Fimela.com, Jakarta Bagi para musikus, nama Denny Sakrie tentunya sudah tidak asing lagi. Wikipedia musik berjalan yang mengcapture perkembangannya dari zaman kolonial hingga golablisasi saat itu. Semua itu tergambar jelas lewat guratan tangan Denny di bukunya bertajuk 100 Tahun Musik Indonesia. Buku yang ia persembahkan kepada perkembangan musik tanah air di akhir hayatnya.
Di balik kehebatannya menganalisa berbagai aspekĀ industri musik, siapa sangka Denny sosok yang sederhana. Sebab Denny harus memprioritaskan kebutuhan keluarga ketimbang egonya menulis. Semasa hidup, Denny mengandalkan warnet dalam menganalisa, mengkritik sebuah musik lantaran tidak memiliki komputer atau laptop. Begitupun saat merampungkan bukunya, 100 Tahun Musik Indonesia. Hal itu diungkap sendiri oleh istri Denny, Mike Hendarwati.
Advertisement
"Kalau kami pikir nggak mendesak ya dialihkan saja. Perumahan kami di pelosok, jadi warnet itu masih ada. Jadi tiap malam dia pulang jam 3 pagi, kebetulan warnetnya berbaik hati, jadi tutupnya setelah Denny selesai. Sebelum meninggal dia lagi berusaha menyelesaikan buku ini. Waktu saya bangun jam 12 malam dia belum ada, dia baru tidur 4 jam lah. Kalau nggak salah di atas jam 3 lah sampai rumahnya," papar Mike saat ditemui di Pisa Cafe, Kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (10/4/2015).
Demi memenuhi kebutuhan hidup, beberapa koleksi kaset dan piringan hitam Denny pun harus ditukar dengan uang alias dijual. "Kadang saya enggak tahu, 'apaan sih tuh?'. Dia bilang, 'lo enggak tahu sih nantinya'. Sekarang tinggal sedikit, sudah jadi uang", katanya.
Soal alat komunikasi, telepon genggam milik Denny Sakrie pun terbilang cukup mengenaskan. Telepon genggam yang hampir punah jika disejajarkan bersama produk dewasa ini. Dalam kesempatan itu, Mike pun menunjukkan telepon genggam butut yang pernah digunakan Denny.
"kita membiasakan hal seperti itu karena kondisi juga. Kalau pun kita punya enggak harus memiliki segalanya, yang penting nyaman. Malah pernah dia saya suruh pake HP ini. Dia dengan santai angkat telepon di depan musisi besar. Biasanya kan kalau orang lain akan malu," ungkapnya.
Pantas saja penyanyi J-Flow mengaku kesulitan saat membuat janji dengan Denny. "Hp-nya sering rusak. Makanya kalau janjian dia bilang, 'oh ya sudah lo sering main ke PS (Plaza Senayan) saja soalnya Hp gue rusak, pasti nanti lo ketemu gue," ungkap J-Flo di waktu berbeda.
Jika mendengar penilaian Addie MS, kesederhanaan hidup Denny sangatlah wajar. Menurut Addie, almarhum tak piawai 'menjual' karya. Lebih lanjut Addie pun bercerita tentang sifat Denny yang tidak pernah mengukur segala sesuatunya dari sudut materi.
"Mungkin dia orangnya gk pernah ngomongin duit. Pernah dia kita suruh nulis berita acara konser orkestra. Aku bilang, 'Den berapa gue mesti bayar?' Dia bilang, 'terserah lo lah. Enggak bayar juga enggak apa-apa. Aku bilang jangan, kita profesional saja. Aku kasih yang menurut aku pantas harganya. Mungkin itu kelemahan di mata kita. Tapi di mata Allah sangat luar biasa," urai Addie MS.
Kini dunia musik kehilangan sosok kritiskus musik yang ceplas ceplos dalam menganalisa. Denny Sakrie meninggal dunia karena serangan jantung. Ia menghembuskan nafas terakhir saat dilarikan ke Rumah Sakit Siloam Karawaci, Januari silam pukul 12.25 WIB.