Di suatu sore, saya menghadiri sebuah undangan pembukaan sebuah klinik kecantikan dari Prancis. Acara high tea itu cukup sukses diadakan, karena hampir semua daftar tamu memenuhi undangan dan antusias untuk menyambut kedatangan klinik tersebut. Tidak lama sebelumnya, ada pula undangan pembukaan sebuah salon kecantikan yang mengonsepkan one stop salon dimana perawatan rambut, kulit, dan tubuh bisa didapatkan di satu tempat. Persamaan dari fasilitas kecantikan tersebut adalah mematok harga mahal, namun menjanjikan hasil yang bagus. Terbit satu pertanyaan: bila klinik semacam itu masih terus bermunculan, maka pasarnya memang ada karena diminati banyak orang. Bila peminatnya memang banyak, kesimpulan mudahnya adalah perempuan memang membutuhkan pelayanan jasa kecantikan semacam itu. Tidak masalah mahal atau murah.
Agar bukan sekadar kesimpulan, saya bertanya pada beberapa teman cantik saya. Sukma, 35 tahun, adalah pengusaha alat-alat kesehatan yang punya passion besar terhadap kecantikan. Saya tanya berapa nominal yang ia keluarkan untuk kecantikan, dan ia menyebutkan pengeluarannya di sekitar 10 juta Rupiah sebulan. Itu sudah termasuk pembelian kosmetik, perawatan tubuh serta kulit secara regular per bulannya, serta dana keanggotaan untuk olahraga favoritnya, Pilates.
Advertisement
Inka, 25 tahun, account manager, juga punya dana tetap untuk perawatan kecantikan, yang terdiri dari perawatan kulit ke klinik dokter spesialis kulit dengan perawatan laser, diikuti dengan menggunakan krim perawatan kulit dari dokter, serta menjadi anggota sebuah gym. Belum lagi, ia adalah tipikal perempuan yang sangat menjaga makan, sehingga sudah beberapa bulan ini berlangganan jasa catering khusus yang menghitung jumlah makanan hariannya sesuai kalori yang ditetapkan olehnya. Bila ditotal, sekitar dua juta Rupiah ia sisihkan dengan senang hati untuk perihal kecantikan. Semua kebutuhan tersebut baginya adalah sebuah kesatuan karena bila satu unsur saja tidak dipenuhi, maka hasil yang didapat tidak maksimal. Dengan kalimat lain, ia kurang merasa cantik.
Jadi, apakah benar perasaan cantik itu harus “ditebus” dengan harga mahal?
“Saya memang mengeluarkan uang yang relatif besar untuk kecantikan, tapi semua itu adalah untuk diri saya sendiri. I feel good about myself when I’m beautiful, dan bila memang saya mampu untuk menjangkau perawatan kecantikan yang berkualitas bagus tapi mahal, itu tidak masalah. Saya bekerja keras, jadi saya juga berhak menghabiskan uang penghasilan saya,” ujar Sukma.
“Semua krim kecantikan atau perawatan yang berharga mahal itu menurut saya hanya menjadi fasilitator untuk merasa cantik. Memang ada sugesti kalau hal tersebut membuat cantik karena berkualitas tinggi dan menjanjikan hasil yang lebih baik, tapi kepercayaan diri itu harus datang dari pikiran kita sendiri. Uang bisa membeli kosmetik mahal atau membayar jasa personal trainer, tapi berpikir kalau kita memang cantik, datang dari otak dan tidak bisa dibeli,” kata Pauline, 30 tahun, beauty therapist.
Bisa dibilang, inilah asyiknya menjadi perempuan masa kini. Kita boleh berkarier setinggi apapun, sah-sah saja mengeluarkan uang seberapa pun besarnya untuk masalah kecantikan, dan berbonus pujian menyenangkan dari orang-orang sekitar, sementara kita pun sebenarnya sudah merasa puas dengan tubuh kita sendiri. Mahal atau tidaknya, kembali lagi ke diri kita menilai itu. Bila rutin datang ke salon dan dana yang diperlukan hanya kurang dari Rp. 500.000t api sudah membuatmu merasa cantik, tandanya bukan harga mahal yang menjamin kecantikan, tapi perlakuan kita sendiri terhadap tubuh ini yang menetukan mahal atau tidaknya kecantikan tersebut. So, please feel free to do anything makes you beautiful, Ladies!