Sarmoko, Universitas Jenderal Soedirman
Setiap 4 Februari diperingati sebagai Hari Kanker Sedunia untuk meningkatkan kesadaran setiap orang mencegah, mendeteksi, dan mengobati kanker. Sampai kini, penyakit kanker merupakan salah satu penyebab kematian utama di dunia, juga di Indonesia.
Advertisement
Kanker merupakan penyakit yang muncul akibat pertumbuhan tidak normal dari sel tubuh yang berubah menjadi sel kanker. Penyakit ini bisa dipicu oleh multifaktor seperti genetik, karsinogen (agen yang dapat mendorong terbentuknya sel kanker), virus, dan gaya hidup tidak sehat.
Tubuh memiliki sistem imun yang bertanggung jawab terhadap serangan asing mikroba atau dari sel yang bertransformasi. Salah satu bentuk pertahanan tersebut dimainkan oleh molekul penting yang disebut antibodi.
Karena itu, penggunaan antibodi monoklonal, suatu obat berbasis biologis yang bisa mengenali antigen kanker secara spesifik, untuk terapi kanker merupakan langkah revolusioner dalam tiga dasawarsa terakhir di dunia. Mulai 2015, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menanggung tiga jenis antibodi monoklonal untuk kanker, seperti termuat dalam Formularium Nasional. Kini jumlahnya ditambah satu jenis lagi dalam daftar obat yang terbaru.
Penggunaan antibodi monoklonal sudah digunakan secara luas di banyak negara. Rituksimab adalah antibodi monoklonal pertama yang disetujui Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat pada November 1997 untuk terapi suatu jenis kanker darah. Masuknya obat ini sempat mengubah pengobatan dalam terapi kanker dan rituksimab menjadi obat terlaris dalam bidang onkologi.
Setelah itu, bermunculan jenis antibodi monoklonal baru dengan target reseptor yang lain yang digunakan untuk pengobatan kanker, penyakit autoimun, dan penolakan cangkok organ.
Penyebab kematian
Kanker merupakan salah satu penyebab kematian utama di dunia, juga di Indonesia. Prevalensi penyakit kanker di Indonesia pada penduduk semua umur pada 2013 sebesar 1,4% atau diperkirakan sekitar 347.792 orang. Prevalensi tertinggi di Provinsi Yogyakarta.
Data Pusat Informasi Kesehatan Kementerian Kesehatan mengestimasi penderita kanker terbanyak di Jawa Tengah dan Jawa Timur, masing-masing 68.638 dan 61.230 orang.
Data estimasi jumlah kasus baru dan jumlah kematian akibat kanker di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta pada 2010-2013 menunjukkan kanker payudara, kanker serviks, dan kanker paru merupakan tiga penyakit terbanyak. Jumlah kasus baru dan jumlah kematian akibat kanker tersebut terus meningkat. Untuk menekan kematian ini, diperlukan terobosan pengobatan yang tepat.
Cara kerja antibodi monoklonal
Antibodi monoklonal adalah antibodi yang spesifik mengenali satu antigen. Antibodi monoklonal diproduksi dengan menggabungkan sel B (suatu sel imun) yang normal dengan sel tumor dan selanjutnya dinamakan sel hibridoma.
Banyak aplikasi dari penggunaan antibodi monoklonal, di antaranya sebagai bahan penting dalam penelitian, diagnosis klinis, dan pengobatan. Untuk tujuan terakhir tersebut dinamakan antibodi monoklonal terapetik.
Antibodi monoklonal merupakan bagian dari imunoterapi, yakni perawatan yang meningkatkan pertahanan alami tubuh untuk melawan kanker. Jenis imunoterapi lain dengan tujuan pengobatan kanker, misalnya vaksin kanker dan terapi gen menggunakan sel T yang telah dimodifikasi pada bagian reseptornya (chimeric antigen receptor T cell, [CAR] T-cell).
Namun terapi gen menggunakan CAR T-cell saat ini belum tersedia di Indonesia, sedangkan terapi menggunakan antibodi monoklonal mulai digunakan secara luas di klinik.
Antibodi monoklonal terapetik memiliki perbedaan dengan pengobatan kanker umumnya. Antibodi ini akan spesifik mengenali antigen tertentu yang hanya terdapat di sel kanker, sehingga hanya membunuh sel kanker. Sementara, obat kemoterapi konvensional dikenal bersifat tidak spesifik karena dapat membunuh baik sel kanker dan juga sel normal.
Antibodi monoklonal bisa diberikan sebagai agen tunggal atau kombinasi dengan kemoterapi dan menunjukkan kemanjuran yang lebih tinggi.
Antibodi monoklonal terapetik digunakan untuk terapi kanker tertentu seperti kanker payudara, kanker kolorektal, kanker kulit, dan keganasan hematologi. Penelusuran dari data Badan Pengawas Obat dan Makanan, setidaknya ada 6 antibodi monoklonal yang telah disetujui digunakan di Indonesia untuk pengobatan kanker yaitu rituksimab, setuksimab, trastuzumab, bevasizumab, pertuzumab, dan denosumab.
Dari daftar obat tersebut, empat obat pertama masuk dalam Formularium Nasional.
Membidik sel kanker
Sel kanker memiliki protein atau reseptor tertentu, yang jumlahnya lebih banyak dibanding sel normal. Protein-protein ini dimanfaatkan sebagai antigen yang akan dibidik secara spesifik oleh situs aktif dari molekul antibodi.
Antibodi memiliki struktur khas seperti ketapel (atau huruf Y) yang pada tiap ujungnya memiliki fungsi penting. Kedua ujung atas disebut Fab atau fragmen yang mengikat antigen. Sedangkan ujung bawah dinamakan Fc yang bisa berikatan dengan reseptornya pada sel tertentu (misalnya sel pembunuh alami atau sel NK-natural killer).
Bagaimana mekanisme aksi antibodi monoklonal membunuh sel kanker? Pertama, ketika Fab mengikat antigen pada sel tumor, dan Fc berikatan pada sel NK, akan membuat sel NK menjadi aktif dan mendorong dilepaskannya “senjata mematikan” bernama perforin dan granzim yang akan membunuh sel kanker secara terprogram. Mekanisme kerja seperti ini disebut sitotoksisitas diperantarai sel tergantung antibodi (antibody-dependent cell-mediated cytotoxicity, ADCC).
Mekanisme kerja antibodi monoklonal yang lain, kedua, adalah mengganggu pengiriman sinyal dalam proses seluler sel kanker. Beberapa jenis sel kanker memerlukan molekul stimulus yang memberi sinyal agar mereka terus membelah dan memperbanyak diri. Antibodi ini menggangu ikatan molekul stimulus dengan reseptornya sehingga pengiriman sinyal dimatikan dan pertumbuhan sel kanker pun terhambat.
Mekanisme ketiga cukup menarik dan saat ini perusahaan farmasi sedang bergairah mengembangkan agen pada area ini yaitu immune checkpoint inhibitor. Sel kanker dan sel imun tubuh bisa berikatan melalui suatu pasangan molekul penghambat dan ikatan ini menyebabkan respon sel imun tubuh terhadap sel kanker menjadi menurun.
Contoh antibodi monoklonal checkpoint inhibitor adalah nivolumab yang mampu menghalangi ikatan molekul penghambat tersebut dan hasilnya menstimulasi respon imun tubuh spesifik antigen sel kanker. Obat ini disetujui oleh FDA untuk pengobatan kanker kulit ganas melanoma pada 2014 dan kanker ginjal pada 2015. Nivolumab juga telah menerima persetujuan FDA untuk indikasi pengobatan kanker paru-paru skuamosa dan kanker paru jenis NSCLC (Non-small-cell lung carcinoma) yang telah menyebar (metastasis).
Contoh-contoh di atas merupakan tiga mekanisme kerja yang diajukan oleh antibodi monoklonal dalam pembunuhan sel kanker. Mekanisme lain juga tersedia dan sedang diteliti, dan tidak menutup kemungkinan adanya keterkaitan antara mekanisme satu dengan lainnya.
Konvensional versus antibodi monoklonal
Obat berbasis antibodi monoklonal berbeda dengan obat konvensional dalam cara produksi, bentuk penyediaan, penyimpanan, dan mekanisme kerjanya. Antibodi monoklonal adalah suatu protein, sehingga diproduksi tidak melalui sintesis kimia melainkan diproduksi dalam sel hidup menggunakan kultur sel.
Karena merupakan suatu protein, antibodi terapetik tidak bisa diberikan lewat mulut, melainkan melalui suntikan atau infus yang langsung masuk ke pembuluh darah. Antibodi juga membutuhkan penyimpanan khusus di ruang dengan suhu 2-8 derajat celcius. Obat ini diberikan oleh tenaga profesional di klinik atau rumah sakit.
Dari segi harga, pengobatan menggunakan antibodi monoklonal secara umum adalah lebih mahal. Sebagai gambaran, obat Herceptin 440 mg yang berisi zat aktif antibodi monoklonal trastuzumab harganya mencapai Rp 10 juta per vial. Sedangkan harga agen kemoterapi konvensional bervariasi tergantung kelas terapinya, misalnya Holoxan 500 mg yang berisi ifosfamid harganya Rp 1,2 juta per vial.
Bagaimana prospeknya?
Hingga Mei 2017, ada 74 molekul berbasis antibodi telah disetujui penggunaannya di berbagai negara. Saat ini, perusahaan farmasi dunia sedang berlomba-lomba mengembangkan antibodi monoklonal untuk berbagai macam penyakit, termasuk kanker. Ada 645 molekul berbasis antibodi sedang menjalani uji klinis.
Dalam bidang onkologi, antibodi dengan mekanisme aksi immune checkpoint inhibitor adalah prestasi signifikan dalam perkembangan antibodi untuk kanker. Lebih dari 80 antibodi dengan mekanisme tersebut sedang menjalani uji klinis. Mungkin tak lama lagi obat-obat tersebut akan masuk ke Indonesia.
Masalah harga masih menjadi tantangan dalam penggunaan antibodi monoklonal ini. Namun, perusahaan lain juga sedang giat membuat produk biosimilar untuk obat-obat yang telah habis masa patennya, dan menawarkan harga lebih rendah. Ada harapan baru untuk untuk terapi kanker berkat riset-riset medis yang terus mencari obat untuk mencegah kematian lebih besar.
Sarmoko, Lecturer at Pharmacy Department, Universitas Jenderal Soedirman
Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.
(vem/kee)