Bukan Hanya Usir ‘Semut’, TV Digital Juga Untungkan Teknologi dan Ekonomi Indonesia!

Gloria Trivena May Ary pada 07 Okt 2024, 20:25 WIB

Fimela.com, Jakarta Rina Yuharni duduk lesehan di ruang tengah, menikmati suasana sederhana tanpa kursi. Lantai yang hanya beralas karpet biru itu menjadi tempatnya melepas lelah setelah menyelesaikan semua pekerjaan rumah. Pagi itu tinggal satu tugas lagi, yakni mempersiapkan bahan-bahan untuk dagangan lotek yang setia menanti di gerobak depan rumah. Sebentar lagi, aroma segar bumbu lotek akan menyatu dengan udara pagi!

Sehabis menaruh botol berisi air matang untuk dagangannya, kini waktunya bagi Ibu dua anak itu merebahkan diri sejenak. Rina mendekati televisi dan menekan tombol power. Media hiburannya masih tergolong jadul. TV tabung berukuran 21 inchi dengan penutup tombol yang sudah tanggal.. 

Beberapa detik layar televisi mulai menyala. Namun tak ada gambar yang bisa dilihat. Hanya garis dan titik-titik berupa semut yang berkerumun di layar itu. Rina segera meraih remote control televisi yang tergeletak di bawah meja. Mengarahkannya ke layar sambil menekan tombol berulang kali. Sehabis lima kali ditekan, barulah gambar muncul. Mata Rina segera terpaku menontonnya sembari menunggu pembeli lotek datang.

Tinggal di tengah kota Padang, Sumatera Barat, menonton tayangan secara jernih bagi Rina ternyata barang mahal. Tempat tinggalnya dikelilingi banyak pegunungan. Topografi yang bikin sinyal televisi tak bisa diterima dengan baik. Puluhan tahun Rina harus bersahabat dengan tontonan televisi. Menikmati tayangan favorit dengan kualitas gambar dan suara yang seadanya.

"Kalau nonton kurang bersih, nggak dapat siaran lagi. Siarannya bersemut. Nggak nyaman lah nontonnya. Dapat semua channel sih tapi bersihnya nggak dapat," ucap Rina pada Maret 2022 ketika diwawancarai jurnalis sebuah stasiun televisi. 

Rina bukan satu-satunya yang harus berteman dengan televisi bersemut. Sebelum tahun 2022, beberapa penikmat layar kaca lain juga mengalami hal serupa. Menonton tayangan jernih televisi yang sudah mengudara 60 tahun di Indonesia menjadi barang mahal. 

Sahid, pemuda warga Kiaracondong, Bandung, Jawa Barat merasakan pengalaman serupa. Saat masih menonton tayangan di siaran TV analog, memutar posisi antena jadi rutinitasnya. Dia baru berhenti ketika gambar di televisi mulai terlihat jernih dan suara jelas terdengar. 

Di lain waktu, posisi antena itu akan diubah lagi. Apalagi kalau bukan untuk menangkap siaran televisi dari stasiun berbeda. “Kalau pakai analog, itu kadang saluran A bagus, tapi saluran B jelek," kenang Sahid.

Semua itu berubah ketika Sahid membeli sebuah alat bernama Set Top Box (STB) sekitar Juni 2022. Istilah STB santer didengarnya ketika gencar sosialisasi program Analog Switch Off (ASO) atau Memastikan TV Analog. Kota tempat tinggal Sahid memang belum jadi target program ASO. Namun warga bisa menikmatinya dua bulan sebelum ASO mulai berjalan. 

Ilustrasi Set Top Box utuk TV digital (Istimewa)

Sahid hanya membeli STB dengan tambahan kabel HDMI. Antena dan TV masih memakai yang lama. Kabel antena yang biasanya dicolok ke televisi kini dipindahkan ke STB. Sementara kabel HDMI dimasukkan ke dalam soket yang tersedia di perangkat TV-nya.

Ketika semua alat terpasang, Sahid mulai menyalakan perangkat TV-nya. Dia tersenyum puas saat mesin pencari sinyal menangkap tayangan televisi dengan gambar jernih. Makin kegirangan saat melongok daftar stasiun televisi yang tertangkap. Beberapa stasiun TV baru pertama kali dilihatnya. Jumlah tontonan Sahid makin bertambah banyak. 

"Untuk TV digital saja itu tidak ada masalah," ujar Sahid yang tak perlu lagi mondar-mandiri ke lokasi tiang antena hanya untuk mendapatkan sinyal kuat stasiun televisi.

Apa yang dirasakan Sahid dan banyak penikmat tayangan televisi saat ini merupakan buah dari program ASO. Masyarakat kini bisa menonton film, sinetron, berita, sampai tayangan pendidikan dengan gambar dan suara jauh lebih jernih.

Program ASO atau TV Digital dimulai sejak 30 April 2022. Tepat pukul 24.00, layanan TV analog dari 3 wilayah siaran yang terdiri atas 6 kabupaten dan 2 kota dipadamkan. Berganti dengan TV digital. Keinginan Indonesia migrasi TV analog ke digital sebetulnya sudah hadir sejak lama. Tepatnya ketika diperkenalkan format TV Digital Satelit pada tahun 1997. 

Ide ini semakin bergulir di di tahun 2004 di bawah koordinasi Tim Nasional Migrasi Televisi & Radio Digital. Tim melakukan sejumlah kajian terhadap penyiaran TV digital dengan menggelar diskusi, seminar, workshop dan lokakarya untuk persiapan migrasi.

Migrasi TV analog juga bukan cuma mimpi Indonesia. Sudah menjadi isu dunia saat pertemuan The Geneva 2006 Frequency Assignment Plants pada tahun 2006. Para anggota International Telecommunication Union (ITU), termasuk Indonesia, bersepakat batas waktu negara di seluruh dunia melakukan migrasi dari penyiaran analog ke digital pada 17 Juni 2015 . 

Di tahun yang sama, Indonesia melakukan uji coba siaran TV digital dengan menggunakan channel 34 UHF untuk standar DVB-T dan ch 27 UHF untuk standar T-DMB. Berlanjut dengan persiapan migrasi melalui siaran secara simulcast di tahun 2019. Simulcast adalah penyelenggaraan pemancaran siaran televisi analog dan digital secara bersamaan. Langkah ini dilakukan sekaligus sebagai pengenalan kepada masyarakat umum.

TV digital. © Kominfo

Komitmen migrasi TV analog makin tak terbendung ketika rencana itu masuk dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan peraturan pelaksanaannya. Tahapan serta tenggat waktu pelaksanaan migrasi telah ditetapkan yakni tahap I pada 30 April 2022, tahap II pada 25 Agustus 2022, dan tahap III pada 2 November 2022. 

Satu per satu tahapan mematikan siaran TV analog dijalankan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Dari yang semula hanya 6 kabupaten dan 2 kota menjadi ratusan daerah. Puncaknya, tanggal 12 Agustus 2023, siaran televisi Indonesia secara resmi telah beralih seluruhnya ke digital. 

"Indonesia itu paling cepat di dunia. Orang lain lima tahun, tujuh tahun, Indonesia sembilan bulan 10 hari. Mulai 2 November 2022 sampai 12 Agustus 2023, selesai sudah," kata Direktur Penyiaran Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Kominfo Geryantika Kurnia.

Data per September 2023, program ASO telah diselesaikan di 112 wilayah siaran yang meliputi 314 kabupaten/kota di Indonesia.

Tak cuma cepat, program ASO yang terwujud di masa periode kedua Presiden Joko Widodo telah menjangkau 97 persen populasi yang mengadopsi siaran TV digital. 

Luasnya wilayah yang dijangkau tak lepas dari dukungan infrastruktur Infrastruktur multiplexing (MUX).  Per 2 Agustus 2024,  infrastruktur MUX telah dibangun terdiri dari 95 pemancar oleh TVRI dan 227 oleh perusahaan swasta. Sebanyak 678 stasiun TV telah beralih ke siaran digital dengan memanfaatkan MUX, dari TVRI maupun swasta.

TV digital yang awalnya dikhawatirkan mengurangi jumlah penonton televisi juga tak terjadi. Nielsen menyebut rata-rata jumlah pemirsa nasional telah mendekati normal, dengan 124 juta pemirsa TV digital dari total 130 juta pemirsa TV analog.

Bahkan Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika Nezar Patria belum lama ini menyampaikan kabar lebih melegakan. "Tingkat kepemirsaan di televisi digital yang ditaksir sekitar 125,6 juta pemirsa terpantau telah pulih pasca-peralihan dari siaran analog," ujarnya.

Sasaran program ASO tak melulu soal tontonan jernih dan nyaman. Ada banyak efek ikutan dari kerja besar ini.  TV analog dinilai tidak efisien karena memakai banyak spektrum frekuensi 700 MHz. Spektrum frekuensi radio adalah sumber daya alam terbatas sehingga penggunaannya harus dimaksimalkan. 

Sebagai gambarannya, satu pemancaran siaran TV analog butuh satu kanal frekuensi untuk menayangkan satu program siaran atau channel. Sementara penggunaan spektrum frekuensi TV digital lebih efisien karena satu kanal frekuensi dapat menayangkan delapan atau lebih program siaran melalui infrastruktur penyiaran multipleksing TV digital.

Spektrum 700 Mhz yang dipakai TV analog juga ideal dipakai untuk layanan internet. Dengan bermigrasi ke TV Digital, Indonesia punya frekuensi tersisa/dividen digital sebesar 112 MHz. Frekuensi sisa ini bisa dipakai untuk layanan internet seperti 4G, 5G, dan perkembangan teknologi selanjutnya. 

Penghematan pita 700 MHz juga akan digunakan untuk sistem peringatan dini kebencanaan, layanan pendidikan dan kesehatan jarak jauh.

Dari sisi ekonomi lebih membawa harapan lebih besar lagi. Tengok saja hasil kajian dari Boston Consulting Group. Lembaga dunia ini menyebut multiplier economy dari pemanfaatan digital dividen akan menambah Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sekitar Rp 7 triliun per tahun, atau Rp 77 triliun untuk 10 tahun masa lisensi spektrum bagi operator telekomunikasi. 

Hasil penghematan pita 700 MHz juga bisa menunjang kegiatan ekonomi digital dengan terciptanya 181 ribu kesempatan bisnis baru. Perputaran roda ekonomi digital ini diperkirakan akan menumbuhkan 232 ribu lapangan pekerjaan baru dalam lima tahun ke depan.

Berputarnya roda ekonomi itu juga yang jadi harapan Rina, sang penjual lotek di Padang. Sambil menunggu sumber nafkah kedatangan pembeli, Rina selalu bermimpi bisa merebahkan diri sambil menonton tayangan televisi yang jernih dan bersih. 

“Dengan TV yang itu, semoga nontonnya bisa yang bersih, nyaman-lah, dapat siaran semuanya,” harap Rina.