Kekuatan wanita, dukungan pria di baliknya menjadi harmoni dalam sehelai kain cantik.
Ada banyak nilai yang terkandung dalam sehelai kain batik, “Batik tak sekedar kain, tetapi mempunyai filosofi dan ada di segala sisi kehidupan masyarakat Indonesia,” ungkap Fashion designer Edward Hutabarat. Dalam 'Perjalanan Cintaku Pada Batik Takkan Pernah Pudar', awal Juni lalu di Solo, Jawa Tengah. Edward mengajak mengenal lebih dekat batik Solo. Perjalanan ini diprakarsai PT KAO, yang mengeluarkan Attack Batik Cleaner.
Sejarah batik diabadikan oleh Museum Danar Hadi, Solo. Bisa dilihat bahwa pada zaman Belanda, motif-motif batik dipengaruhi nuansa Eropa. Motif-motifnya beragam, seperti bunga atau burung, bunga-bunga, termasuk yang menggambarkan dongeng kanak-kanak seperti Hansel and Gretel dan Si tudung merah.
Advertisement
Dalam perjalanan mengunjungi para pembatik, harus diakui bahwa helai kain batik mewakili kekuatan seorang wanita. Bayangkan, bagaimana rasanya duduk tanpa sandaran berbulan-bulan dan merasakan panasnya malam untuk membuat sehelai kain batik? Masihkah mereka tidak perlu diapresiasi sebagai 'pahlawan' budaya?
Antara Wanita dan Pria
Ada yang menarik di industri batik Solo. Di dua tempat yang terkenal menjadi sentra batik: Kauman dan Laweyan, terlihat bahwa industri ini wujud pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Pembatik wanita duduk menorehkan cantung dengan penuh kesabaran. “Sementara wanita sibuk melukis batik, para pria sibuk dengan proses lainnya, seperti membuat malam, mencelupkan kain, melorotkan malam dengan cara diberi air dan menginjak-injak agar malamnya hilang, dan memilin untuk memberi efek pecah-pecah dan menjemur,” ujar Saud Effendi seorang Seniman Batik asal Kampung Batik Laweyan. Industri ini juga kental dengan kekeluargaannya. Umumnya usaha batik di Solo merupakan usaha turun temurun. Seorang pengusaha dari daerah Kauman, Gunawan Setiawan, mengaku mewarisi usahanya dari orangtua. “Usaha batik ini sudah dimulai oleh leluhur saya. Kami tinggal menata,” tuturnya. “Bapak saya pecinta batik. Dia bisa bekerja sampai pukul 02.00 bahkan 03.00 membuat motif-motif batik. Bangun kembali pukul 08.00 dan berkreasi kembali. Ibu saya bertugas mengatur para pembatik, yang setiap pagi datang ke rumah. Saking banyaknya, mereka harus antri sampai gapura Kauman di sisi jalan,” tambahnya mengenang. Gunawan bercerita, para pembatik dan akan pulang membawa kain-kain yang siap dimalam, juga beras, durian dan sebagainya. “Sebuah hubungan persahabatan yang hangat,” kenang Gunawan siang itu.
Lebih Modern
“Kita harus memelihara akar budaya ini,” kata Edward. “Konsep dan teknologi boleh dari Barat, tapi wajah harus tetap Timur, dan presentasi haris internasional. Padupadankan sebagai suatu kebanggaan,” tambahnya. Untuk itu, ia menantang Gunawan membuat batik Sekar Jagad dan Saudagaran di atas kain chiffon.
Batik Solo di kenal berwarna cokelat gelap. Namun semangat baru bukan lalu tak ada. Oemilij kain heritage di Solo, Siti Sundari, melakukannya. Perempuan yang sering diminta memelihara batik-batik Keraton tersebut memproduksi batik menggunakan warna-warna cerah seperti turquoise, merah muda, atau cokelat muda. Beberapa batik yang dibuat Siti digunakan oleh Edward Hutabarat untuk koleksi Spring/Summernya tahun ini,
Yang juga semakin modern adalah teknik merawat batik. Bahan-bahan malam batik adalah favorit ngengat dan rayap. Karena itu, batik harus dicuci. Berita baiknya, kini tak perlu payah-payah menggunakan lerak, karena ada pembersih khusus yang dijamin tidak akan merusak kain. “Perhatikan juga cara menyimpannya,” kata Edward. “Jangan dilipat kecil karena kain bisa patah. Cukup lipat menjadi empat bagian lebar. Hindari kapur barus, gunakan biji lada putih untuk mengusir ngengat.”
Source: GoodHouseKeeping Edisi September 2011, Halaman 88
(vem/tik)