Advertisement
Next
Handasari (29 tahun, karyawan swasta) mengakui bahwa ajakan bertemu dengan teman lamanya adalah sebuah judgement day. Bukannya ia tidak suka bertemu muka dan menjalin hubungan baik dengan teman lama, tapi ia tahu benar kalau itu bukan sebuah pertemuan casual biasa.
“Biasanya saya jadi lebih lama berdandan dan lebih teliti memilih baju bila akan datang ke pertemuan dengan teman-teman. Saya harus datang ke acara itu dengan riasan yang tepat dan pakaian yang benar. Zero mistake pokoknya, kalau bisa malah tampil sempurna. Saya nggak mau mendengar celetukan kenapa saya lebih gemuk padahal itu hanya karena model baju yang salah, atau dinilai tidak lebih segar padahal sebenarnya wajah saya saja yang kurang dipoles,” akunya.
Advertisement
Senada dengannya, Aleta (27 tahun, jurnalis) bahkan mengatakan bahwa teman-teman di lingkungan kerjanya setiap hari, adalah tipikal perempuan yang teliti dan sangat ceriwis dengan penampilan orang lain.
“Pernah suatu hari saya mengenakan baju berpotongan longgar. Baru juga jam 11 pagi, saya sudah mendengar tiga komentar dari tiga orang berbeda yang hampir sama, yaitu pilihan pakaian saya aneh, tampak lebih gemuk, dan terlihat lusuh. Rasanya ingin langsung lari ke mall untuk membeli baru karena kuping panas mendapatkan komentar nyelekit. Sedikit merasa itu sebuah beban, karena setiap hari seperti merasa diawasi,” kisahnya.
Next
Jujur saja, dikomentari pedas seperti itu memang tidak menyenangkan. Untuk sebagian orang mungkin bisa menanganinya dengan tenang dan tahu cara berkelit, tapi nggak sedikit juga yang mendadak rendah diri, lalu murung dan menjauhkan diri. Jadi, negatifkah kehadiran rekan perempuan seperti itu? Yang dengan sukarela menilai penampilan sesamanya, lalu mengucapkan pendapatnya yang malah membuat orang lain merasa tidak nyaman? Bisa jadi iya bila melihat hal tersebut dari sisi negatif, tapi akan berbeda jadinya bila meniliknya dari sudut pandang positif.
Seperti yang dialami oleh Amelia Masniari, 39 tahun, penulis serial buku Miss Jinjing. Ia yang lahir dan besar di Ibukota, terbiasa dikelilingi oleh teman-teman yang modis dan pintar merawat diri sehingga membiasakannya untuk selalu tampil menarik. Namun, pada saat menikah dan mengikuti mantan suaminya berdinas di Jambi, ia menjadi tersesat dan lepas kontrol.
“Saat saya berada di Jambi, tidak ada satu pun orang yang peduli dengan penampilan. Mau membiarkan tubuh seperti apapun setelah melahirkan, atau memilih baju yang asal-asalan untuk pergi ke mall, nggak ada yang peduli dan mengingatkan. Hasilnya, saya terlalu merasa aman hingga lepas kendali. Insting saya untuk merasa cantik dan tampil menarik tidak terasah lagi. Bobot tubuh saya melonjak banyak pun tidak saya sadari. Sampai akhirnya saya kembali ke Jakarta, berada di tengah teman-teman saya lagi, dan mendapatkan berbagai komentar tentang penampilan saya. Terkadang, hidup diperhatikan dan dikomentari oleh orang lain itu memang perlu kok sebagai reminder,” ujarnya.
Dari komentar orang lain itu, perlahan-lahan membuka pikiran Amelia untuk berbuat sesuatu pada penampilannya. Ia berkomitmen pada sebuah program penurunan berat badan dan berhasil menurunkan bobot tubuh yang terlihat kentara pada penampilannya sekarang.
“Sebenarnya keuntungan dikomentari itu mutlak untuk kita sendiri. Di kasus saya, dulu saya sering dilecehkan sebagai perempuan gemuk, kini sangat berbahagia karena telah berhasil menurunkan berat badan dan memiliki ukuran tubuh yang baru. Saya tidak lagi menggunakan pakaian bernomor 14, tapi 8!” lanjutnya semangat.
Berkaca dari pengalaman Miss Jinjing, silakan ditelaah lagi, apakah benar komentar-komentar pedas itu bermaksud menjatuhkan? Atau, justru kita sebenarnya yang seharusnya “mengatur ulang” pendengaran kita, agar komentar itu terdengar seperti warm reminder di telinga kita? You choose, Ladies!