Ada banyak cara menurunkan berat badan. Diet tinggi protein salah satunya. Tetapi,meski telah dikenal populer selama lima puluh tahun, banyak yang masih salah menerapkannya.
Oleh Laras Eka Wulandari
Diet protein banyak digemari karena pemilihan menu diet yang lebih nikmat dikonsumsi serta memberi rasa kenyang yang lebih lama. Hasilnya pun menggembirakan. Namun tidak sedikit kontroversi yang mengatakan diet protein bisa mengancam kesehatan. Lalu seperti apa diet tinggi protein yang aman dilakukan?
Advertisement
TURUN HINGGA 10 kg
Selama puluhan tahun diet tinggi protein menjadi favorit mereka yang ingin memiliki tubuh langsing dan ideal, karena diyakini berhasil menurunkan berat badan tanpa menyiksa. Menurut Dr.dr.Saptawati Bardosono MSc, ahli gizi klinis dari FKUI, diet tinggi protein adalah diet yang dilakukan dengan mengonsumsi protein harian minimal 1,5 gram/kg dari berat badan atau 30-40 persen dari total kalori zat gizi makro yang dianjurkan. “Bila seseorang membutuhkan konsumsi sekitar 1.800 kalori per hari, maka konsumsi protein saat menjalani diet ini idealnya sekitar 45 hingga 218 gram per hari,” ujar Saptawati.
Penelitian Rowett Institute of Nutrition and Health, Aberdeen University, Skotlandia, menemukan, mereka yang melakukan diet tinggi protein selama 8-12 minggu berhasil menurunkan berat badan sebanyak 6,5 kg hingga 10 kg. Lingkar pinggang menyusut 6 hingga 9,4 cm. Kadar lemak pun menurun dari 36,8 persen menjadi 34 persen. Hasil diet tinggi protein akan lebih baik jika dibarengi dengan diet tinggi serat dan aktivitas fisik secara rutin.
Metode penurunan berat badan dengan mengonsumsi protein tinggi dimulai oleh Dr. Robert Atkins, seorang kardiolog AS yang mencetuskan sebuah program diet sehat fenomenal di tahun 1960-an, yang diberi nama Diet Atkins. Pola diet ini sangat sederhana, yaitu mengurangi konsumsi karbohidrat dan memperbanyak konsumsi protein khususnya hewani. Dengan demikian, tubuh akan dipaksa membakar lemak yang tersimpan untuk mengubahnya menjadi energi sehingga secara otomatis berat badan akan menurun dengan cepat. Kadar gula dalam darah juga akan stabil sepanjang hari sehingga memberikan rasa kenyang yang lama.
BERBAGAI KONTROVERSI
Menurut Atkins, menurunkan berat badan dalam waktu singkat tidak perlu menyiksa diri. Tapi karena makanan yang dikonsumsi sarat akan lemak, maka harus diimbangi dengan membatasi makanan yang mengandung karbohidrat, seperti roti, pasta, kentang dan nasi.
Ada juga Diet Dukan yang dipopulerkan oleh Dr. Pierre Dukan, ahli gizi dari Prancis pada tahun 2000-an. Banyak yang mengatakan Diet Dukan merupakan pelengkap dari Diet Atkins, karena pola kedua diet protein ini sama yaitu mengonsumsi protein hewani. Bedanya, Diet Atkins mengizinkan Anda mengonsumsi sumber protein hewani berlemak tinggi, tapi sangat minim mengonsumsi makanan lainnya dan bahkan menghindarinya.
Sedangkan Diet Dukan lebih ditekankan mengonsumsi protein hewani rendah lemak diiringi sayuran dan buah-buahan. Pola kerja Diet Dukan; di dalam saluran cerna, protein akan merangsang peningkatan hormon anoreksigenik (membuat nafsu makan berkurang) dan menurunkan hormon reksigenik (meningkatkan nafsu makan) sehingga jauh dari rasa lapar. Efeknya, berat badan cepat menyusut.
Rumor yang beredar mengatakan perubahan metabolisme yang sangat drastis akibat konsumsi tinggi protein tapi minim konsumsi karbohidrat, dan serat, bisa mengganggu kerja dan fungsi organ tubuh lainnya. Konsumsi protein yang tinggi dapat meningkatkan sisa metabolisme protein dan membebani kerja ginjal, sehingga terjadi batu ginjal.
Kurangnya konsumsi serat membuat usus menimbun banyak lemak, tulang juga kehilangan kalsium dan terjadi dehidrasi akibat kadar protein yang terlalu tinggi pada tubuh. Rumor itu benar. “Memang yang melakukan diet ini memang memiliki tubuh yang indah, tapi kebanyakan dari mereka juga harus melakukan cuci darah karena ginjal yang rusak,” ujar Saptawati.
BUKAN UNTUK SEMUA USIA
Tubuh langsing ideal tidaklah cukup. Tubuh yang sehat jauh lebih penting. Agar tidak menimbulkan efek yang tidak diinginkan, diet tinggi protein harus dilakukan dengan tepat. Diet tinggi protein memang tidak bisa diterapkan untuk semua orang dan semua usia. Hanya mereka yang berusia dewasa dengan kondisi sehat dan memiliki fungsi ginjal normal yang dapat melakukan diet ini. Untuk mencapai hasil optimal, Saptawati mengingatkan beberapa langkah yang harus dilakukan.
Pertama, diet tinggi protein tidak bisa dilakukan sembarangan. Jangan pernah asal mengikuti menu harian diet protein orang lain seperti selebritas idola, karena kondisi tubuh setiap orang belum tentu sama.
Kedua, berkonsultasilah dengan ahli gizi klinis dan lakukan general check up untuk mengetahui kondisi tubuh sebenarnya. Dengan mengetahui kondisi pasien, baru akan diketahui menu makanan apa saja yang boleh dimakan dan yang tidak. “Misalnya si A sangat baik jika lebih banyak mengonsumsi daging putih, tapi si B belum tentu. Bisa jadi ia lebih bagus jika mengonsumsi daging merah rendah lemak dibandingkan dengan daging putih,” kata Saptawati.
Selama melakukan diet tinggi protein kondisi tubuh harus selalu dipantau kesehatannya. Ketiga, ketahuilah bahwa diet tinggi protein bukanlah mengganti karbohidrat dengan protein. Melainkan meningkatkan konsumsi protein dari porsi normal (10-20 persen) menjadi 30-40 persen. Jika dilakukan dengan benar, diet protein ini justru akan memberikan efek positif terhadap tubuh, seperti normalnya kadar gula dalam darah, hormon insulin, lemak darah, vitamin B12 dan status zat besi.
Tubuh bukan hanya memerlukan protein tapi juga nutrisi lain, seperti tulang yang membutuhkan kalsium dan usus yang memerlukan serat. Maka diet protein yang benar adalah dengan masukan gizi lengkap dan seimbang dengan jumlah proporsi yang tepat antara karbohidrat (50 persen), lemak (20 persen) dan protein (30 hingga 40 persen).
Masukan protein dalam diet ini sebenarnya bisa juga diperoleh dari bahan makanan sumber protein nabati. Tapi memang sumber protein hewani lebih dianjurkan karena mengandung proporsi yang memadai dari sembilan asam amino penting yang diperlukan walaupun mengandung lemak jenuh yang tinggi. Beberapa sumber protein nabati memang dapat mengandung semua asam amino esensial, tapi kandungan protein lengkap dalam protein nabati tidak seimbang untuk mendukung fungsi biologis dalam tubuh manusia. Kandungan vitamin B12 dan zat besi protein nabati lebih sedikit dibandingkan dengan protein hewani. “Karena itu hasil diet protein dengan sumber nabati kurang maksimal dibandingkan yang berasal dari protein hewani,” kata Saptawati.
Source : Good HouseKeeping Edisi Februari 2013 Halaman 66
(vem/GH/dyn)