3 Cara Mengatasi Konflik dalam Hubungan dengan Komunikasi Non-Violent

Anastasia Trifena diperbarui 04 Nov 2024, 16:35 WIB

Fimela.com, Jakarta Konflik dalam hubungan adalah hal yang tidak bisa dihindari. Namun, cara kita menyikapinya akan menentukan hasil akhir dari permasalahan tersebut. Dalam banyak kasus, konflik sering kali diperparah oleh gaya komunikasi yang keras, di mana seseorang cenderung menggunakan kata-kata atau nada yang menyakitkan, menyalahkan, atau menyerang. Komunikasi ini membuat suasana semakin tegang dan seringkali justru memperburuk permasalahan.

Sebaliknya, ada pendekatan yang disebut Non-Violent Communication (NVC) yang berarti komunikasi tanpa kekerasan yang fokus pada empati, kejujuran, dan pemahaman perasaan serta kebutuhan masing-masing pihak. Komunikasi ini bertujuan menciptakan dialog yang produktif, di mana setiap orang merasa didengar dan dipahami.

Itu sebabnya, gaya komunikasi ini sangat direkomendasikan untuk diterapkan saat menghadapi konflik. Berikut tiga cara mengatasi permasalahan menggunakan pendekatan komunikasi non-violent.

What's On Fimela
2 dari 4 halaman

1. Ungkapkan Perasaan dengan Jujur Tanpa Menyalahkan

Ilustrasi komunikasi non-violent. (Copyright Pexels/Nataliya Vaitkevich)

Salah satu inti dari komunikasi non-violent adalah kemampuan untuk menyampaikan perasaan tanpa menyalahkan pasangan. Ketika konflik terjadi, sering kali kita cenderung langsung menuduh atau menyalahkan pihak lain. Namun, ini hanya akan memicu pertahanan diri dan memperburuk suasana. Alih-alih menggunakan kata-kata yang menyudutkan, coba sampaikan perasaanmu dengan bahasa yang jelas, jujur, namun tidak menyerang.

Misalnya, daripada mengatakan, “Kamu selalu mengabaikan aku,” lebih baik ungkapkan dengan kalimat seperti, “Aku merasa diabaikan ketika kamu terlalu sibuk dengan hal lain.” Dengan begitu, Sahabat Fimela mampu mengungkapkan perasaan dan meminimalisir pertikaian. 

3 dari 4 halaman

2. Fokus pada Kebutuhan, Bukan Tuntutan

Ilustrasi komunikasi non-violent. (Copyright Pexels/Katerina Holmes)

Dalam komunikasi non-violent, penting untuk mengenali dan menyampaikan kebutuhan kita. Bukannya membuat tuntutan yang bisa menjadi tekanan bagi pasangan. Tuntutan biasanya menimbulkan perasaan terpaksa, sementara mengungkapkan kebutuhan membuka ruang untuk solusi yang saling menguntungkan. Daripada memaksakan kehendak, cobalah menjelaskan kebutuhanmu dan bagaimana pasangan bisa membantumu memenuhinya.

Misalnya, jika kamu butuh lebih banyak waktu bersama pasangan, daripada berkata, "Kamu harus lebih sering menemuiku," ungkapkan kebutuhanmu dengan mengatakan, "Aku butuh lebih banyak waktu untuk kita bisa bersama. Yuk atur jadwalnya bersama" Dengan cara ini, kamu tidak memberikan perintah, tetapi mengajak pasangan untuk mencari solusi bersama.

4 dari 4 halaman

3. Dengarkan dengan Empati Tanpa Menginterupsi

Ilustrasi komunikasi non-violent. (Copyright Pexels/SHVETS production)

Sering kali, konflik bisa semakin meruncing karena kita kurang mendengarkan pasangan dengan penuh empati. Dalam komunikasi non-violent, mendengarkan tanpa interupsi adalah kunci penting. Ketika pasangan mengungkapkan perasaan atau kebutuhannya, beri mereka kesempatan untuk menyelesaikan pembicaraan tanpa langsung menyela atau memberikan pembelaan. Hal ini menunjukkan bahwa kamu benar-benar peduli dan ingin memahami sudut pandangnya.

Mendengarkan dengan empati tidak hanya berarti mendengarkan kata-kata mereka, tetapi juga mencoba memahami emosi dan kebutuhan di baliknya. Setelah pasangan selesai berbicara, ulangi atau simpulkan apa yang kamu dengar untuk memastikan bahwa kamu memahami maksud mereka dengan benar. Dengan begitu, pasangan merasa didengar dan dihargai, serta kalian dapat mencari solusi bersama.

Komunikasi non-violent bukan hanya tentang menghindari kata-kata kasar, tetapi juga tentang menciptakan ruang yang aman bagi kedua belah pihak untuk berkomunikasi dengan jujur dan terbuka. Yuk, coba metode ini untuk menciptakan hubungan yang lebih sehat dan penuh empati.