7 Tanda Brain Rot karena Media Sosial Berlebihan dan Dampaknya pada Kesehatan Mental

Endah Wijayanti diperbarui 27 Des 2024, 14:15 WIB

Fimela.com, Jakarta Sahabat Fimela, bayangkan diri kita tengah duduk di ruang yang sepi, dikelilingi oleh dunia maya yang hidup dan berdenyut setiap detiknya. Suara notifikasi, scroll yang tak ada habisnya, dan berbagai informasi yang datang silih berganti. Di balik layar ponsel atau komputer, kita merasa seperti sudah terhubung dengan ribuan orang. Tapi, tahukah kamu kalau kenyataannya, dunia media sosial bisa jadi seperti jebakan halus yang merusak pikiran kita tanpa kita sadari?

Tidak ada yang menentang kenyataan bahwa media sosial membawa manfaat besar, seperti mempertemukan kita dengan teman lama atau memberi wawasan baru. Namun, seperti segala sesuatu yang berlebihan, dampaknya bisa merusak. Salah satunya adalah ‘brain rot’—sebuah kondisi di mana otak kita mulai ‘terkorosi’ oleh kebiasaan mengakses media sosial yang tak terkendali. Penasaran apa saja tandanya dan bagaimana dampaknya terhadap kesehatan mental kita? Yuk, simak lebih lanjut informasi yang dirangkum dari berbagai pembahasan berikut ini.

 

 

 

2 dari 8 halaman

1. Fokus Seperti Ada di Dunia Lain

Cara bersikap./Copyright freepik.com/author/diana-grytsku

Sahabat Fimela, kita mungkin merasa mampu multitasking dengan media sosial, tetapi kenyataannya, otak kita sebenarnya tidak dirancang untuk itu. Ketika kamu terus-menerus berpindah-pindah antara aplikasi atau scroll tanpa henti, otakmu mulai kelelahan. Ini bukan sekadar soal kurangnya fokus, melainkan kemampuan otak untuk tetap terjaga dalam satu fokus yang tajam.

Jika media sosial menjadi pengalih utama perhatianmu, lambat laun kamu akan merasa lebih mudah kehilangan konsentrasi, bahkan untuk hal-hal yang seharusnya penting. Mulai dari tugas kantor yang menumpuk hingga percakapan dengan orang terdekat yang tiba-tiba terasa membosankan. Dalam dunia media sosial yang cepat berubah, kita menjadi terbiasa untuk berpindah dengan cepat dari satu topik ke topik lainnya, yang lama kelamaan menyebabkan kemampuan otak untuk fokus tergerus begitu saja.

Dampaknya sangat nyata dalam kehidupan sehari-hari, lho, Sahabat Fimela. Jika kamu merasa terjebak dalam siklus tanpa henti antara aplikasi, maka cobalah untuk memeriksa kembali apakah kamu benar-benar bisa berkonsentrasi pada satu hal untuk waktu yang lebih lama. Apakah kamu mudah merasa teralihkan bahkan dalam percakapan? Jika iya, inilah tanda pertama bahwa brain rot sudah mulai menggerogoti kemampuan fokusmu.

Selain itu, kita juga menjadi mudah merasa cemas dan terburu-buru. Pikiran kita tidak lagi bisa menikmati momen karena selalu ingin bergerak cepat, mengejar pembaruan berikutnya. Akibatnya, kita kehilangan kedalaman dalam berbagai hal, mulai dari pekerjaan hingga hubungan sosial yang kita jalani.

 

 

3 dari 8 halaman

2. Keasyikan Penuh dengan Gambar dan Video, tapi Kehilangan Diri

Chatting./Copyright Image by lookstudio on Freepik

Sahabat Fimela, kita hidup di dunia visual, di mana segala sesuatu bisa dilihat dalam hitungan detik. Media sosial memanjakan kita dengan gambar-gambar indah, video viral, dan cerita kehidupan orang lain yang terlihat sempurna. Tak jarang, kita tenggelam dalam dunia yang menyuguhkan citra-citra indah ini. Namun, apakah kamu pernah merasa seperti ada yang hilang setelah berjam-jam mengamati dunia tersebut? Perasaan kebingungan, kekosongan, atau bahkan cemas menyelinap begitu saja. Inilah salah satu dampak paling menarik dari brain rot—kita jadi lebih banyak berfokus pada citra luar tanpa menyadari perasaan atau kebutuhan diri kita yang sebenarnya.

Saat kita terlalu sering membandingkan diri dengan orang lain di media sosial, perasaan tidak cukup baik atau tidak pantas mulai menghantui kita. Bahkan, kita bisa kehilangan identitas diri yang sejati. Bukannya merasa bahagia melihat kesuksesan orang lain, kita malah merasa tertekan dan cemas, seolah-olah hidup kita tidak seindah yang terlihat di layar ponsel. Itu adalah tanda otak kita sedang terjerat dalam dunia yang hanya menunjukkan versi permukaan dari kehidupan, bukan kenyataan sesungguhnya.

Tak hanya itu, Sahabat Fimela, kita mulai kehilangan kemampuan untuk menikmati momen yang ada di sekitar kita. Alih-alih menghargai kebersamaan dengan orang tercinta, kita malah sibuk memikirkan bagaimana gambar itu akan terlihat di Instagram. Keasyikan dengan dunia visual ini mengurangi kualitas hubungan kita dan bahkan, semakin memperburuk kesehatan mental kita.

 

4 dari 8 halaman

3. Meningkatnya Rasa Cemas dan Perasaan Tidak Pernah Cukup

Ilustrasi./Copyright Fimela - Abel

 

Di dunia media sosial, kita cenderung merasa bahwa kita harus selalu ada, selalu up-to-date, dan selalu berbagi sesuatu yang menarik. Akibatnya, kita mulai terperangkap dalam siklus perasaan cemas yang tak pernah berhenti. Setiap like, komentar, atau pesan yang belum dibalas bisa menyebabkan peningkatan rasa cemas yang cukup signifikan. Inilah salah satu gejala brain rot yang lebih mengganggu: kita tidak pernah merasa cukup. Tidak cukup baik, tidak cukup keren, atau tidak cukup punya sesuatu untuk dibagikan.

Sahabat Fimela, semakin lama kita terjebak dalam perbandingan tanpa henti, semakin kita merasa bahwa kita harus tampil lebih baik, lebih menarik, dan lebih sempurna. Padahal, kenyataannya, tidak ada standar yang benar-benar bisa memuaskan kita, karena dunia media sosial hanya memberi gambaran semu tentang kesempurnaan. Ini bukan hanya soal penampilan fisik, tetapi juga gaya hidup, hubungan, hingga pencapaian karier yang tampaknya selalu lebih cemerlang dari milik kita.

Puncaknya, kita merasa tertekan oleh keinginan untuk terus berbagi dan terlihat ‘sempurna.’ Dampak jangka panjangnya? Meningkatnya rasa cemas, perasaan tidak pernah cukup, dan stres yang tak terlihat. Padahal, kita sudah cukup. Mungkin ini saatnya untuk berhenti sejenak, merenung, dan menyadari bahwa kesehatan mental kita lebih berharga daripada sekadar angka like di layar ponsel.

 

 

5 dari 8 halaman

4. Penggunaan yang Menjadi Rutinitas tanpa Tujuan

Menyikapi keadaan./Copyright freepik.com/author/freepik

Apa jadinya jika kita membuka ponsel hanya untuk melihat seberapa banyak pemberitahuan yang masuk? Tanpa tujuan yang jelas, kita mulai membuka aplikasi hanya untuk merasa terhubung dengan dunia. Itulah gejala keempat dari brain rot. Ketika media sosial menjadi rutinitas tanpa makna, kita hanya melakukannya sebagai kebiasaan, bukan untuk tujuan yang jelas atau produktif. Hal ini bisa merusak kualitas hidup kita. Sahabat Fimela, seringkali kita tidak menyadari bahwa kita hanya membuang waktu dengan scrolling tanpa arah. Kita merasa sibuk, namun sesungguhnya tidak ada pencapaian yang berarti.

Cobalah perhatikan dengan jujur, seberapa banyak waktu yang kamu habiskan hanya untuk membuka aplikasi tanpa alasan yang jelas. Tentu, ada saatnya kita ingin bersenang-senang atau mencari hiburan, tapi jika itu terus-menerus terjadi tanpa tujuan yang jelas, kita mulai kehilangan kontrol. Rutinitas tanpa tujuan ini mengurangi potensi kita untuk fokus pada hal-hal yang lebih penting dan berarti.

Ini bukan hanya masalah kebiasaan buruk, tapi juga soal kesehatan mental kita. Waktu yang kita habiskan tanpa tujuan di media sosial dapat memperburuk perasaan hampa dan kesepian. Mungkin kamu merasa terhubung, tapi pada kenyataannya, hubungan yang kita bangun di dunia maya sering kali dangkal dan tidak memuaskan.

 

 

6 dari 8 halaman

5. Emosi yang Tak Terkontrol

Menyikapi situasi dengan lebih tenang./Copyright Fimela - Abel

Sahabat Fimela, jika kamu merasa emosi semakin mudah tersulut setelah terlalu sering berada di dunia media sosial, inilah saatnya untuk berhati-hati. Brain rot juga datang dengan dampak yang nyata pada kesehatan emosional kita. Media sosial bisa membuat kita merasa cemas, marah, atau bahkan frustrasi. Ketika kita melihat berbagai argumen atau komentar yang tidak menyenangkan, kita merasa terbawa suasana dan langsung merespons dengan emosi yang berlebihan. Perasaan-perasaan ini tidak hanya mengganggu, tetapi juga berbahaya bagi kesejahteraan kita dalam jangka panjang.

Perubahan emosi yang cepat dan tak terkendali ini bisa memperburuk hubungan sosial kita, bahkan dalam kehidupan nyata. Kita jadi lebih mudah tersinggung atau merasa tidak dihargai. Jangan sampai media sosial yang seharusnya menjadi sarana untuk memperluas wawasan malah menguras energi emosional kita.

 

 

7 dari 8 halaman

6. Kehilangan Rasa Syukur

wanita ponsel copyright/freepik

Sahabat Fimela, satu tanda yang seringkali luput dari perhatian adalah hilangnya rasa syukur. Di dunia maya, kita sering terjebak dalam perbandingan yang tidak sehat dengan kehidupan orang lain. Ini mengikis kemampuan kita untuk bersyukur atas apa yang kita miliki. Ketika kita terus-menerus melihat orang lain tampaknya memiliki segalanya, kita lupa untuk menghargai apa yang sudah ada dalam hidup kita sendiri. Akibatnya, kita merasa tidak pernah cukup, bahkan ketika kita sudah memiliki banyak hal baik dalam hidup.

Sahabat Fimela, untuk mengatasi hal ini, kunci utamanya adalah kembali pada diri sendiri. Berhenti sejenak, tenangkan pikiran, dan sadari bahwa hidup kita sudah penuh dengan berkah yang seringkali terlupakan hanya karena terlalu banyak berfokus pada kehidupan orang lain. Berhenti sejenak dari dunia maya bisa membantu kita untuk kembali merasa bersyukur atas perjalanan hidup kita.

 

 

8 dari 8 halaman

7. Kesehatan Fisik yang Ikut Menurun

Tertekan./copyright Fimela - Abel

Saat media sosial mengambil alih kehidupan kita, banyak hal yang mulai terabaikan, termasuk kesehatan fisik kita. Mulai dari kurang tidur karena terlalu banyak scrolling hingga kebiasaan makan yang tidak sehat. Kondisi ini bisa memperburuk kualitas hidup kita, baik secara fisik maupun mental. Sahabat Fimela, jangan sampai ketergantungan pada media sosial menghalangi kita untuk menjalani hidup yang sehat dan penuh kebahagiaan.

Berhenti sesekali untuk mengambil jeda dari dunia digital bisa menjadi langkah kecil yang membawa dampak besar pada kualitas hidup kita secara keseluruhan. Dengan kembali menjaga kesehatan fisik dan mental, kita bisa kembali merasakan kebahagiaan sejati yang tidak terpengaruh oleh dunia maya.

Sahabat Fimela, melihat kenyataan bahwa brain rot akibat media sosial bukan hanya sekadar mitos, melainkan sebuah kenyataan yang perlu kita hadapi. Media sosial memang memberikan banyak manfaat, tetapi jika digunakan berlebihan, dampaknya bisa sangat serius.

Kini saatnya kita untuk lebih bijak dalam menggunakan media sosial, mengatur waktu dengan lebih baik, dan selalu ingat untuk kembali kepada diri sendiri.