Halo, namaku Bella. Setahun yang lalu, aku baru lulus kuliah dan sekarang sudah bekerja. Pekerjaanku menuntutku untuk tampil cantik setiap waktu. Maklum, posisinya ada di depan alias front office.
Sesuai tuntutan pekerjaan yang harus bertemu banyak customer, aku diharuskan untuk bermake up. Awalnya sih aku ngerasa aneh dan ribet. Boro-boro buat ngedempul muka tiap pagi dengan lapisan-lapisan foundation dan concealer, dulu waktu kuliah aja aku nggak pernah melapisi wajahku dengan bedak. Repot, begitu dulu pembelaanku terhadap kemalasanku.
Tetapi, sekarang keadaan berbalik 180 derajat. Yang dulunya merasa berdandan adalah hal yang menyita waktu dan merepotkan, sekarang justru membuatku kecanduan. Rasanya aku gak bisa begitu saja melewati konter kosmetik tanpa membeli satu barang apapun. Dan hal-hal ini, sejujurnya membuatku tersiksa.
Advertisement
Make up pouch dan laci meja riasku seperti kapal pecah
Karena beauty itemyang kumiliki banyak sekali jumlahnya, aku gak kenal yang namanya 'terburu-buru'. Tiap pagi aku harus menggali tumpukan make up di meja riasku hanya untuk mencari lipstik yang ingin kupakai. Itu sangat memakan waktu dan membuat hidupku jadi gak praktis.
Rajin langganan newsletter beauty e-commerce dan online shop
Aku bisa menenggelamkan diriku berjam-jam berselancar dari satu layar ke layar yang lain untuk mengamati koleksi-koleksi terbaru. Setiap kali melihat lipstik shade terbaru atau iming-iming diskon 15 persen untuk pembelian kedua, rasanya tanganku gatal untuk mengklik 'add to buy'. Padahal, yah, aku sadar timbunan make upku di rumah masih banyak.
Keluar rumah tanpa make up membuatku merasa hampa
Aku gak bisa keluar rumah tanpa eyeliner, maskara dan lipstik sedikitpun. Bagiku keluar rumah tanpa memakai make up tak ubahnya dengan keluar rumah telanjang.
Ketinggalan make up pouch sama paniknya dengan ketinggalan handphone dan dompet
Make up pouchyang berisi 'senjata perang' gak boleh ketinggalan. Kalau sampai ketinggalan, aku bisa panik sepanik-paniknya karena .. duh, siapa sih yang gak risih kalau lipstiknya beleberan setelah makan siang?
Tapi ... sejujurnya semua ini menyiksaku
Awalnya sih aku hanya membeli lipstik-lipstik seharga maksimal Rp. 50 ribu. Tetapi lambat laun, aku mulai tergoda membeli kosmetik yang lebih mahal hingga akhirnya aku tak lagi mempedulikan harga. Entah sudah berapa juta yang kukeluarkan demi hobiku yang satu ini. Terkadang make up-make up high end yang kumiliki ini pun tak sempat kuhabiskan hingga tetes foundation terakhir. Maklum, aku bukanlah make up artistyang punya banyak klien sehingga semua make upnya bisa terpakai maksimal. Akibatnya, make up-make up ku pun teronggok begitu saja hingga lewat batas kadaluwarsa.
Aku bertekad untuk berhenti menjadi beauty junkie
Pada akhirnya, aku merasa lelah dengan obsesiku sendiri. Lelah harus berkejar-kejaran dengan tren lipstik matte terbaru yang seakan tak ada hentinya menderaku setiap saat lewat berbagai newsletter dan akun-akun social mediayang begitu menggoda. Biaya yang kukeluarkan pun tak sebanding dengan apa yang kudapatkan dari hasil belanja make up yang tiada habisnya.
Jika kupikir-kupikir, selama ini aku hanya menuruti nafsu dan obsesiku saja. Padahal jika aku bisa mengatur emosi dan finansialku dengan baik, mungkin aku takkan membuang uangku sia-sia untuk 'jajan' make up yang tak bisa dinikmati selamanya. Mungkin uang yang kuhabiskan untuk melengkapi shade foundation high-end, bisa kugunakan untuk les make up secara professional. Barulah setelah menakar kemampuanku, aku bisa membelanjakan uang untuk make up-make up yang sesuai.
Terjebak pada pemborosan dan obsesi kecantikan rasanya bagai lingkaran setan. Hingga saat ini pun aku masih berusaha supaya gak terjatuh lagi pada lembah diskon-diskon gila yang menggelapkan mataku. Sulit, tapi aku harus bisa menahan diri dan butuh dukungan dari orang-orang di sekitarku untuk mengingatkanku.
Mungkin di antara kamu yang membaca tulisan ini, ada yang merasakan hal yang sama denganku? Bagaimana kamu menyikapinya dan apakah kamu punya saran untukku, Ladies?
(vem/wnd)