Fimela.com, Jakarta Parenting atau pola asuh orang tua memiliki peran besar dalam membentuk karakter dan perkembangan anak. Namun, tidak semua pola asuh memberikan dampak positif. Salah satu yang sering menimbulkan perdebatan adalah parenting otoriter. Pola asuh ini cenderung keras dan menuntut ketaatan mutlak dari anak, yang sayangnya bisa membawa pengaruh buruk dalam jangka panjang.
Dilansir dari psychologytoday.com, anak yang dibesarkan dengan pola asuh otoriter sering kali mengalami tekanan yang tinggi. Mereka dihadapkan pada aturan ketat, tanpa ada ruang untuk bernegosiasi atau berdiskusi. Hal ini menyebabkan anak kehilangan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan independen, yang pada akhirnya bisa berdampak pada kesehatan mental dan hubungan sosial mereka di masa dewasa.
Parenting otoriter sering dianggap sebagai cara efektif untuk mendisiplinkan anak. Alih-alih belajar dari kesalahan, anak lebih memilih untuk menghindari masalah demi menghindari hukuman. Namun, di balik aturan yang ketat dan ketaatan yang dipaksakan, pola asuh ini justru membawa dampak negatif yang bisa dirasakan anak hingga dewasa. Dilansir dari webdm.com, berikut beberapa dampak yang sering muncul akibat parenting otoriter.
1. Rasa Percaya Diri yang Rendah
Salah satu dampak terbesar dari parenting otoriter adalah rendahnya rasa percaya diri pada anak. Hal itu terjadi karena anak terbiasa dengan aturan ketat dan kritik keras. Anak-anak sering kali merasa bahwa apa pun yang dilakukan tidak pernah cukup baik. Ketidakmampuan untuk mengekspresikan pendapat dan ketakutan akan hukuman dapat menyebabkan anak merasa tidak berharga atau selalu ragu terhadap kemampuan diri sendiri.
2. Masalah dalam Mengenali dan Mengelola Emosi
Anak yang dibesarkan dengan gaya pengasuhan otoriter cenderung memiliki kesulitan dalam mengenali dan mengelola emosi. Mereka jarang diberikan kesempatan untuk berbicara tentang perasaan atau memproses emosi negatif. Akibatnya, banyak anak yang tumbuh menjadi individu yang tertekan, tidak tahu bagaimana cara mengekspresikan diri, atau malah menjadi agresif sebagai bentuk pelarian.
3. Perilaku Agresif atau Pasif
Selain berdampak pada kepercayaan diri dan emosi, parenting otoriter juga dapat memengaruhi munculnya perilaku agresif atau perilaku yang terlalu pasif. Anak yang terus-menerus dihukum mungkin akan mengekspresikan frustrasi melalui tindakan agresif, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Di sisi lain, anak juga bisa menjadi terlalu penurut dan takut untuk menyuarakan pendapatnya, sehingga sulit mengambil sikap dalam berbagai situasi.
4. Tidak Mampu Mengambil Keputusan karena Takut Gagal
Anak-anak dalam pengasuhan otoriter terbiasa menerima perintah dan mengikuti aturan tanpa diberi kesempatan untuk berpendapat. Hal ini dapat mengakibatkan ketidakmampuan mereka dalam mengambil keputusan sendiri. Mereka akan selalu merasa ragu atau tidak percaya pada kemampuan mereka dalam menentukan pilihan. Hal itu terjadi karena mereka selama ini selalu diarahkan oleh orang tua mereka.
5. Kesulitan dalam Menjalin Hubungan Sosial
Dampak lain dari parenting otoriter adalah menurunnya kemampuan anak dalam menjalin hubungan sosial. Anak-anak yang terbiasa dengan lingkungan yang otoriter sering kali kesulitan dalam berinteraksi dengan orang lain, baik di lingkungan sekolah maupun masyarakat. Mereka mungkin cenderung menarik diri, menjadi terlalu patuh pada teman-temannya, atau sebaliknya, menjadi dominan karena terbiasa dengan aturan yang ketat di rumah.
6. Kecemasan yang Bisa Menimbulkan Depresi
Karena gaya pengasuhan ini cenderung menekankan hukuman dan kontrol, anak-anak yang dibesarkan secara otoriter sering kali merasa cemas. Mereka takut melakukan kesalahan atau melanggar aturan, yang pada akhirnya membuat mereka selalu merasa tegang. Kecemasan ini bisa terus terbawa hingga dewasa dan memengaruhi kesejahteraan mental serta kemampuannya dalam menghadapi situasi stres di kemudian hari.