Advertisement
Next
Kanker payudara? Itu rasanya hanya sesuatu yang saya temukan di artikel majalah atau tonton dari film. Apalagi, saya tidak punya riwayat penyakit kanker di keluarga saya. Tapi, itu sebelum saya menemukan benjolan di payudara kiri saya ketika leyeh-leyeh di kamar tidur pada akhir 2009. Awalnya saya berpikir benjolan itu adalah hal yang normal menjelang menstruasi. Toh, saya masih mudah, 37 tahun saat itu, dan tidak ada masalah dengan penyakit berat. Tapi ternyata, benjolan itu tidak kunjung hilang juga saat menstruasi saya selesai. Mulailah di situ saya merasa curiga dan khawatir. Saya pun mengambil keputusan untuk pergi menemui dokter dan bertanya tentang benjolan saya. Dokter tersebut mengatakan bahwa itu hanyalah tumor dan bisa disembuhkan dengan obat-obatan, sambil menyarankan saya untuk mulai lebih cermat mengatur pola makan dan menghindari stress. Saat itu saya berpikir, bagaimana mungkin saya menghindari stress kalau pekerjaan saya di bidang advertising agency begitu ketat dengan deadline?
Tiga bulan berjalan, saya rutin mengonsumsi obat-obatan dan multivitamin dari dokter yang katanya untuk mengecilkan benjolan. Tapi ternyata, bukannya malah menyusut, benjolan saya makin membesar dan berlipat ganda menjadi dua buah! Di situlah saya mulai panik, dan kembali menemui dokter. Hasil pemeriksaan membuktikan bahwa kepanikan saya benar, benjolan itu adalah kanker payudara dan bersifat ganas. Rasanya tanah yang saya pijak runtuh dan menenggelamkan saya dalam beribu-ribu pertanyaan kenapa, bagaimana, sejak kapan, saya bisa mendapatkan penyakit berat seperti ini. Saya yang seorang control freak dan perfeksionis, ternyata nggak bisa mengatur jalan hidup saya sendiri agar berjalan sempurna. Saya bertanya pada Tuhan kenapa harus saya yang menjalani ini, padahal gaya hidup saya tidak seburuk orang lain yang lebih kacau lagi.
Advertisement
Next
Untunglah, saya didampingi oleh keluarga yang sangat suportif dan positif. Bukannya larut dalam kesedihan, mereka malah dengan sigap mencari opini kedua. Maka, berangkatlah saya ke National University Hospital di Singapura untuk menjalani pemeriksaan ulang. Hasilnya, saya memang positif mengidap kanker payudara. Saya menjalani biopsi untuk mengetahui sudah sejauh mana kanker itu dan ternyata saya telah berada di awal stadium ketiga. Untuk ukuran penyakit kanker, saya sudah sampai di lampu kuning dimana sel kanker akan dengan cepat menyebar. Maka, ketika saya diputuskan pada bulan Februari 2010 untuk menjalani mastektomi atau pengangkatan seluruh payudara kiri, saya mantap dan nggak ragu-ragu. Payudara kiri saya direkonstruksi dengan mengambil lemak perut sehingga saya tetap memiliki sepasang payudara seperti sedia kala. Salah satu faktor yang memudahkan saya untuk menerima keputusan itu adalah karena dokter di rumah tersebut lebih membuat saya tenang. Dia mampu memberikan penjelasan tentang proses dan tahap kelanjutannya dengan sangat jelas. Sesuatu yang jelas membuat saya lebih tenang.
Setelah operasi, saya lalu menjalani kemoterapi. Selama enam bulan, saya menjalani delapan kali kemoterapi untuk lebih membersihkan sel kanker dari tubuh saya. Di sinilah saya dihadapkan dengan perubahan besar selanjutnya dalam hidup saya, yaitu banyak menganggur dan tidak punya pekerjaan untuk menyibukkan diri. Sebelum terkena kanker, saya adalah orang yang sangat workaholic dan nggak keberatan untuk bekerja sangat keras. Tapi demi penyembuhan, saya harus meninggalkan sementara jabatan saya sebagai Group Account Director yang sibuk dan menjadi perempuan rumahan. Banyaknya waktu luang yang saya tak tahu harus diisi dengan kegiatan apa, malah membuat saya stress, padahal itu harus dihindari.
Itulah sebabnya saya mencari cara sendiri untuk sibuk, seperti sesekali datang ke kantor untuk bertemu teman-teman kantor dan membuat akun Twitter, yang pada akhirnya mempertemukan saya dengan Dinda Nawang Wulan, salah seorang breast cancer survivor yang membuat komunitas khusus untuk survivor kanker payudara. Masa kemoterapi yang katanya sangat menyiksa juga nggak saya rasakan. Saya tetap memiliki nafsu makan walaupun memang mual, masih suka jalan-jalan dan ketemu teman-teman, serta tetap berdandan seperti biasanya saya. Memang seluruh rambut di tubuh saya merontok, bahkan membuat saya tak memiliki alis, tapi saya nggak mempermasalahkan itu terlalu berlarut-larut karena nggak ingin membuat tubuh saya semakin sakit karena stress. Malah, saya merasa kulit wajah saya semakin bagus saat masa kemoterapi karena nggak lagi berminyak.
Advertisement
Next
Puji Tuhan,kemoterapi bisa saya selesaikan dengan baik. Sempat saya bingung harus seperti apa menjalani hidup saya yang “baru” ini agar nggak salah langkah lagi, tapi untungnya saya mendapatkan dokter yang sangat moderat. Ketimbang saya dilarang untuk makan junk food yang memang nggak baik untuk kesehatan, saya justru diperbolehkan makan itu ketika ingin, hanya saja dikurangi porsi dan frekuensinya. Dengan cara tidak dilarang itu, saya malah terpacu sendiri untuk hidup sehat. Saya selalu sarapan buah potong yang banyak dan juice, sementara makan siang dan malamnya juga tepat waktu dengan pola menu yang seimbang. Masalah pekerjaan yang sebelumnya saya biarkan menggerogoti pikiran, kini sekarang saya bawa santai saja. Itu hanya urusan pekerjaan kok, jangan terlalu diambil pusing. Datangnya kanker payudara juga membuat saya lebih peduli dengan teman-teman sekitar saya yang masih sering makan atau punya kebiasaan kurang sehat. Saya tahu bagaimana sakitnya kanker ini, jadi sebaiknya teman-teman saya jangan merasakan.
Yang berubah dari diri saya setelah peristiwa itu adalah cara saya memandang masalah. Kalau dulu, saya kerap menganggap nggak mampu melewati masalah yang berat. Tapi ketika saya bisa menjalani kanker payudara ini dengan segala rentetan kejadiannya, saya jadi semakin yakin dengan kemampuan saya sendiri untuk melewati apapun masalah. Menjadi orang yang semakin bersyukur juga pasti, karena saya masih diberikan waktu untuk menyembuhkan diri sebelum terlambat. Kelanjutan dari penyakit ini adalah saya disarankan untuk nggak menstruasi lagi, karena kanker payudara ini disebabkan oleh hormon estrogen saya yang terlalu dominan, sehingga setiap tiga bulan disuntik hormon.
Efeknya saya mengalami menopause lebih awal. Saya juga wajib melakukan check up setiap 3 bulan di rumah sakit lokal dan setahun sekali check up di Singapura, termasuk melakukan mammogram untuk payudara kanan saya. Semua itu nggak jadi masalah besar untuk saya. Walaupun payudara kiri saya hasil rekonstruksi dan di usia 40 tahun saya sudah menopause, saya masih bisa berkarya dengan baik.
Kini, sudah berjalan kurang lebih dua tahun dari selesainya mastektomi dan kemoterapi. Saya masih sehat hingga hari ini, bisa kembali sibuk bekerja, dan berpenampilan layaknya perempuan pada umumnya. Bila kamu bertemu saya, mungkin kamu nggak akan menyangka kalau saya adalah breast cancer survivor. Saya tetaplah Jeanne yang riang, sibuk, dan senang tertawa. Saya telah mengalahkan kanker payudara dengan senyuman, berarti sayalah pemenangnya.