Ayamiseba pada tahun 1976.
"Padahal saat itu posisi kami-kami ini adalah pelajar dan mahasiswa tapi karena kami memang mencintai musik, maka kami rela meninggalkan itu semua demi sesuatu yang kami yakini yaitu musik," tutur David Ramagesan.
Band ini juga dikenal dengan lagu-lagu yang bertema kritik sosial, diantaranya adalah Hari Kiamat, Derita Tiada Akhir dan Lonceng Kematian. Mereka juga merupakan pionir dari penyanyi atau band yang membawakan lagu daerah dalam albumnya.
Untuk diketahui, selama berkarir, mereka telah menelurkan 9 album studio yaitu Irian Jaya, Derita Tiada Akhir, Lonceng Kematian, Kenangan November, Kaum Benalu, Misteri, Volume Perdana, Hening, dan Album religi Christmas.