7 Kebiasaan Belanja yang Membuat Hidup Tidak Bahagia

Endah Wijayanti diperbarui 04 Des 2024, 07:15 WIB

Fimela.com, Jakarta Kita hidup di era serba cepat. Segala sesuatu bisa didapatkan hanya dengan satu klik, satu sentuhan, atau satu gesekan kartu. Saat toko online menawarkan diskon besar, ada rasa senang yang seolah tak tertandingi. Tapi pernahkah kita benar-benar merasakan bahagia dari semua barang yang kita beli? Atau jangan-jangan, kebiasaan belanja kita justru menjadi jebakan yang mengikis kebahagiaan perlahan tanpa kita sadari?

Sahabat Fimela, kebahagiaan bukan sekadar tentang memiliki sesuatu, melainkan bagaimana sesuatu itu memberi makna. Sayangnya, banyak dari kita yang tanpa sadar terjebak dalam pola konsumsi yang justru menggerogoti kebahagiaan dari dalam.

Belanja memang bisa memberi kepuasan instan, tetapi ada kebiasaan-kebiasaan tertentu yang justru membuat hidup terasa lebih berat, lebih kosong, dan jauh dari rasa puas. Mari kita lihat lebih dalam kebiasaan-kebiasaan tersebut dan bagaimana mereka memengaruhi kualitas hidup kita.

 

 

2 dari 8 halaman

1. Membeli Barang untuk Validasi Sosial

Sikap tenang./Copyright freepik.com/author/racool-studio

Di era media sosial, kita sering merasa perlu tampil sempurna. Barang-barang branded, gadget terbaru, atau tren fashion terkini seolah menjadi syarat untuk diterima di lingkungan sosial. Sahabat Fimela, kebiasaan belanja semacam ini tidak hanya menguras kantong, tetapi juga energi emosional. Setiap kali kita membeli sesuatu hanya demi mendapatkan "like" atau pujian, kebahagiaan yang kita rasakan bersifat semu dan sementara.

Alih-alih merasa puas, yang muncul justru rasa cemas: apakah barang ini cukup keren? Apakah orang lain akan memperhatikan? Akhirnya, kita terjebak dalam lingkaran yang tak berujung. Barang baru datang, pujian datang sebentar, lalu hilang, dan kita merasa perlu membeli lagi untuk mengisi kekosongan tersebut.

Kebahagiaan sejati tidak datang dari validasi orang lain, melainkan dari penerimaan diri. Mulailah bertanya, “Apakah aku membeli ini karena aku butuh atau karena aku ingin diterima?” Ketika jawabannya lebih jujur, Sahabat Fimela akan merasakan beban yang perlahan terangkat.

 

3 dari 8 halaman

2. Belanja sebagai Pelarian dari Masalah Emosional

Tentang sikap positif dan tangguh./Copyright freepik.com/author/svetlanasokolova

 

Pernah merasa stres, marah, atau sedih lalu tiba-tiba mengunjungi toko online? Ini adalah salah satu kebiasaan yang sering tidak kita sadari, tetapi sangat merusak. Belanja sebagai pelarian emosional mungkin memberikan rasa nyaman sementara, tetapi tidak menyelesaikan masalah yang sebenarnya.

Saat kita menjadikan belanja sebagai pelarian, kita hanya menutupi rasa sakit dengan lapisan kesenangan instan. Sahabat Fimela, seperti halnya perban yang menutupi luka tetapi tidak menyembuhkannya, kebiasaan ini hanya membuat kita merasa lebih baik untuk sesaat. Setelahnya, rasa bersalah atau kecewa sering kali muncul, karena uang yang terbuang tidak mengubah situasi apa pun.

Daripada melarikan diri, cobalah menghadapi emosi tersebut. Menulis jurnal, berbicara dengan teman, atau bahkan meditasi dapat membantu menyembuhkan luka emosional lebih efektif daripada belanja impulsif.

 

 

4 dari 8 halaman

3. Mengejar Diskon yang Tidak Relevan

Sisi misterius./Copyright freepik.com/author/fxquadro

Siapa yang tidak tergoda dengan kata-kata "diskon besar-besaran"? Tapi Sahabat Fimela, apakah semua barang diskon benar-benar kita butuhkan? Salah satu jebakan terbesar dalam dunia belanja adalah membeli sesuatu hanya karena harganya lebih murah, bukan karena kita membutuhkannya.

Ketika kita terlalu fokus pada harga murah, kita sering kali kehilangan fokus pada nilai barang tersebut. Apakah barang ini akan digunakan? Apakah barang ini akan bertahan lama? Akhirnya, rumah kita penuh dengan barang-barang yang jarang atau bahkan tidak pernah digunakan.

Ingatlah, diskon tidak selalu berarti hemat jika barang tersebut tidak memberikan manfaat. Kebahagiaan datang dari memiliki barang yang benar-benar berfungsi dan memberi nilai tambah dalam hidup, bukan dari banyaknya barang yang hanya memenuhi ruang.

 

 

5 dari 8 halaman

4. Berbelanja tanpa Perencanaan

Menyikapi kehidupan yang dijalani./Copyright Fimela - Adhib

Belanja impulsif sering kali terjadi karena kita tidak memiliki rencana yang jelas. Tanpa daftar belanja atau anggaran, kita mudah terjebak dalam godaan iklan dan promosi yang menarik. Sahabat Fimela, belanja tanpa perencanaan adalah seperti berjalan di labirin tanpa peta—kita mungkin akan keluar, tetapi dengan banyak kerugian di perjalanan.

Tanpa perencanaan, kita lebih rentan membeli barang yang sebenarnya tidak diperlukan. Uang yang seharusnya bisa dialokasikan untuk kebutuhan penting malah habis untuk hal-hal yang tidak memberi dampak positif. Akhirnya, kita merasa tertekan karena keuangan yang tidak terkelola dengan baik.

Cobalah mulai dengan membuat daftar kebutuhan sebelum berbelanja. Dengan begitu, Sahabat Fimela akan lebih fokus dan terhindar dari pembelian yang tidak perlu.

 

 

6 dari 8 halaman

5. Mengabaikan Kualitas demi Kuantitas

Sikap menjalani hidup./Copyright freepik.com/author/freepik

Banyak orang berpikir bahwa memiliki banyak barang adalah tanda kemakmuran. Padahal, fokus pada kuantitas sering kali membuat kita mengabaikan kualitas. Sahabat Fimela, kebiasaan ini bisa menjadi akar dari ketidakbahagiaan karena barang-barang yang kita beli mungkin cepat rusak, tidak nyaman digunakan, atau bahkan tidak bermanfaat sama sekali.

Barang berkualitas tinggi mungkin lebih mahal di awal, tetapi mereka cenderung bertahan lebih lama dan memberikan kepuasan lebih besar. Sebaliknya, barang murah yang cepat rusak justru membuat kita merasa frustrasi dan akhirnya harus membeli lagi.

Pilihlah kualitas daripada kuantitas. Kebahagiaan tidak datang dari seberapa banyak yang kita miliki, tetapi dari bagaimana barang-barang tersebut mendukung kualitas hidup kita.

 

 

7 dari 8 halaman

6. Terlalu Berlebihan dalam Belanja Online

Sikap yang terlalu baik./Copyright freepik.com/author/benzoix

Belanja online memang memudahkan hidup, tetapi jika terlalu mengandalkannya, kita bisa kehilangan koneksi dengan dunia nyata. Sahabat Fimela, belanja online menghilangkan pengalaman berinteraksi dengan orang lain, melihat barang secara langsung, dan merasakan nilai dari setiap pembelian.

Ketika semuanya dilakukan secara digital, kita kehilangan momen untuk benar-benar menghargai proses berbelanja. Semua terasa instan dan cepat, tetapi kebahagiaan yang didapat juga cepat menghilang.

Cobalah sesekali kembali ke cara belanja konvensional. Mengunjungi pasar, berbicara dengan penjual, atau sekadar menikmati suasana toko fisik dapat memberikan pengalaman yang lebih bermakna.

 

 

8 dari 8 halaman

7. Membeli Barang untuk Mengisi Kekosongan Emosional

Butuh waktu tersendiri./Copyright Fimela - Adhib

Kekosongan emosional sering kali menjadi alasan tersembunyi di balik kebiasaan belanja berlebihan. Sahabat Fimela, ketika kita merasa ada yang kurang dalam hidup, kita cenderung mencari pengganti dalam bentuk barang. Namun, barang tidak bisa menggantikan kebutuhan emosional seperti cinta, penerimaan, atau rasa puas.

Barang baru mungkin memberi kegembiraan sesaat, tetapi kekosongan itu akan tetap ada jika tidak diisi dengan hal-hal yang benar-benar bermakna. Alih-alih membeli sesuatu, cobalah mengisi hidup dengan pengalaman, hubungan yang bermakna, atau kegiatan yang memberi rasa puas dan bahagia.

Kebahagiaan sejati tidak bisa dibeli. Ia datang dari dalam, dari bagaimana kita menjalani hidup dengan penuh makna, bukan dari seberapa banyak barang yang kita miliki.

Jadi, Sahabat Fimela, belanja boleh saja, tetapi pastikan kebiasaan belanja kita mendukung kebahagiaan, bukan menghalanginya.