Fimela.com, Jakarta Nama Angga Dwimas Sasongko sudah dikenal sebagai salah satu sutradara muda berbakat di negeri ini. Ia memang baru menyutradarai lima film layar lebar tapi ia sudah mengarahkan sejumlah film dokumenter, video klip dan film iklan. Sebagai sutradara namanya langsung melejit setelah film garapannya, Cahaya dari Timur: Beta Maluku, menyabet Piala Citra di Festival Film Indonesia 2014 sebagai Film Terbaik.
Apalagi, Chico Jerrico yang menjadi pemeran utama di film itu juga meraih penghargaan Pemeran Utama Pria Terbaik. Tanda-tanda Angga bakal menjadi sutradara handal sudah telah terlihat sejak ia menyutradarai film perdananya, Foto Kotak dan Jendela di tahun 2006. Film independen itu memang tidak diputar di gedung bioskop tapi mendapat apresiasi cukup bagus dan mendapat pujian di berbagai festival.
Film yang skenarionya ditulis Ginatri S Noer itu dinilai bukan saja menampilkan cerita yang simpel dan berisi tapi juga akting para pemainnya yang natural. Padahal, saat itu Angga masih berusia 21 tahun. Ia dilahirkan di Jakarta, 11 Januari 1985. Setahun kemudian, Angga dipercaya sebagai sutradara film horor laris, Jelangkung 3. Film ketiganya, Hari Untuk Amanda diriis pada 2010. Film yang dibintangi Oka Antara dan Fanny Fabriana itu mendapatkan lima nominasi Piala Citra termasuk di kategori Sutradara Terbaik di Festival Film Indonesia (FFI) 2010.
Advertisement
Puncaknya di tahun 2014 lewat film Cahaya dari Timur: Beta Maluku yang mendapat banyak penghargaan. Di film itu pula, Angga untuk pertama kalinya menjadi produser. Angga adalah sosok sineas yang unik dan menarik. Ia mulai tertarik dengan film sejak masih SMA. Putra pasangan Sasongko Hari Mulya Soedjono dan Agnes RA Poluan ini sering diajak sang ayah nonton film. ”Ide membuat film tercetus karena setelah nonton, saya biasanya diskusi dengan teman-teman tentang film tersebut,” ujar Angga.
Dengan modal sebuah handycam, Angga membuat film pendek pertama berjudul Maya bersama teman sekelasnya, Ginatri S Noer yang kemudian juga menjadi sineas. Meski sangat tertarik pada film, setelah lulus SMA Angga justru kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Indonesia. Itu karena Angga juga menyukai dunia politik. “Politik sangat dekat dengan riset, ideologi, alasan-alasan, dan itu terbawa pada cara kerja saya sebagai sutradara. Dalam membuat film riset dan data harus kuat,” tukasnya.
Sambil kuliah, Angga mengikuti kursus atau lokakarya film yang diadakan Miles Film dan Konfiden.Sejak 2002, ia mulai aktif membuat film pendek dan video musik, selain film iklan, dokumenter, dan film televisi. Sebuah film garapannya, Alter Ego, membuat produser Erwin Arnada mengajaknya menjadi asisten sutradara Hanung Bramantyo di film Catatan Akhir Sekolah di tahun 2005. Setelah itu karirnya sebagai sutradara pun dimulai.
Advertisement
1
Bukan hanya berkiprah di bidang film, Angga punya sejumlah profesi. Ia adalah founder dan CEO Visinema Pictures. Angga juga meneruskan usaha ayahnya di bidang furnitur. Ia menjadi co-founder perusahaan furnitur dan interior dengan label Trystliving dan CEO dari Woodchef Indonesia yang memayungi label Woodchef. Pada dua label furnitur tersebut ia juga bertindak sebagai product designer. Selain furniture, Angga juga tergabung di Archiss, sebuah firma strategic consultant sebagai Creative Communication Partner.
Angga juga menekuni agrobisnis. Ia memiliki kebun yang cukup luas di daerah Batu, Jawa Timur. Sejak 2012, ia membudidayakan berbagai tanaman impor.
Setidaknya sebulan dua kali, Angga berkunjung ke Batu. Ia mengaku suka berinteraksi dengan banyak orang.”Karena ketika saya kerja dengan banyak orang, saya punya banyak cerita. Dan itu yang bisa saya jadikan bahan untuk bisa mengerjakan cerita sebuah film,” jelas Angga.
Angga juga seorang aktivis kemanusiaan sekaligus yang bekerja untuk Green Music Foundation yang ia kelola bersama musisi Glenn Fredly. Angga juga menginisiasi proyek Pondasi (Pondok Cerdas Indonesia), sebuah community learing center berbasis perpustakaan yang dibangun di komunitas-komunitas masyarakat pulau dan didirikan pertama kali di Desa Mapinang Selatan dan Desa Pasapuat di Mentawai.
Di tahun ini, Angga kembali merilis film terbarunya, Filosofi Kopi The Movie. Kiprah Angga menjadi banyak sorotan karena film Cahaya dari Timur: Beta Maluku menjadi Film Terbaik di FFI 2014, meskipun ia sendiri tidak masuk nominasi kategori Sutradara Terbaik. Banyak yang berharap kalau film Filosofi Kopi The Movie akan menjadi film kelas festival dan mendapat sejumlah penghargaan.
Padahal, Angga mengaku setiap kali membuat film ia tidak pernah memasang target meraih penghargaan atau piala. ”Waktu membuat Cahaya dari Timur: Beta Maluku, saya tidak memasang target mendapat Piala Citra. Harapannya cuma satu, kalau film ini sampai di bioskop, itu sudah anugerah. Kalau akhirnya dikasih Piala Citra dan penghargaan lainnya ya saya bersyukur saja,” ucapnya saat diwawancarai Bintang.com di Epicentrum XXI, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (7/4/2015).
Dari lima film yang telah dibuatnya, Angga mengakui Cahaya dari Timur: Beta Maluku merupakan film yang paling berkesan. ”Film itu saya buat selama empat tahun, jungkir balik sama Glen Fredly mengangkat cerita asli dari Tanah Maluku. Pengalaman itu membuat saya tumbuh sebagai manusia yang lebih baik, tidak hanya sebagai sutradara,” tuturnya.
2
Meski begitu, film Filosofi Kopi The Movie juga tak kalah istimewa. Ini merupakan tantangan menarik baginya karena harus mengadaptasi sebuah cerita pendek menjadi film layar lebar. Apalagi beberapa karya Dewi Lestari sudah diangkat menjadi film dan hampir semua terbilang sukses. Ternyata alasannya bukan hanya karena Angga seorang pecinta kopi. Tapi karena sang istri, Anggia Kharisma yang juga bertindak sebagai produser.
"Buku 'Filosofi Kopi' itu adalah hadiah pertama saya kepada istri waktu pacaran. Istri saya itu sangat menggemari Dewi (Lestari), dan dia lah yang mengenalkan saya kepada Dewi," ungkap Angga. "Bagi saya cerita 'Filosofi Kopi' itu sudah sangat personal. Makanya saya mau menggarap film ini sekaligus menjadi produser eksekutif," sambungnya. Yang menarik, keputusan membuat film tersebut berawal dari obrolan ringan.
Angga, Anggia dan Dewi sempat beberapa kali bertemu untuk sekedar kongkow bareng. “Kita biasa ngobrol bertiga, bisa di kafe, restoran atau di warung pinggir jalan. Dari situ muncul ide untuk membuat film Filosofi Kopi. Dan ternyata saya baru tahu kalau Dewi memang sudah lama ingin membuat film ini,” terang Angga. Cerpen Filosofi Kopi dimuat di buku berjudul sama yang diterbitkan di tahun 1996.
Meski hanya sebuah cerpen, tapi kabarnya Filosofi Kopi termasuk karya favorit Dewi sehingga ia sangat selektif memilih sineas yang akan memfilmkannya. Beberapa sineas tertarik untuk menyutradarai film tersebut tapi belum ada yang sreg di hati Dewi sampai ia kemudian bertemu dengan Angga. Dewi menandaskan kalau ia merasa cocok dan punya visi sama dengan Angga sehingga menjatuhkan pilihan pada pria berkacamata ini.
“Saya bisa mengeksplorasi dengan semaksimal mungkin karena ide ceritanya menarik dan belum banyak diangkat ke dalam film. Seperti saya bilang tadi, saya ingin membuat film yang bisa disukai penonton bukan untuk meraih penghargaan,” tandasnya. Angga membagi film Filosofi Kopi ke dalam empat bagian utama yaitu cinta, persahabatan, hubungan ayah dan anak dan tentunya tentang kopi.
Saat konperensi pers film tersebut, Dewi Lestari mengaku puas dengan racikan Angga Dwimas Sasongko. Bahkan Dewi menandaskan sejauh ini Filosofi Kopi adalah yang terbaik dari film-film lain yang pernah mengadaptasi karya tulisannya. Well done, Angga. Kita akan menunggu karya-karya seorang Angga Dwimas Sasongko berikutnya.
Trailer Filosofi Kopi The Movie